Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

 

 

Aljuraimy

Jurusan Al Ahwal Al Syakhshiyyah

Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

 

Constitutional Court on February 17, 2012 issued Decision Number: 46/PUU-VIII/2010 about the position of children outside of marriage. These decision are a breakthrough, which childern outside if marriage could have civil relationship with his biological father and his biological father’s family. This study aims to determine the consideration for the judges in the Constitutional Court ruling 46/PUU-VIII/2010. And to know the legal provisions in Article 43 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 after the Constitutional Court decision No. 46/PUU-VIII/2010 terms of Code of Civil Law. The results were obtained a conclusion that Article 43 paragraph (1) of Law no. 1/74 contains provisions on the recognition of illegitimate children, so not all losses are accepted by children out of marriage be protected by law, especially soisal-psychological loss.

Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan, rumah tngga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut dengan “keluarga”. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha dari Allah SWT.[1]

Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa anak adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Dalam perkembangan lebih lanjut, kata “anak” bukan hanya dipakai untuk menunjukkan keturunan dari pasangan manusia, tetapi juga dipakai umtuk menunjukkan asal tempat anak itu lahir, seperti anak Aceh atau anak Jawa, berarti anak tersebut lahir dan berasal dari Aceh atau Jawa.[2]

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 42 disebutkan bahwa, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama perkawinan. Jadi anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan melekat padanya, serta berhak untuk memakai nama di belakang namanya untuk menunjukkan keturunan dan asal usulnya.[3]

Penetapan asal usul anak memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan nasab antara anak dan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya.[4] Status keperdataan seorang anak, sah ataupun tidak sah, akan memiliki hubungan keperdataan dengan wanita yang melahirkannya.

Hubungan keperdataan anak dengan ayahnya, hanya bisa terjadi bila anak tersebut adalah anak yang sah, anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan. Dipertegas dalam KUH.Perdata, tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya,[5] dengan memperoleh si suami sebagai ayahnya, maka anak akan memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

Pada tanggal 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi telah menngeluarkan keputusan yang mengejutkan banyak kalangan, yaitu dikeluarkannya Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan hukum bagi anak di luar perkawinan. Hal ini bermula dari Machica alias Aisyah Mochtar yang pada tanggal 14 Juni 2010 mengajukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi, terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 ayat (2), “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan pasal 43 ayat (1), “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Pengajuan ini berdasarkan pada tidak adanya pengakuan dari Moerdiono pernah melangsungkan pernikahan dengan Machica Mochtar pada tanggal 20 Desember 1993, sehingga membuat status hukum Muhammad Iqbal, anak yang lahir dari pernikahan tersebut, menjadi anak di luar perkawinan. Akta Nikah yang seharusnya dimiliki oleh pasangan suami istri pun tidak ada, karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan.

Merasa buntu dengan cara kekeluargaan, pada pertengahan 2007, Machica Mochtar kemudian mengadukan mantan suaminya tersebut kepada Komisi Perlindangan Anak Indonesia (KPAI), karena dianggap melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak . Selanjutnya pada tanggal 24 April 2008, Machica mengajukan permohonan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama Tigaraksa Tanggerang. Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Tanggerang, membacakan penetapan permohonan tersebut pada tanggal 18 Juni 2008, yang pada intinya menolak permohonan pemohon.

Pada bulan Juli 2010, Machica Mochtar berjuang lewat Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan pengakuan tentang status hukum Iqbal sebagai anak yang sah. Machica menganggap bahwa pasal 2 ayat (2) mengenai pencatatan perkawinan, telah mencederai status anaknya, yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan, begitu pula dengan pasal 43 ayat (1), menghalangi Iqbal mempunyai hubungan keperdataan dengan Moerdiono.

Pengujian materiil tersebut, hanya diterima sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi regristasi nomor: 46/PUU-VIII/2010, yang menyatakan bahwa pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, harus dibaca “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Adanya putusan ini, tentu saja berdampak pada tatanan hukum perkawinan di Indonesia, khususnya mengenai kedudukan anak di luar perkawinan. Atas dasar uraian tersebut penulis memiliki ketertarikan untuk meneliti lebih jauh pertimbangan hakim Mahkmah Konstitusi dalam mengambil putusan tersebut serta serta menganalisis pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 setelah adanya putusan Makamah Konstitusi ini dengan ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Maka dari itu penulis ingin meneliti putusan tersebut dengan judul: “Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkmaah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH.Perdata)”.

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Serta untuk mengetahui ketentuan hukum dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 setelah putusan Makamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

 

  1. 1.Kedudukan Anak Dalam Perkawinan

Kedudukan seorang anak pada umumnya memiliki posisi yang sangat penting di dalam kehidupan keluarganya maupun negara. Sebab bagaimanapun juga anak merupakan bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi yang besar dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak memiliki peranan yang sangat strategis dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik, mental dan social secara utuh,serasi, selaras dan seimbang.[6]           

Dalam beberapa literatur Undang-Undang yang menjelaskan tentang definisi Anak yaitu pada pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak bahwa anak adalah seorang yang belum berusia delapan belas tahun termasuk yang terdapat dalam kandungan dan juga dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah akan tetapi berbeda halnya dengan anak yang lahir di luar kondisi yang normal.[7]

Hukum positif di Indonesia membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah, dalam arti, bahwa yang satu adalah keturunan yang lain berdasarkan kelahiran dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak-anak yang demikian disebut anak sah.Sedangkan keturunan yang tidak sah adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah, orang menyebut anak yang demikian ini adalah anak luar kawin.[8]

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W.) menyebut anak luar kawin dengan istilah sebagai Naturlijk Kind (anak alam). Anak luar kawin adalah anak yang terlahir di luar perkawinan yang sah, dalam hal ini anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tetapi tidak di benihkan oleh seorang pria yang berada dalam perkawinan yang sah dengan ibu dari anak tersebut, dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina dan anak sumbang. Maka kedudukan anak luar kawin disini sebagai anak yang tidak sah.[9]                Keturunan yang dilahirkan atau dibuahkan di dalam perkawinan adalah keturunan yang sah. Dengan demikian maka jika seorang anak yang dibenihkan di dalam perkawinan tapi lahirnya setelah perkawinan orang tuanya bubar maka anak itu adalah sah. Bagitu juga jika anak itu dibenihkan di luar perkawinan, tetapi lahir di dalam perkawinan maka anak itu adalah sah juga. Dengan demikian, maka seorang anak yang lahir dengan tidak memenuhi ketentuan tadi adalah anak yang tidak sah.[10]

Keberadaan anak di luar kawin memiliki konsekuensi hukum tersendiri, sebagaimana yang pendapat J. Satrio yang memandang hukum perdata dalam memposisikan kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Seorang anak luar kawin tidak begitu saja langsung memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah atau ibunya (orang tuanya). Anak di luar kawin memang memiliki “ kesamaan/kemiripan” biologis dengan kedua orang tuanya akan tetapi secara yuridis mereka tidak memiliki hak dan kewajiban apapun terhadap anak di luar kawin tersebut. Pendapat beliau dapat diartikan bahwa kedudukan seorang anak luar kawin menurut KUH.Perdata tidak memiliki posisi/ikatan apapun baik secara hukum maupun biologis, dengan kata lain anak luar kawin hidup sebatang kara hidup di muka bumi ini, sungguh menyedihkan melihat kenyataan ini anak yang merupakan ciptaan Tuhan tidak memiliki kedudukan apapun di muka bumi ini hanya karena aturan yang dibuat oleh sesamanya.[11]

Tentang Anak di luar kawin menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W.) terdapat dua jenis anak di luar kawin yaitu : pertama adalah anak yang lahir dari ayah dan ibu antara orang-orang yang mana keduanya tidak terdapat larangan untuk kawin, dan anak yang lahir dari ayah dan ibu yang dilarang untuk kawin,Karena sebab-sebab yang ditentukan oleh Undang-Undang atau jika salah satu dari ayah atau ibu di dalam perkawinan dengan orang lain. Kedua adalah anak zina yaitu anak yang dilahirkan diluar kawin, perlu diakui oleh ayah atau ibunya supaya ada hubungan hukum. Sebab kalau tidak ada pengakuan maka tidak terdapat hubungan hukum.Jadi meskipun seorang anak itu jelas dilahirkan oleh ibu, ibu itu harus dengan tegas mengakui anak itu.Jika tidak maka tidak ada hubungan hukum antara ibu dan anak.[12]

Mengenai istilah anak yang lahir karena zina adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan atau dibenihkan seorang laki-laki sedangkan perempuan atau laki-laki tersebut berada dalam perkawinan dengan orang lain, sedangkan anak yang lahir dalam sumbangan adalah anak yang lahir dari seorang ibu, yang dilarang kawin menurut Undang-Undang dengan orang laki-laki yang membenihkan anak itu..[13]

Dalam hal status hukum anak yang dilahirkan dari perbuatan zina dan sumbang tidak diperkenankan untuk diakui orang yang berbuat zina, kecuali dapat dispensasi dari Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 238 KUH.Perdata.

 

  1. 2.Hak-Hak Anak
  2. a)Hak Nafkah,

Nafkah berarti belanja, kebutuhan pokok yang dimaksudkan adalah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya. Mengingat banyaknya kebutuhan yang di perlukan oleh keluarga tersebut maka dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kebutuhan pokok minimal adalah pangan18, sedangkan kebutuhan yang lain tergantung kemampuan orang yang berkewajiban membayar atau menyediakannya dan memenuhinya.[14]

Pasal 2 UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak merumuskan hak-hak anak sebagai berikut : “Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.”

Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar.[15]

Pada pasal 321 KUH.Perdata disebutkan bahwa “Tiap-tiap anak berwajib memberi nafkah kepada kedua orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis ke atas, apabila mereka dalam keadaan miskin”. Selanjutnya dalam pasal 323 KUH.Perdata dijelaskan bahwa “Kewajiban-kewajiban yang timbul karena ketentuan-ketentuan dalam kedua pasal yang lalu, adalah bertimbal balik”.

Menurut dua pasal tersebut, maka timbul hubungan timbale-balik untuk menafkahi antara orang tua dan anak apabila salah satu dari keduanya tidak mampu. Sudah barang tentu anak adalah tanggung jawab orang tuanya untuk diberi nafkah sampai dapat berdiri sendiri atau menikah dan orang tua menjadi tanggung jawab anaknya apabila sudah berusia lanjut ataupun tak mampu mencari nafkah.

Pada dasarnya pemberian nafkah kepada anak dimulai sejak masa dalam kandungan, sesuai dengan Pasal 2 KUH.Perdata yang menyebutkan, “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya”. Adapun mengenai ketentuan nafkah yang diberikan, disesuaikan antara kebutuhan yang diberi nafkah dengan pendapatan serta kekayaan yang memberi nafkah. Hal ini diatur dalam Pasal 329a KUH Perdata yang berbunyi,

Nafkah yang diwajibkan menurut buku ini, termasuk yang diwajibkan untuk pemeliharaan dan pendidikan seorang anak di bawah umur, harus ditentukan menurut perbandingan kebutuhan pihak yang berhak atas pemeliharaan itu, dengan pendapatan dan kemampuan pihak yang wajib membayar, dihubungkan dengan jumlah dan keadaan orang-orang yang menurut buku ini menjadi tanggungannya.”[16]

Dan Pasal 383 KUH.Perdata yang menyatakan, “Wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan bagi anak belum dewasa menurut kemampuan harta kekayaannya dan harus mewakili anak belum dewasa itu dalam segala tindakan perdata.”

