KORUPSI BIANG KEBOBROKAN NEGARA

KORUPSI BIANG KEBOBROKAN NEGARA

Oleh : Chairul Lutfi*

 

Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri yang sudah begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang negara dimana ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan negara sosial yang efektif, korupsi negara jarang terjadi. Tetapi dengan semakin berkembangnya negara ekonomi dan politik serta semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu terutama di kalangan pegawai negeri untuk melakukan praktek korupsi dan usaha-usaha penggelapan.

Para pelaku korupsi yang kebanyakan adalah para aparat negara adalah mereka yang memanfaatkan kesempatan untuk menyelewengkan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau kelompok serta merugikan kepentingan umum dan negara. Kasus korupsi juga tak lepas akan keperintahan disebuah negara dan keadaan ekonominya. Hampir keseluruhan praktik korupsi terjadi diseluruh bidang, baik dalam segi ekonomi sebuah, kepemerintahan, peradilan, pelayanan publik dan sosial masyarakat.

Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan dipelbagai bidang kehidupan. Hal itu dkarenakan beberapa faktor; Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum, dan mengambil keuntungan atas nama jabatan dan wewenang sebagai pemegang kendali sebuah kekuasaan. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat negara integritas publik. Biro pelayanan negara justru digunakan oleh pejabat negara untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan negara, bukan prioritas dan orientasi yang utama.

Dan dua faktor di atas yang terjadi di Indonesia, pelayanan negara tidak pernah termaksimalkan karena praktik korupsi dan demokratisasi justru memfasilitasi korupsi. Bagaimana dengan Negara yang dikenal sebagai Negara demokrasi ternyata memberikan ruang sangat lebar untuk upaya menyelenggarakan “pesta korupsi” oleh seluruh pejabat Negara. Hal ini sebagai evaluasi bahwa pemerintah serta undang-undang konstitusi juga menjadi pendukung atas terjadinya korupsi. Ketidakstabilan hukum dan banyaknya oknum yang bermain di dalamnya menyebabkan bukannya semakin mengekang para koruptor dengan adanya undang-undang melainkan semakin menjamur akibat penegakan yang tidak sebanding.

Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum oleh Presiden SBY, ternyata masih belum bisa menjadi sebuah solusi untuk bisa memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Bukannya bisa egara sebuah solusi, alih-alih malah menghabiskan anggaran Negara untuk membiayai oprasionalnya. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang juga sebagai acuan tindakan atas tindak pidana korupsi ternyata dalam tataran aplikasi hukuman kepada para koruptor hanya sebatas hukuman yang tidak bisa mengakibatkan efek jera. Seperti contoh kecil kasus korupsi DPRD Medan hanya divonis percobaan, bahkan juga banyak yang hanya dihukum selama 1 sampai 2 tahun penjara. 

Penanganan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus-kasus yang terjadi di Indonesia membuktikan bahwa begitu akutnya wabah korupsi dan begitu kompleks permasalah korupsi di Negara kita. Kekayaan Negara, perpolitikan Negara, dan pembangunan di Negara Indonesia tidak bisa berjalan dengan egara sehingga tidak tercapainya tujuan Negara untuk membentuk kehidupan masyarakat yang sejahtera, akibat korupsi adalah merugikan egara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Oleh sebab itu, kita sebagai masyarakat seyogyanya sadar akan urgensi penegakan hukum pada tindak pidana korupsi. Kesadaran diri untuk bisa berpartisipasi dalam memberantas korupsi tidak hanya dilakukan oleh mereka para Satgas pemberantas korupsi, KPK, BPK, ataupun intansi swasta yang ada, melainkan seluruh komponen masyarakat harus bisa berkonstribusi untuk hal itu. Dalam ranah pendidikan misalnya; bagaimana bisa sejak dini ditanamkan pendidikan  anti korupsi dan moralitas. Dalam keagamaan adalah pendidikan tentang muamalah syariah sesuai konteks agama. Dalam sosial bagaimana bisa membangun interaksi yang sinergis antara masyarakat dan aparat pemerintah. Sehingga bisa memperkecil adanya praktik korupsi yang sudah merebak di Negara kita.

 

* Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Maliki Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *