Mengawali Ramadhan 1443 H dengan Sikap Moderat

Miftahudin Azmi dan Ahsin Dinal Mustafa

(Dosen Ilmu Falak UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

Disparitas terkait penentuan awal bulan Hijriah menjadi diskusi yang menarik, terutama penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Ragam pendapat ulama terkait konsep dan metode penentuan awal bulan, serta semakin mutakhirnya ilmu astronomi membuat perbedaan pendapat tersebut semakin jelas. (Jawa Pos, 30 April 2021)  Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi keagamaan yang kerap berbeda dalam menentukan awal bulan hijriyah.

Perbedaan penentuan awal bulan biasaya tidak lepas dari penerapan dua kriteria, yaitu hisab dan rukyat. Kriteria yang pertama bisa juga disebut dengan metode wujudul hilal, yaitu perhitungan terhadap posisi hilal berada di atas ufuk pasca terjatinya ijtima’ dansetelah matahari terbenam. Sementara kriteria yang kedua adalah rukyatul hilal,  yaitu penentuan awal bulan hijriah dengan melihat hilal.

Sementara itu Ahmad Mushonnif menyebut tradisi penentuan awal bulan hijriah yang berkembang di masyarakat Indonesia dikategorikan menjadi empat. Pertama, bayani, yaitu menggunakan metode rukyatul hilal sebagai penentu awal bulan hijriah. Salah satu ormas yang menggunakan metode ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama. Kedua, burhani, yaitu penentuan awal bulan menggunakan metode hisab. Muhammadiyah adalah salah satu ormas yang termasuk ke dalam corak ini. Ketiga, irfani, yakni menggunakan metode kashf (indra keenam) atau disebut juga ladunni yang dilakukan oleh beberapa mursyid tariqah. Keempat, taqlidi, menggunakan metode ittiba’ atau mengikuti tokoh kharismatik tertentu yang diamalkan oleh pelaku sufi tertentu dan jamaah Aboge.

Pada level Asia Tenggara terdapat ketentuan yang berbeda terkait penentuan awal bulan hijriah, salah satunya adalah yang ditawarkan oleh MABIMS. MABIMS merupakan pertemuan antar Menteri Agama yang meliputi negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Salah satu ketetapan yang dikeluarkan oleh MABIMS adalah terkait visibilitas hilal. Kriteria visibilitas hilal MABIMS adalah ketinggian hilal minimal 2°, Jarak elongasi minimal 3° dan umur bulan setelah ijtima’ lebih dari 8 jam. Kriteria inilah yang digunakan dalam menentukan awal bulan dalam kalender hijriah versi MABIMS.

Sementara itu pertemuan MABIMS ke-16 pada tahun 2016 di Malaysia menghasilkan kesepakatan untuk menaikkan kriteria hilal menjadi 3° dan elongasi menjadi 6,40. Kriteria baru tersebut disepekati untuk digunakan pada tahun 2018, namun belum dilaksanakan hingga tahun 2021. Selanjutnya pada akhir Desember 2021, Menteri Agama Republik Indonesia telah menandatangani Surat Persetujuan Kriteria Imkanur Rukyah MABIMS dan menyatakan akan memberlakukan kriteria tersebut pada penentuan awal bulan Ramadan 1443 H. Langkah konkret yang dilakukan Kementerian Agama RI adalah menerbitkan Surat Pemberitahuan Penggunaan Kriteria Imkanur Rukyat MABIMS Baru oleh Direktur Jendral Bimas Islam Nomor B-79/DJ.III/HM.00/02/2022.

Keputusan dari Kemenag tersebut menjadi kajian yang cukup hangat pada lintas ormas di Indonesia. Jika memang diterapkan pada tahun ini, besar kemungkinan masyarakat akan disajikan perbedaan dalam mengawali puasa Ramadhan 1443 H. Hal ini disebabkan ketinggian hilal pada hari Jumat, 1 April 2022 paling tinggi sekitar 2 derajat, sementara paling rendah adalah 1 derajat. Jika mengikuti kriteria Baru MABIMS, maka kesaksian orang yang melihat hilal awal Ramadhan 1443 H akan ditolak karena ketinggian hilal tidak sesuai kriteria.

Keputusan Menteri Agama untuk menggunakan kriteria baru MABIMS dalam menentukan awal bulan hijriah menjadi kajian diskusi yang menarik. Hingga tulisan ini diturunkan, berbagai akademisi dan praktisi terus berkoordinasi dalam menyikapi ketentuan baru tersebut. Bahkan PWNU Jawa Timur yang baru saja selesai menyelenggarakan Musyawarah Alim Ulama di Pesantren Sunan Bejagung, Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban menghasilkan beberapa rumusan penting, salah satunya adalah mengusulakan kepada PBNU agar menunda pemberlakuan kriteria Baru MABIMS. Andaikan dalam mengawali puasa Ramdahan 1443 H terjadi perbedaan, maka perbedaan tersebut layaknya disikapi secara dewasa oleh umat Islam di Indonesia. Setidaknya Nabi Muhammad pernah mensinyalir bahwa perbedaan alim ulama adalah rahmat bagi masyarakat. Mari kita sikapi perbedaan tersebut dengan riang gembira menjalankan ibadah mulia di bulan Ramdahan.