  1. b)Hak Perwalian

Seperti diketahui bahwa dalam KUHPerdata ada juga disebutkan pengertian dari Perwalian itu, yaitu pada pasal 330 ayat (3) menyatakan : “Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.

Pada umumnya didalam sistem perwalian menurut KUHPerdata memiliki beberapa asas, yakni :

  1. 1)Asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid). Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 KUHPerdata.
  2. 2)Asas kesepakatan dari keluarga. Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUH Perdata.[17]

 

  1. 3)Orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai wali.Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:
    1. a.Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama.
    2. b.Perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dengan suatu testamen atau akte khusus.
    3. c.Perwalian yang diangkat oleh Hakim.
  1. 4)Orang-orang yang berwenang menjadi Wali. Pasal 379 KUH.Perdata menyebutkan lima golongan orang yang dikecualikan atau tidak boleh menjadi wali, yaitu[18]:
    1. a.Orang-orang sakit ingatan (krankzinnigen)
    2. b.Minderjarigen
    3. c.Orang yang diletakkan di bawah pengampunan (curatele)
    4. d.Mereka yang dipecat atau dicabut (ontzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan
    5. e.Para ketua, wakil ketua, sekretaris Balai Harta Peninggalan, kecualli atas anak-anak tiri pejabat-pejabt itu sendiri.
  1. 5)Mulainya Perwalian. Dalam pasal 331a KUHPerdata, ditentukan mulai berlakunya perwalian untuk setiap jenis perwalian, yaitu[19]:
    1. a.Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya.
    2. b.Jika seorang willi diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu meniggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.
    3. c.Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orang tua.
  1. 6)Hal Melakukan Perwalian. Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian). Dalam pasal 383 (1) KUH Perdata, “Setiap wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan.” Artinya wali bertanggung jawab atas semua
  2. 7)Barang-Barang yang Tak Termasuk Pengawasan Wali. Menurut pasal 385 (2) KUH Perdata, barang-barang tersebut adalah berupa barang-barang yang dihadiahkan atau diwariskan kepada pupil dengan ketentuan barang tersebut akan diurus oleh seorang pengurus atau beberapa pengurus.[20]
  3. 8)Tugas dan Kewajiban Wali. Adapun kewajiban wali adalah[21] :
    1. a.Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan. Pasal 368 KUH Perdata apabjla kewajiban ini tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos.
    2. b.Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (Pasal 386 ayat 1 KUH Perdata).
    3. c.Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (Pasa1 335 KUH Perdata).
    4. d.Kewajjban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan. (Pasal 338 KUH Perdata).
    5. e.Kewajiban wali untuk menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer. (Pasal 389 KUH Perdata)
    6. f.Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara. (Pasal 392 KUH Perdata)
    7. g.Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik minderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.
  1. 9)Berakhirnya perwalian. Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu[22] :
    1. a.Dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena :
      1. 1.Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).
      2. 2.Matinya si anak.
      3. 3.Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
      4. 4.Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.
      5. b.Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena :
        1. 1.Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
        2. 2.Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380 KUHP Perdata). Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena lebih mementingkan kepentingan anak minderjarig itu sendiri.
  1. 10)Perhitungan dan Tanggung Jawab. Pasal 409 KUH.Perdata menentukan bahwa di setiap akhir perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan perhitungan tanggung jawab penutup.
  2. 11)Wali Pengawas. Pengangkatan wali pengawas selalu terjadi dalam setiap perwalian. Wali wajib menjaga adanya wali pengawas (Pasal 368 KUH.Perdata). Sebagaimana dikatakan di atas, bila wali tidak memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan tentang terjadinya perwalian, maka wali itu dapat dipecat.
  1. c)Hak Waris

Pengertian waris diatur dalam pasal 833 KUH Perdata yakni pewarisan sebagai suatu proses perpindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain atas segala barang, segala hak dan segala piutang dari seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Pada dasarnya pewarisan adalah suatu perpindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal kepada para ahli warisnya. Dan secara singkat dapat juga dikatakan bahwa definisi dari hukum waris menurut KUH.Perdata ini adalah perpindahan harta kekayaan dari orang yang meninggal kepada orang yang masih hidup, jadi bukan hanya ahli waris dalam pengertian keluarga dekat (sebagaimana hukum Islam), namun juga orang lain yang ditunjuk oleh orang yang meninggal dunia sebagai ahli warisnya.

Pada dasarnya dalam sistem kewarisan dalam KUH.Perdata adalah pewarisan sebagai proses perpindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya, akan tetapi proses tersebut tidak dapat terlaksana apabila unsurnya tidak lengkap. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:

  1. 1)Orang yang meninggalkan harta (erflater). Erflater adalah orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta untuk orang-orang (ahli waris) yang masih hidup.
  2. 2)Harta warisan (erfenis). Mengenai harta warisan ini dalam KUH Perdata dikategorikan menjadi:
    1. a.Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya piutang yang hendak ditagih yang disebut dengan istilah activa;
    2. b.Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang harus dibayar pada saat meninggal dunia atau passiva;
    3. c.Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing suami isteri, harta bersama dan sebagainya.
    4. 3)Ahli Waris (erfegnaam). Ahli waris adalah anggota keluarga yang masih hidup yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris. Ahli waris dalam sistem kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara garis besar terbagi menjadi dua macam yakni:
    5. a.Ahli waris menurut undang-undang (ab intestato) adalah ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Mewaris berdasarkan undang-undang ini adalah yang paling diutamakan mengingat adanya ketentuan legitime portie yang dimiliki oleh setiap ahli waris ab intestato ini. Dalam pasal 832 kuh perdata, dinyatakan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sederajat baik sah maupun di luar kawin yang diakui, serta suami isteri yang hidup terlama.[23]
    6. b.Berdasarkan penggantian (bij plaatvervuling) ahli waris yang menerima ahli waris dengan cara menggantikan, yakni ahli waris yang menerima warisan sebagai pengganti ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Ahli waris bij plaatvervuling ini diatur dalam pasal 841 sampai pasal 848 kuh perdata.[24]
  1. 3.Pengakuan Terhadap Anak di Luar Perkawinan

Anak yang lahir diluar kawin perlu diakui oleh ayah atau ibunya supaya ada hubungan hukum.Sebab kalau tidak ada pengakuan maka tidak terdapat hubungan hukum. Meskipun seorang anak itu dilahirkan oleh seorang ibu, ibu itu harus tegas mengakui anak itu.Kalau tidak maka tidak ada hubungan hukum antara ibu dan anak. Pengakuan ini adalah suatu hal yang lain sifat dari pengesahan. Dengan pengakuan seorang anak itu tidak menjadi anak sah.Anak yang lahir di luar perkawinan itu, baru menjadi anak sah jika kedua orang tuanya kemudian kawin, setelah kedua orang tua itu mengakuinya, atau jika pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri.[25]

Menurut pendapat R. Soebakti bahwa hubungan tali kekeluargaan beserta dengan segala akibat-akibatnya terutama hak mewarisi antara anak dan orang tuanya baru bisa terjadi apabila ada pengakuan dari orang tuanya. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 272 KUH Perdata yang berbunyi[26], Kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan diluar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan Undang-Undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri”.

Berkenaan dengan pasal diatas, dapat ditegaskan bahwa pengakuan yang dilakukan oleh kedua orang tuannya dari anak luar kawin, yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, akan tetapi ia tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah dan tidak termasuk anak zina dan anak sumbang. Dan pasal diatas dipertegas dalam pasal 280 KUH Perdata yang berbunyi, dengan pengakuan yang dilakukan terhadap anak luar kawin, timbulah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya”.

Dalam hal status hukum anak yang dilahirkan dari perbuatan zina dan penodaan darah tidak diperkenankan untuk diakui orang tuanya. Kecuali anak penodaan darah dapat diakui apabila orang tunya mendaptkan dispensasi untuk menikah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 273 KUH.Perdata.

Menurut KUH Perdata ada tiga tingkatan status hukum dari anak luar kawin yaitu:

  1. 1.Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua orang tuanya.
  2. 2.Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya.
  3. 3.Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tuanya melangsungkan perkawinan sah.[27]

 

Sesuai dengan Klasifikasi di atas dapat di pahami bahwa untuk menjadikan seorang anak luar kawin sah di mata hukum dan memperoleh haknya selaku anak dalam hal waris, maka anak luar kawin perlu mendapat sebuah pengakuan dari salah satu atau kedua orang tuanya. Jika kedua orang tuannya melangsungkan perkawinan belum memberikan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, maka pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan surat pengesahan dari Kepala Negara.

Pengakuan ini adalah suatu hal pengesahan orang tua terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, dan pengesahan ini hanya dapat dilakukan dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W.) pasal 272, sedang untuk pengakuan terhadap anak luar kawin dimuat dalam pasal 281, Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakuakan melalui:

  1. 1.Dalam akta kelahiran si anak.
  2. 2.Dalam akta perkawinan ayah dan ibu kalau kemudian kawin.
  3. 3.Dalam akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil dan kemudian dibukukan dalam daftar kelahiran menurut tanggal dibuatnya akta tadi.
  4. 4.Dalam akta otentik lain. Dalam hal ini tiap-tiap orang yangberkepentingan dapat menuntut supaya pengakuan ini dicatat dalamakta kelahiran anak.[28]

 

Anak yang lahir dari perkawinan wanita hamil adalah anak sah dari kedua orang tuanya, sehingga ia memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Hal ini diatur dalam Pasal 42 s/d 44 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Maka dari itu anak luar kawin yang dapat mewarisi adalah anak yang diakui dengan sah oleh kedua ibu bapaknya, karena menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W.) asasnya adalah, bahwa mereka mempunyai hubungan hukum dengan pewaris yang berhak menerima harta warisan menurut undang-undang dan hubungan hukum tersebut karena adanya pengakuan dari kedua orang tuanya. Pengakuan dari ibu dan bapak sebagai anak yang sah dan hanya dapat dibuktikan dengan akta otentik.

  1. 4.Mahkamah Konstitusi Dan Kewenanganya
  2. a.Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Keberadaan MK sebagai salah satu kekuasaan kehakiman, selain ditegaskan pada pasal 24 ayat (2) UUD 1945, juga disebut pada pasal 2 UU No. 4 tahun 2003 yang berbunyi, “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagai di maksud dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”[29]

Bertitik Tolak dari ketentuan pasal-pasal diatas, keberadaan dankedudukan MK sebagai satu pelaku kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam pasal 1 angka 1 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Desain keberadaan dan wewenang Mahkamah Konstituai di gariskan pada pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Desain itu pula yang di gariskan pada pasal 10 ayat (1) UU MK pada penjelasan pasal ini di jelaskan, “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak di ucapakan dan tidak ada upaya hukum yang dapat di tempuh.”[30]

Mahkamah Konstitusi berdasarkan pasal 24C ayat (1) dan Pasal 10 ayat 1 UU MK ,mempunyai empat wewenang.Adapun kewenangannya adalah :

  1. a.Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. b.Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
  3. c.Memutus pembubaran partai politik.
  4. d.Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

 

Sedangkan dalam pasal 24C ayat (2) dan pasal 10 ayat (2) UU MK memuat tentang kewajiban Mahkamah Konstitusi yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.[31]

Dalam perkembangannya kewenangan Mahkamah Konstitusi sekarang bertambah satu lagi yaitu memutus sengketa PILKADA, yang sebelumnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Peralihan kewenangan dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Kostitusi didasarkan pada ketentuan pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Dalam pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 disebutkan bahwa, ”penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.[32]

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balancesyang menempatkan semua lembaga Negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan Negara. keberadaan Mahkamah Kostitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga Negara.Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitus, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-Undang.

Untuk mendapatkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini mengatur mengenai syarat calon hakim kostitusi secara jelas. Disamping itu diatur pula ketentuan pengangkatan dan pemberhentian, cara pencalonan secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim kostitusi secara obyektif dan akuntabel.

Hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini memuat aturan umum beracara dimuka Mahkamah Kostitusi dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Kostitusi.Untuk kelancara pelaksanaan tugas dan wewenangannya, Mahkamah Kostitusi diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang ini.

Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Dalam pasal III aturan peralihan Undang-Undang 1945 ditetapkan bahwa Mahkamah Kostitusi dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung, sehingga Undang-Undang ini mengatur pula peralihan dari perkara yang ditangani Mahkamah Agung setelah terbentuknya Mahkamah Konstitusi.[33]

  1. b.Wewenang Hak Uji Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, kepada Mahkamah Konstitusi diberikan hak menguji UU terhadap UUD 1945.Kewenangan itu merupakan kekuasaan mengadili MK pada tingkat pertama dan terakhir (the first and the last instance), sehingga putusan yang dijatuhkannya bersifat final. Ketentuan yang di gariskan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut di ulang kembali pada pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 4 tahun 2004, bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkhir untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Ketentuan yang sama dijelaskan lagi pada Bab III UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK ( selanjutnya disebut UU MK).[34]

Melalui wewenang menguji UU terhadap UUD 1945, MK berperan memastikan bahwa ketentuan Undang-Undang yang di buat pembentuk Undang-Undang benar-benar sesuai dan tidak bertentangan UUD 1945. Dengan demikian dasar-dasar konstitusional demokrasi yang diatur dalam UUD 1945, baik terkait dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga Negara, pengaturan kelembagaan Negara, serta mekanisme demokrasi benar-benar benar-benar di operasionalkan dalam bentuk Undang-Undang.[35]

Perkara mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 diatur secara khusus dalam pasal 50 samapai 60 UU Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pasal 50, Undang-Undang yang dapat di mohonkan untuk di uji adalah Undang-Undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Selama Undang-Undang tersebut di uji oleh Mahkamah Konstitusi masih tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa Undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.[36]

Selanjutnya dalam pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi di sebutkan bahwa, ”Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang”. Selanjutnya dalam pasal itu diatur mengenai kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon, yaitu:

  1. a.Perorangan warga Negara.
  2. b.Kesatuan masyrakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Indonesia.
  3. c.Badan hukum public atau privat.
  4. d.Lembaga Negara.

Dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang apabila ternyata permohonan tersebut dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/ bagian dari Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, materi muatan ayat, pasal dan/ atau bagian Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Demikian pula putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[37]

 

  1. 5.Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Jenis putusan yang disimpulkan dari amarnya dapat dibedakan antara putusan yang bersifat declaratoir, constitutief dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan di mana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi.[38]

Amar putusan dalam putusan mahkamah konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa mahkamah menerangkan apa yang menjadi hukum (declaratoir) Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 yang berbunyi, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai bapaknya.

Kemudian Mahkamah meniadakan hukum tersebut dan menciptakan hukum yang baru (constitutief), “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk dengan keluarga ayahnya.”

Putusan ini bersifat declaratoir constitutief yang artinya menegaskan bahwa pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian meniadakan serta menciptakan hukum baru tentang permasalahan kedudukan anak di luar perkawinan.

Penciptaan hukum baru tentang permasalahan hukum kedudukan anak di luar perkawinan memberikan payung hukum terhadap anak tersebut, sehingga kewajiban orang tua, dalam hal ini adalah bapak biologisnya, akan sampai kepada pemenuhan hak-hak anak. Keadilan yang diambil majelis hakim konstitusi dalam hal ini didasarkan pada keadilan rasional, yang mana hubungan perdata anatara bapak dan anak bukan hanya dapat diwujudkan melalui hubungan perkawinan namun juga melalui hubungan darah.

Secara garis besar, putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terdiri atas enam poin, identitas pemohon, duduk perkara, pertimbangan hukum, konklusi, amar putusan dan alasan berbeda (concurring opinion).

Permohonan para pemohon pada intinya menganggap bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan, “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan ibunya”, bertentangan dengan Udang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1) yang menyatakan, “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” dan ayat (2) yang menyatakan, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, serta Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Hal pertama yang yang menjadi perhatian Majelis Hakim Konstitusi dalam menimbang permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Dalam kalimat selanjutnya diperoleh keterangan, “untuk memperoleh jawaban dalam prespektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak”.

Makna yang terkandung dalam frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”, merujuk pada tentang kedudukan anak di luar perkawinan, yang pada umumnya membahas permasalahan status keperdataan anak. Pasal 42 UU No. 1/1974 memberikan pengertian bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 menjelaskan, bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu” dan pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 menyatakan, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Merujuk pada pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi mengenai pencatatan perkawinan bahwa, pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU No. 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan:

“… bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.”

 

Berdasarkan penjelasan UU No. 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pelurusan yang diberikan Majelis Hakim Konstitusi ini memberikan pandangan bahwa faktor yang menetukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.

Pada uraian selanjutnya, Majelis Hakim Konstitusi memandang bahwa, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak, tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan dengan ibunya, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.

Hal ini berlandaskan, karena menurut majelis Hakim Konstitusi, “akibat hukum dari peristiwa kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu dan bapak”. Maka tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan ibunya dan membebaskan laki-laki yang menggauli ibunya dari tanggung jawab seorang bapak serta meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut.

Jadi dalam kata lain, hubungan perdata antara anak dengan bapak biologisnya tidak berkaitan dengan perkawinan laki-laki tersebut dengan ibunya, karena kewajiban laki-laki tersebut sebagai bapak harus dipenuhi untuk menjaga hak-hak anak

Pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi berikutnya adalah berkaitan tentang eksistensi seorang anak. Anak yang dilahirkan pada dasarnya tidak patut untuk dirugikan dengan tidak terpenuhinya hak-haknya, karena kelahirannya di luar kehendaknya. Mengenai hal ini Pasal 2 KUH.Perdata menjelaskan bahwa, “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendaki”. Jelaslah bahwa seorang anak, walaupun dalam kondisi janin, mempunyai hak-hak keperdataan yang harus dipenuhi.

Selain itu, anak yang dilahirkan tanpa kejelasan status bapaknya, seringkali mendapat perlakuan tidak adil dan stigma di tengah masyarakat. Oleh karenanya hukum harus memberikan perlindungan dan kepastian terhadapa anak yang dilahirkan.

Hakim Konstitusi, Maria Farida Indrati dalam alasan berbeda (concurring opinion) menyatakan bahwa[39],

Perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 juga memiliki potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian bagi anak yang terutama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak biologis)-nya, yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Selain itu, dalam masyarakat yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai tradisional, pengertian keluarga selalu merujuk pada pengertian keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (anak-anak). Keberadaan anak dalam keluarga yang tidak memiliki kelengkapan unsur keluarga batih atau tidak memiliki pengakuan dari bapak biologisnya, akan memberikan stigma negatif, misalnya, sebagai anak haram. Stigma ini adalah sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-psikologis, yang sebenarnya dapat dicegah dengan tetap mengakui hubungan anak dengan bapak biologisnya. Dari perspektif peraturan perundang-undangan, pembedaan perlakuan terhadap anak karena sebab-sebab tertentu yang sama sekali bukan diakibatkan oleh tindakan anak bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang diskriminatif.

Potensi kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, menutup kemungkinan bagi anak tersebut untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya. Hal ini adalah resiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU No. 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah “dosa turunan”. Dengan kata lain, potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dengan demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya”.

 

Uraian alasan yang dikemukakan Hakim Maria Farida, berpusat pada potensi kerugian yang timbul dari perkawinan yang tidak didasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Pada anak luar kawin, kerugian utama yang didapat adalah tidak diakuinya hubungan anak tersebut dengan ayah biologisnya. Sehingga mengakibatkan adanya kerugian sosial-psikologis terhadap anak karena adanya sikap diskriminatif dan stigma di tengah masyarakat.

Pada dasarnya, Hakim Maria Farida menyadari bahwa ini adalah resiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan, namun tidaklah pada tempatnya jika si anak juga harus menanggung kerugian akibat perbuatan orang tuanya. Jika dianggap sebuah saksi, maka harusnya resiko ini ditanggaung oleh laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, bukan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Perbedaan yang mendasar antara pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi dengan pertimbangan Hakim Maria Farida Indrati adalah mengenai makna anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Majelis Hakim Konstitusi, cenderung mengarah kepada anak yang dilahirkan di luar perkawinan secara luas, yaitu tidak hanya menyangkut anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan, namun juga melingkupi anak zina dan anak sumbang. Hal ini didasarkan karena dalam pertimbangannya Majlis Hakim berpendapat bahwa hubungan keperdataan anatara anak luar kawin dan ayah biologisnya bisa ditimbulkan melalui hubungan darah.

Sedangkan alasan yang diutarakan oleh Hakim Maria Farida, mengarah kepada anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dalam suatu perkawinan yang tidak dicatatkan. Hal ini terlihat dalam kalimat terakhir alasan beliau yang menyatakan, “pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya”.

Dapat ditarik penjelasan bahwa dasar pertimbangan Majelis hakim Konstitusi dalam permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah:

  1. 1.Tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan ibunya serta melepaskan laki-laki yang menggauli ibunya lepas dari tanggung jawab sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut sebagai bapaknya.
  2. 2.Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran yang didahului hubungan seksual adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu dan bapak.
  3. 3.Anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum, agar hak-haknya dapat terpenuhi, termasuk anak yang dilahirkan dari perkawinan yang keabsahaannya masih dipersengketakan. Karena tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya.

 

  1. 6.Ketentuan Hukum Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasca Putusan Mahakamh Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Ditinjau Dari KUH.Perdata

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, membuka peluang bagi anak luar kawin untuk dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya. Pasal tersebut yang semula berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, harus yang dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”,

Cita hukum yang terkadung dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 1/74, adalah berupaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak anak. Selain itu juga berupaya untuk memulihkan kerugian yang timbul dari kelahiran anak di luar perkawinan.

Seperti yang diutarakan oleh Hakim Maria Farida, bahwa potensi kerugian terhadap anak dalam perkawinan yang tidak didasarkan UU No. 1/74, adalah tidak ada pengakuan dari bapak biologisnya yang berhubungan dengan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak biologisnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainya, serta kerugian sosial-psikologis di tengah masyarakat yang bisa berujung pada tindakan diskriminatif.

Pengambilan hubungan darah sebagai patokan untuk adanya hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan bapak biologisnya, dapat melindungi hak-hak keperdataan yang dimiliki anak tersebut. Namun kerugian sosial-psikologis yang diderita anak luar kawin tersebut belum tentu dapat dipulihkan. Harapan seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan, tentu saja adanya perubahan status dari tidak sah menjadi sah serta mempunyai kelengkapan keluarga, dalam artian mempunyai ayah kandung yang menjadi suami ibunya.

Namun di sisi lain, Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/74 hanya mengatur tentang hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan bapak biologisnya. Hubungan perdata ini tidak serta merta memberikan ketentuan tentang pengesahan anak, hanya penetapan bahwa anak luar kawin dapat mempunyai hubugan dengan bapak biologisnya sehingga dapat dituntut hak anak luar kawin terhadap bapak biologisnya. Dengan demikian status anak luar kawin tersebut tetap menjadi anak tidak sah, namun dengan hak-hak yang setara dengan anak yang sah. Jadi pasal ini mengatur tentang pengakuan terhadap seorang anak anak luar, bukan pengesahannya.

Pengakuan anak luar kawin yang ditmbulkan dari Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/74 adalah perbuatan hukum yang menciptakan akibat-akibat hukum yang berlandaskan atas keturunan (afstamming) seorang anak. Pengakuan ini adalah gabungan dari tori pembuktian hukum (bewijsrechtelijke theorie) dan teori hukum materiil (materieelrectelijke theorie).

Teori pembuktian hukum adalah pengakuan yang tidak menciptakan keadaan baru, melainkan hanya menetapkan keadaan yang sudah ada dan berperan terbatas sebagi pembuktian atas keturunan anak. Sedangkan teori hukum materiil adalah pengakuan yang berupa suatu perbuatan hukum yang menciptakan akibat-akibat hukum.[40]

Sebagai pedoman hukum yang bersifat lex generalis, KUH.Perdata mengenal dua jenis pengakuan anak, yaittu:

  1. 1.Pengakuan dengan sukarela. Pengakuan adalah suatu pernyataan kehendak yang dilakukan oleh seorang menurut cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang bahwa ia adalah ayah (ibu) dari seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
  2. 2.Pengakuan dengan paksaan. Pengakuan dengan paksaan yang dimaksud di sini adalah putusan Pengadilan yang menetapkan perihal ibu atau ayah seorang anak luar kawin.[41]

Jadi pembuktian yang dimaksud dalam kalimat, “…yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah”, dapat dilakukan secara sukarela ataupun dengan paksaan dari Pengadilan.

Adapun mengenai persoalan pengesahan anak, dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KHU.Perdata. menurut KUH.Perdata pengesahan anak hanya dapt terjadi dengan dua macam cara, yaitu:

  1. 1.Dengan perkawinan orang tuanya. Pasal 272 KUH.Perdata menyatakan bahwa anak-anak yang dibenihkan di luar perkawinan akan menjadi sah bila:
    1. a)Orang tunaya kawin
    2. b)Sebelum mereka kawin, terlebih dahulu telah mengakui anaknya atau pengakuan tersebut dilakukan dalam akte perkawinan.[42]
    3. 2.Adanya surat-surat pengesahan. Pengesahan dengan surat-surat pengesahan dapat dilakukan karena dua hal, yaitu:
      1. a)Bilamana orang tuanya lalai untuk mengakui anak-anaknya sebelum perkawinan dilangsungkan atau pada saat perkawinan dilangsungkan (Pasal 274 KUH.Perdata)
      2. b)Bilamana terdapat masalah hubungan intergentil, misalnya sang ibu termasuk golongan Bumi Putera atau yang dapat dipersamakannya, maka terdapat alasan-alasan penting menurut pertimbangan Menteri Kehakiman yang bersifat menghalang-halangi perkawinan orang tua itu.[43]

Menilik persoalan pembuktian dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974, untuk membuktikan keabsahan dari laki-laki yang merupakan bapak biologis dari anak luar kawin, maka dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pembuktian melalui DNA.

Meskipun pada wujudnnya nanti hasil tes DNA merupakan bukti tertulis yang diwujudkan dari keterangan ahli, namun esekusi terhadap pelaksanaan tes DNA masih diragukan. Keraguan dalam hal ini bukan pada hasil tesnya, namun pada proses pelaksanaan tes DNA, yakni kesediaan laki-laki yang diduga adalah bapak biologis untuk melaksanakan tes DNA, mengingat bahwa eksekusi terhadap badan dalam bidang perdata dalam peraturan di Indonesia belum ada. Sehingga walaupun ada putusan pengadilan yang mengharuskan laki-laki yang diduga bapak biologis dari anak luar kawin untuk melaksanakan tes DNA, tetapi tidak ada peraturan yang memaksanya, maka dapat dipastikan masalah pembuktian akan berlarut-larut bahkan mungkin tidak akan pernah terbukti.

Terkait dengan masalah pembuktian anak luar kawin dengan menggunakan tes DNA tersebut, dapat dilengkapi atau dapat dibuktikan dengan alat bukti lain yang ditentukan oleh Undang-Undang.

 

  1. 7.Penutup

Mahkamah konstitusi melalui putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 telah melakukan sebuah penciptaan hukum yang baru mengenai status hukum anak di luar perkawinan. Adapun inti pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut adalah:

  1. a)Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak, tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan dengan ibunya, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan leki-laki tersebut sebagai bapak.
  2. b)Hak seorang anak, tanpa memandang status perkawinan kedua orang tuanya, harus mendapatkan perlindangan dan kepastian hukum yang adil, karena pada dasarnya, hukum tidak mengenal istilah dosa turunan

Sedangkan ketentuan hukum yang terkandung dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:

  1. a)Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang pengakuan terhadap anak luar kawin.
  2. b)Kerugian sosial-psikologis yang diterima anak luar kawin belum dapat sepenuhnya dipulihkan dengan adanya ketentuan hubungan perdata dengan bapak biologisnya, karena stigma anak luar kawin masih melekat pada diri anak tersebut.
  3. c)Pembukatian hubungan antara anak luar kawin dengan bapak biologisnya melalui tes DNA, dapat dilengkapi atau dapat dibuktikan dengan alat bukti lain yang telah diatur oleh Undang-Undang.

 

Daftar Pustaka

al-Khaq, M. NahyaSururi. Kedudukan Anak Diluar Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W), Skripsi. Malang : UIN Malang. 2007.

Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Reneka Cipta. 1997.

As-Syiddiqi, Hasbi, PengantarHukum Islam. Semarang: Rizki Putra. 1997.

Djubaedah, Neng. Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Di Catat Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2010.

Fajar, MuktidanYulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Harahap, Yahya. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. 2007.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Mahfud MD, Moh. Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukumdan Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2009.

Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendraldan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2007.

Merto Kusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantur. Yogyakarta: Liberty. 1998.

Nelli, Jumni. Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional

Nuruddin, Amiur, MA dan Azhari Akmal Tarigan, HukumPerdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana 2006.

Prinst, Darwan. Hukum Anak di Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. 2003.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17 Februari 2012, Tentang Uji Materiil Undang-undang Perkawinan PadaP asal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1).

Ramadhita. Status Keperdataan Anak Di LuarNikah Dari Nikah Sirri Melalui Penetapan Asal Usul Anak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kabupaten Malang), Skripsi.Malang: UIN Malang. 2011.

Rahmawati, Ririn. Pengabsahan Anak yang Dilahirkandari Perkawinan Sirri Ditinjaudari UU No. 1 Tahun 1974, Skripsi (Malang:UIN Malang). 2001.

Rahman, Fathur. IlmuWaris. Bandung: Al-Ma’arif. 1971.

Ridwan, Syahrini. Seluk Belukdan Azaz Hukum Perdata.Bandung, Alumni. 1992.

Sutiyoso,Bambang. Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: UII press. 2009.

——-, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2006.

Sadangka, Hari, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata. Bandung: CV. Mandar Maju. 2005

Satrio, J.. Hukum Waris.Bandung: Alumni. 1992

Satrio, J., Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2000.

Subekti, R danTitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) dengan tambahan undang-undang Agraria dan Undang-Undang Perkawian. Jakarata: PradnyaParamita. 2001.

Soimin, Soedharyo.. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: SinarGrafika. 1992.

Sudarsono. Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta :RenikaCipta. 2004.

 



[1] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Putra Grafika, 2008), 1.

[2] WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 38.

[3] Manan, Aneka, 79.

[4] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2006), 276.

[5] R. Subekti dan R. Tjitroudibo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradya Paramita), 62.

[6]Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesi,(Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2003), 2.

[7]J.Satrio, Hukum Waris, (Bandung, Alumni,1992), 151.

[8]J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang. (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), 5.

[9]Syahrini Ridwan, Seluk Beluk dan Azaz Hukum Perdata( Bandung, Alumni, 1992), 82.

[10]Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, ( Jakarta, PT. Reneka Cipta, 1997), 145.

[11]J.Satrio, Hukum Waris, 153.

[12]Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian,145-146.

[13]Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian,147.

[14] Safuddin Mujtaba dan Iman Jauhari (I), Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.84.

[15] Yusuf Thalib, Pengaturan Hak Anak dalam Hukum Positif, (Jakarta: BPHN, 1984), hal.

132.

[16] R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 89

[17] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, 233.

[18] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, 226.

[19] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, 228-229.

[20] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, 229.

[21] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, 229-230

[22] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, 231.

[23] R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 221

[24] R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 224-225.

[25] Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, 146.

[26]Subeki dan Tjitrosudibio, Kitan Undang-Undang Hukum Perdata, 68.

[27] Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan keluarga,(Jakarta, Sinar Grafika, 1992), 41.

[28]R.Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)denga tambahan undang-undang Agraria dan Undang-Undang Perkawian, (Jakarata, Pradnya Paramita, 2001), 69.

[29]Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata,(Jakarta, Sinar Grafika, 2008) , 14.

[30] Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi,15-16.

[31] Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi,15.

[32] Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian,6.

[33]Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian.6-7.

[34]Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi,96.

[35]Moh.Mahfud MD, Peran Mahkamah Konstitusi,5.

[36] Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian,102-103.

[37]Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian,128.

[38] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 205-206.

[39] Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012, 43-44.

[40] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, 187.

[41] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, 181.

[42] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, 189.

[43] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, 190.

 

© BAK Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *