Poligami

POLIGAMI DALAM MULTI PERSPEKTIF*

 

Oleh: MF. Zenrif**

 

 

I

 

BERANGKAT DARI KEKERASAN

TERHADAP PEREMPUAN

 

Mayoritas trafficking di Jawa Timur, menurut data yang dihimpun oleh Counter Trafficking Unit International Organizational for Migration, antara September 2005 hingga Oktober 2006 sebanyak 174 kasus. Dari jumlah tersebut, 117 kekerasan terjadi pada perempuan, 52 anak-anak, dan 5 laki-laki. Menurut Erma Susanti, pembicara dari KPPD (Kelompok Perempuan Pro Demokrasi) dalam Serasehan Trafficking dengan tema ”Selamatkan Perempuan dan Anak dari Cengkeraman Kekerasan” yang diadakan FP3A (Forum Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), mayoritas kekerasan tersebut dilakukan oleh orang terdekat korban dengan dorongan utama faktor ekonomi.[1]

Berangkat dari realitas seperti ini, yang sesungguhnya sejak dulu juga sudah dirasakan, antara lain, mengakibatkan kita acapkali mengeneralisasikan seluruh permasalahan masyarakat dengan menggunakan cara pandang ”kasihan” pada kaum perempuan. Perempuan dipandang sebagai masyarakat yang selalu menjadi objek penderita dalam hampir seluruh, untuk tidak mengatakan semua, pranata sosial, keluarga, pendidikan, ekonomi, politik, kebijakan, hukum, dan kesempatan mengaktualisasikan diri.  Oleh karenanya, perempuan harus diperjuangkan hak-haknya dan dikurangi sebagian besar kewajibannya yang dianggap, sekali lagi dianggap, telah banyak menjadi beban dalam kehidupannya.

Kalau kita runut ke belakang, diskursus keperempuanan hubungannya dengan keluarga sudah ada sejak paruh kedua dekade 90-an. Munculnya diskursus ini di Indonesia bersamaan dengan timbulnya berbagai permasalahan sosial disebabkan transformasi sosial, baik karena ekses negatif pembangunan[2] maupun akibat tidak langsung dari pendidikan.[3] Sekalipun pembangunan dan pendidikan telah menyumbangkan berbagai kemudahan dan pencerahan dalam beberapa hal, namun pada sisi lain ia menciptakan tantangan (threat) bagi keluarga[4] dan agama, misalnya masalah otonomi prokreasi[5] dan timbulnya model keluarga gay dan lesbian. Permasalahan ini telah terjadi di negara modern[6] dan belakangan mulai dapat dilihat fenomenanya dalam kehidupan masyarakat kota.

Pada sisi lain, pemberdayaan perempuan (women impowerment) memang diakui telah berhasil mengangkat citra perempuan di sisi laki-laki. Namun sangat disayangkan sekali, pemberdayaan perempuan yang sejak awal gerakannya dilakukan dengan cara adoptif, secara tidak langsung berakibat pada timbulnya ekses negatif terhadap konstruksi keluarga dan religiusitas masyarakat.

Fenomena seperti ini dapat dilihat dari beberapa keluarga perempuan karir yang gagal membangun keluarganya. Salah satu faktor yang cukup dominan dari kegagalan tersebut, selain dari masalah kemandirian ekonomi, ialah hadirnya Pria Idaman Lain (PIL)[7] sebagai bentuk perlawanan yang ekstrem dari hadirnya Wanita Idaman Lain (WIL). Pada sisi lain, maraknya prostitusi sebagai “profesi”[8] yang belakangan bersemai laksana jamur di musim hujan dihampir setiap sudut kota juga cukup merepotkan bagi tatanan dan keberlangsungan keluarga. Akan tetapi, profesi perdagangan ”daging mentah” tersebut juga merupakan sebuah fenomena perlawanan perempuan dalam ketidakberdayaannya, dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Sebuah permasalahan sosial yang sedemikian rupa menggelayut dalam kehidupan masyarakat kita sehingga mencapai titik perlawanannya pada doktrin-doktrin agama yang juga dianggap telah memperkokoh kekuatan laki-laki dihadapan perempuan.

II

”PERLAWANAN” TERHADAP AGAMA:

Analisis Dampak Gerakan Pemberdayaan Perempuan terhadap Pemikiran Islam

 

Menyimak pemikiran ulama dalam menanggapi permasalahan sosial seperti itu, setidaknya dapat dibagi kepada dua pola pemikiran. Pertama, kelompok yang ekstrem menolak gerakan pemberdayaan perempuan dan yang ekstrem memperjuangkannya. Kelompok yang ekstrem menolak pemberdayaan perempuan ialah semisal Syeikh Muhammad al-Bahiy,[9] al-Qahtaniy,[10] dan Sa’id Ramadan.[11] Pola pemikiran yang dikembangkan kelompok ini biasanya mencoba “menyelematkan” kaum perempuan dari ekses negatif gerakan pemberdayaan perempuan. Pola pemikirannya ialah dengan cara merevitalisasi pemikiran-pemikiran salaf. Sekalipun tujuan “penyelematan” perempuan dengan cara seperti ini cukup efektif, akan tetapi sangat disayangkan pada akhirnya justeru cenderung berakibat kembali pada ketidakberdayaan perempuan.

Sebagian feminis muslim, seperti Fatima Mernissi,[12] melawan corak pemikiran seperti ini dengan sangat ekstrem. Kelompok ini menanggapi dan menentang hampir seluruh pemikiran salaf dengan cara mendekonstruksi konsep-konsep yang mencitrakan perempuan sebagai subordinasi laki-laki, mulai dari konsep penciptaan, pendidikan, politik, pekerjaan domistik dan publik, hingga masalah-masalah keagamaan, seperti ibadah (ritual), poligami, hak waris dan hak perempuan sebagai pemimpin.

Kedua, ulama yang mengembangkan pola pikir yang moderat, seperti Abdul Halim Abu Syuqqah[13] dan Sachiko Murata.[14] Kelompok ini dapat menyumbangkan pemikiran yang dapat “menyelematkan” dan sekaligus memberdayakan perempuan . Pola pemikirannya ialah dengan cara mereformulasi pemikiran salaf dengan menggunakan perangkat analisis yang komprehensif, dan atau memberikan anotasi dan reinterpretasi terhadap dasar-dasar yang dianggap mengakibatkan perempuan tidak berdaya, termaginalkan, atau kehilangan sifat dan hak kemanusiaannya. Pola pemikiran ini merupakan pola pemberdayaan perempuan yang islami, sebab dapat menengah-nengahi dua ekstrimitas, dan sesuai dengan pola pembangunan masyarakat yang berada ditengah-tengah dua ekstremitas (ummatan wa satan).[15]


*Artikel disampaikan dalam Seminar Regional Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Ancab Gondanglegi dengan Tema “Poligami dalam Perspektif” pada Ahad 21 Januari 2007 di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) ”al-Qolam” Malang.

**Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Pengelola Jurnal “eL-Qisth”, Ketua Pusat Penerbitan, Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Fakultas Syari’ah UIN Malang (2005 – sekarang), Aktif dalam Berbagai Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat, dan Pemerhati Permasalahan Perempuan Malang Raya.

[1] Jawa Pos, Minggu 4 desember 2006, 36.

[2]Lihat Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran Berdasarkan Iman-Islam (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 155.

[3]Nurcholish Madjid, “Refleksi Setelah Setengan Abad Kemerdekaan Bangsa”, dalam Hidayat Tri Sutardjo dkk (Penyunting), Merebut Masa Depan (Cet. I; Jakarta: PT Amanah Putra, 1996), h. 3.

[4]Andi Rasdiana, “Problematika dan Kendala yang Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke dalam Hukum Nasional”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Kontribusi Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional Setelah Lima Puluh Tahun Indonesia Merdeka” di IAIN Alauddin Ujungpandang 1996, h. 2.

[5]Baca Munawar Ahmad Anees, “Islam and Biological Futures: Ethics, Gender and Technology”, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994), h. 95; Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 78;

[6]Janet Zollinger Giele, Changes Sex Roles in Modern America: Woman and the Future (USA: The Free Press, 1978), h. 153.

[7]A. Djawas, Dilema Wanita Karir: Menuju Keluarga Sakinah (Cet. I; Yogyakarta: Ababil, 1996), h. 37-41.

[8]Muhammad al-Bahy, “al-Islam wa Ittijãhãt al-Mar’ah”, diterjemahkan oleh Maktum Assalamy dengan judul Wanita Karir Menurut Pandangan Islam (Cet. I; Jakarta; CV Mutiara Putra Pressindo, 1995), h. 48-56.

[9]Salah satu karya al-Bahy adalah “al-Islam wa Ittijahat al-Mar’at al-Muslimat al-Mu’ashirah”. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Fathurrahman dengan judul Langkah Wanita Islam Masa Kini: Gejala-gejala dan Sejumlah Jawaban, yang diterbitkan oleh Gema Insani Press pada tahun 1995 sebanyak 13 kali.

[10]Salah satu karya Muhammad Ahmad Mu‘abbir al-Qahtaniy adalah “al-Mar’ah fi Suq al-Nahkasat al-‘Alamiy”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indoensia oleh Muhammad Sofwan Jauhari dengan judul Pesan untuk Muslimah. Buku ini pada tahun 1996 sudah diterbitkan sebanyak  7 kali.

[11]Karya Muhammad Sa‘id Ramadan yang banyak mendapatkan perhatian di Indonesia ialah “Ila Kull Fatat Tu’min Billah”, karyanya ini diterjemahkan dengan judul Kemana Pergi Wanita Muslimah oleh Salim Basyarahil yang pada tahun 1995 sudah diterbitkan sebanyak 9 kali oleh Gema Insani Press.

[12]Diantara karya Fatima Mernissi yang sangat ekstrem menolak pemikiran salaf, bahkan tampak emosional, adalah  Woman and Islam: An Historical and Theological Enquiry yang diterbitkan Casil Blackwell Ltd, Oxford. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yaziar Radianti dengan judul Wanita di dalam Islam yang untuk pertamakalinya diterbitkan pada tahun 1994 oleh Penerbit PUSTAKA, Bandung; karya lainnya ialah Islam and Democracy: Fear of the Modern World, yang ditermahkan oleh Amiruddin Arrani dengan judul Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan yang untuk pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1994 oleh LkiS, Yogyakarta.

[13]Diantara karyanya yang banyak memperoleh perhatian kalangan feminis Indonesia adalah “Tahrir al-Mar’ah fi ‘Asr al-Risalah” ditermahkan oleh Chairul Halim dengan judul Kebebasan Wanita. Buku ini pertama kalinya diterbitkan Gema Insani press pada tahun 1997.

[14]Sebuah karya monomental yang bercorak sufis dari Sachiko Murata ialah The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought yang diterbitkan pada tahun 1992 oleh State University of New York Press. Buku ini telah diterjemahkan Rahmani Astuti dan MS. Nasrullah dengan judul The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam yang diterbitkan pertamakalinya pada tahun 1996 oleh Mizan, Bandung.

[15]QS. Al-Baqarah (2):143; Sebuah pola pikir dapat disebut menengah-nengahi dua ekstrimitas apabila ia mempunyai karakter dualitas (mengintegralkan antara ide dunia dan agama), mutawassit (menengah-nengahi dua ekstrimitas metode berpikir; historis-sosiologis dan normatif), dan formulatif (memformulasikan ide dunia dan agama secara integral). Selengkapnya baca MF. Zenrif, “Islamisasi Metode Berpikir: Sebuah Pemikiran Awal, dalam Jurnal eL-HARAKAH: Wacana Kependidikan, Keagamaan dan Kebudayaan. Edisi 57, Tahun XXII, Desember-Pebruari 2002, h 22-27.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *