TRAFFICKING: PRAKTIK NEO-PERBUDAKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

TRAFFICKING: PRAKTIK NEO-PERBUDAKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM[1]

Oleh : Umi Sumbulah[2]

 

A. Hakikat Perbudakan: Trafficking

Traficking pada entitasnya merupakan bentuk baru dari sistem perbudakan (neo-perbudakan). Perbudakan adalah praktik yang telah ada sebelum Islam datang, yang dalam diri dan esensinya menyimpan ketidakadilan.  Hal ini karena berarti tidak ada kesederajatan antar sesama manusia, yang padahal menurut Tuhan  semua manusia adalah sama. Kendati pada awalnya Islam melegalkan perbudakan, namun bukan berarti bahwa Islam turut melanggengkan sistem perbudakan. Bahkan Islam menghendaki perbudakan terhapuskan sama sekali. Ini terbukti dengan aturan Islam tentang denda dan hukuman bagi beberapa tindak kejahatan yang harus ditebus dengan memerdekakan budak. Inilah bukti bahwa Islam menginginkan dan mencitakan egalitarianisme terwujudkan.

Sekalipun praktek perbudakan dalam bentuknya yang konvensional itu sendiri telah hilang dari msyarakat kita, ruh perbudakan sesungguhnya masih hidup dan mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk yang baru, di antaranya adalah trafficking, sebuah praktek yang muncul di tengah-tengah masyarakat kita. Praktek itu berkembang cukup banyak sekalipun dalam bentuk yang terselubung dalam sebuah masyarakat. Akibat tekanan ekonomi dan impian kesejahteraan, maka banyak anak atau perempuan yang terjebak dalam praktek trafficking itu.

Sekalipun ada perbedaan dalam bentuk, sesungguhnya perbudakan dan trafficking mengandung substansi yang sama, yakni adanya ketaatan dan ketundukan secara mutlak dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab apapun yang dibebankan oleh tuannya, ketergantungan ekonomi dan serta terampas dan  hilangnya hak-hak individu untuk memperoleh kebebasan. Seorang budak dan seorang yang menjadi obyek trafficking sama-sama kehilangan kebebasan untuk memilih apa yang terbaik baginya. Seorang anak dan seorang perempuan yang menjadi obyek trafficking berada di bawah belenggu orang lain dan harus mengikuti apa yang dikehendakinya, baik dijadikan sebagai pekerja dengan upah yang sangat murah maupun dijerumuskan ke dalam dunia prostitusi, pengemis dll.

 

B. Islam dan Prinsip Kemanusiaan

Ajaran Islam menghargai aspek kemanusiaan, yang diisyaratkan bahwa manusia, apapun jenis kelamin, ras, etnis, statuas sosial dam ekonomi adalah mahlu yang sederajat dhadapan Tuhan. Oleh karena itu terdapat beberapa prinsip Islam dalam memperlakukan budak:

1.  Berbuat baik terhadap budak/hamba sahaya  harus dilakukan  sebagaimana bernuat baik terhadap kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh (QS.4:36). Dengan demikian, islam mengangkat harkat dan martabat budak pada pisisi yang demikian mulia dan tinggi.

2.  Rasulullah melarang  memanggil budak dengan ungkapanyang menghina dan kata yang mengandung konotasi budak, seperti: hai budakku, hai hambaku, tetapi ia harus memanggil dengan sebutan: hai pemudaku, hai remajaku (HR. Muslim).

3.  Makanan pakaian dan tempat tinggal yang digunakan budak sama dengan yang digunakan tuannya. Berdasarkana hadis Rasulullah: “Budak adalah para pembantu dan saudaramu yang dijadikan alah berada di bawah pengawasanmu, berila makan seperti yangkamu makan, pakaian yang kamu pakai dan jangan sekali-kali memberi mereka tugas yang tidak mampu dipikulnya agar mereka merasa senang (HR a.l-Bukhari).

4. Larangan menyakiti budak, berdasarkan hadis: “siapa yang  menampar (menganiaya) budaknya, maka ia wajib memerdekakannya (HR. Ahmad).

5.  Anjuran untuk mengajari, mendidik dan mengawinkannya (HR. Abu Dawud).

Dengan demikian Islam menganjurlan agar kita menghargai hak, mengasihi, menolong, membebaskan, dan berlaku adil kepada orang lain. Di samping itu, Allah memerintahkan kita untuk memerdekakan budak (fakk raqabah). Allah memerintahkan kita berjuang untuk merubah nasib agar lebih baik. Allah juga berjanji akan memberikan balasan terhadap apa yang dikerjakan oleh manusia. Kita diijinkan berjihad untuk melawan penindasan.  Kata Allah, manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik, tetapi akan turun ke derajat yang paling rendah apa bila tidak beriman dan amal saleh.

Demikian juga, kalau kita lihat hadis-hadis Nabi akan lebih jelas bahwa Islam menghendaki terwujudnya masyarakat yang egaliter. Kata Nabi, sesungguhnya manusia itu seperti gerigi sisir, yakni semua sama dalam derajatnya. Dalam khutbah wada’ yang sangat terkenal itu, Nabi menyerukan kepada kaum muslimin untuk memberikan hak setiap orang. Keadilan harus ditegakkan, dan jangan sampai ada kedlaliman di antara sesama manusia. Nabi juga menyatakan bahwa darah dan harta seseorang harus dilindungi, jangan sampai ada yang mengganngu.

Dalam pengertian seperti itu, maka sesungguhnya jual-beli manusia tidaklah diperbolehkan. Manusia tidak boleh dijadikan komoditas perdagangan. Dalam jual-beli manusia, tidak ada jaminan kebebasan. Seseorang bisa dijual oleh pemiliknya tanpa persetujuan dirinya sendiri, dan dia tidak punya hak untuk menolak jual beli itu. Ini sangat ditentang oleh Islam. Dalam gambaran masyarakat yang ideal tidak ada tempat bagi praktek perbudakan seperti itu.

 

Islam tentang Perbudakan

Kalau kita fahami secara teliti, sesungguhnya Islam adalah agama egaliter yang antiperbudakan karena tidak sesuai dengan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia. Islam tidak secara drastis dan serta-merta menghapuskan perbudakan karena akan berdampak negatif. Ini karena tradisi perbudakan telah berlangsung sejak berabad-abad lamanya, sehingga budak-budak itu belum siap untuk serta merta dimerdekakan. Mereka belum terbiasa mandiri dan tidak memiliki resources yang cukup untuk mandiri. Sehingga Nabi mengambil tiga langkah: pertama, mempersempit pintu rekruitmen budak-budak baru; kedua, membuka pintu seluas-luasnya bagi pemerdekaan budak; ketiga, menuntut perlakuan yang manusiawi terhadap budak-budak yang ada, sebagaimana diisyaratkan di dalam beberapa teks al-Qur’an maupun al-Hadits di atas.

Mengacu kepada lima prinsip di atas, berarti bahwa Islam sangat menghargai kemanusiaan setiap orang, dan karenanya Islam memiliki langkah-langkah untuk menghapus perbudakan sebagai berikut: a.) Memerdekakan budak, yang hal ini membawa pelakuknya mendapat balasan kebaikan dari Tuhan; b). Menetapkan sangsi berbagai pelanggaran hukum dengan memerdekakanbudak, seperti sanksi sumpah palsu, pembunuhan tidak sengaja, dan dzihar; c) Memerintahkan majikan agar  memberikan kesempatan kepada budak untuk memerdekakan diri (mukatabah) yang karenanya budak berhak mendapatkan zakat sebagai uasaha memerdekakan dirinya dan tidak memiliki ketergantungan ekonomis dengantuannya; d).  Melaksanakan nazar dengan memerdekakan budak.

Dengan pemahaman ini, maka dalam sebuah masyarakat tanpa budak seperti kehidupan kita sekarang, seharusnya tidak boleh ditumbuhkan sistem perbudakan baru. Masyarakat harus tetap berproses ke arah egalitarianisme. Sedang masyarakat yang telah memiliki sistem perbudakan, maka harus juga berproses ke arah penghapusannya. Sayangnya, dalam satu generasi setelah Nabi, masyarakat egaliter tidak berproses ke arah yang lebih jelas, tetapi bahkan sebaliknya. Sistem perbudakan juga semakin kuat.

Dalam sejarah Islam abad klasik maupun pertengahan,  terdapat lembaga harem yang menjadi fenomena penting dalam sejarah istana penguasa-penguasa Islam, seperti Mamluk dan Ustmaniyyah. Di samping para penguasa Islam itu memiliki isteri yang berjumlah maksimal empat orang, mereka juga memiliki harem, yakni budak perempuan yang jumlahnya tidak terbatas. Menurut sejarah, para harem itu hidup secara terpisah dari masyarakat luas dan terpisah dari kaum lelaki agar tidak timbul perzinaan. Pula, untuk menjaga kehormatan mereka diangkatlah penjaga berkelamin lelaki tapi sudah dikebiri agar tidak terjadi perselingkuhan.

Fenomena itu tidak hanya terjadi di kalangan istana, tetapi juga di kalangan kelas atas (a’yan)  masyarakat Islam. Dengan demikian, sepanjang abad-abad klasik dan pertengahan bahkan hingga sekarang, proses ke arah masyarakat egaliter itu tidak berjalan secara sistematis seperti yang  dikehendaki oleh Islam. Hal ini, menjadi komitmen kita semua bahwa perbudakan dalam bentuknya yang baru, trafficking  harus diupayakan diminimalisir adanya dengan cara memberikan pemahaman kepada semua level masyarakat bahwa perbudakan dalam bentuk baru yang mengebiti kebebasan dan mencabik-cabik harkat manusia sedang berlangsung. Untuk itu, tameng keluarga dan peran oganisasi sangat besar bagi penyadaran dan pemberdayaan masyarakat, tidak saja secara ekonomis tetapi juga secara intelektual, sehingga tidak mudak tertipu oleh praktik-praktik yang sesungguhnya merugikan kemanusiaan kita.

 

D.  Menuju Pembebasan dan Penghapusan Perbudakan

Sekalipun perbudakan telah dinyatakan illegal di seluruh dunia karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, neo-perbudakan tidak serta-merta hilang. Di Amerika Serikat, misalnya, sekalipun perbudakan telah dihapuskan bersamaan dengan berakhirnya perang saudara, diskriminasi tetap berlangsung. Kemudian, setelah lahirnya gerakan hak-hak sipil pada tahun 1960an dikeluarkanlah undang-undang anti-diskriminasi dan kemudian diikuti dengan affirmative action yang menjamin representasi minoritas dalam lembaga-lembaga publik. Namun demikian, kesadaran warna kulit masih sering menjadi faktor yang menentukan dalam hubungan sosial sampai saat ini. Di negera-negara Arab, demikian juga, perbudakan telah dihapuskan. Tetapi sifat relasi budak-tuan tidak jarang masih mewarnai hubungan individual, seperti yang terjadi antara buruh-majikan. Seorang buruh atau pekerja rumah tangga, misalnya, seringkali dipandang sebagai seorang budak yang tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan. Di Indonesia, praktek-praktek trafficking pada hakekatnya adalah rekruitmen perbudakan dalam bentuknya yang paling konvensional. Seorang dibeli dari orang lain atau ditangkap kemudian dijual kepada orang lain atau melakukan jenis pekerjaan tertentu di luar kesepatakan-kesepakatan sebelumnya secara suka rela.

Dalam perspektif agama, trafficking sudah cukup jelas bahwa ia bertentangan dengan moral Islam. Sekalipun dalam fiqh klasik hukum perbudakan, termasuk trafficking, dipandang boleh karena memiliki alasan-alasan tekstual dari al-Qur’an atau Hadis, tetapi moral Islam sesungguhnya menyatakan bahwa itu adalah suatu perbuatan yang tidak terpuji dan karenanya harus dihapuskan. Praktek trafficking juga berarti menjauhkan masyarakat kita dari cita-cita Islam, yaitu terwujudnya  masyarakat egaliter. Bukankah derajat dan nilai kita di mata Tuhan tidak ditentukan oleh jenis kelamin maupun status sosial, namun ditentukan oleh amaliah positif yang kita kontribusikan bagi kemanusiaan???

Wa Allahu a’lam bi al-shawab

 


[1] Makalah ini pernah dipresentasikan dalam Forum Dialog Trafficking Perempuan dan Anak oleh PC. Fatayat NU Kota Malang di Gedung Paripurna DPRD Kota Malang tanggal 8 Mei 2005.

[2] Penulis kini adalah Dosen Pascasarjana dan Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *