Dialog Seputar Islamisasi

Semangat Islamisasi Sain: Membincang Hubungan Agama dan Ilmu Pengetahuan

Suatu studi bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan apabila: a) mempunyai objek kajian yang empiris, atau memiliki evidensi empiris yang membedakannya dari ilmu pengetahuan lain, baik objek formal maupun objek materialnya;[1] b) memiliki sistematisasi/struktur keilmuan yang berbeda dari disiplin lainnya. Struktur ini akan membedakan ilmu pengetahuan dari pengetahuan biasa yang dengannya ilmu pengetahuan memiliki pertalian yang tertib di antara bagian-bagiannya;[2] c) memiliki metode pengembangan yang dengannya ilmu pengetahuan dapat diteliti dan dikembangkan secara terus menerus.

Ciri yang terakhir disebutkan ini dalam perspektif filsafat ilmu termasuk bagian dari dasar statis dari ilmu pengetahuan. Metode oleh sebagian ahli dipersamakan dengan cara berpikir ilmiah.[3] Untuk itulah, metode berpautan erat bagaimana terjadinya pengetahuan dan teori kebenaran.[4] Metode dan yang berpautan dengannya itulah yang merupakan sistematika penulisan dalam epistemologi.

Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang secara khusus mengkaji tentang pengetahuan. Oleh karenanya, ia identik dengan teori ilmu pengetahuan.[5] Beranjak dari sini, dapat dipahami bahwa perhatian epistemologi pada dasarnya tertuju pada dua masalah pokok, apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya.[6] Dalam sejarah filsafat, secara garis besar dikenal dua macam bentuk pengetahuan yang menjadi perhatian utama, yaitu pengetahuan lewat pancaindera dan pengetahuan melaui kesadaran logika. Dari kedua teori inilah muncul dua aliran filsafat yang antara keduanya amat bertentangan; yaitu empirisme dan rasionalisme.[7]

Dalam Islam terkenal dua teori dan aliran seperti yang terjadi di Barat, yaitu rasionalisme dan empirisme. Teori rasionalisme dalam Islam dikenal dengan teori qiyas (analogi), yaitu penggunaan metode berpikir rasional. Tokoh dari kalangan ini adalah Ibn Rusyd (1126-1198). Sedangkan Ibn Taymiyah (1262-1328) disebut-sebut sebagai tokoh dari aliran yang kedua, yaitu aliran empirisme. Dalam teori rasionalisme disebutkan bahwa ilmu pengetahuan ada dalam dua bentuk ayitu pengetahuan dalam bentuk konsep (tashawur) dan pengetahuan dalam bentuk pembenaran (tashdiq). Jalan untuk memperoleh pengetahuan tashawur adalah dengan jalan menggunakan definisi (al-hadd), sedangkan jalan memperoleh pengetahuan tashdiq adalah silogisme (al-qiyas).[8] Pandangan ini ditolak oleh Ibn Taymiyah, sebab definisi itu hanya bersifat khabariyah yang tidak disertai oleh bukti-bukti dan alasan yang kuat. Akal menurut teori rasionelisme tidak bisa didefinisikan, akan tetapi bisa mengetahui akal. Untuk itu, kata Taymiyah, jalan untuk mengetahui benda bukan defiinisi itu sendiri, melainkan pengetahuan tentang objek itulah yang membentuk pengetahuan.[9]

Sementara itu, Imam Syafi’i membagi ilmu pada ilmu umum dan ilmu khusus. Ilmu umum adalah ilmu yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh umat Islam. Ilmu seperti ini termasuk ilmu dasar, seperti shalat, puasa, haji, zakat, larangan zina, bunuh diri, mencuri dan miras (minuman keras). Sedangkan ilmu khusus adalah ilmu yang berkaitan dengan perincian-perincian dari kewajiban pokok yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an dan hadits.[10]

Berbeda dengan al-Syafi’i, dalam konsep teologis Mu’tazilah melihat bahwa pengetahuan itu bersumber dari akal, bukan dari wahyu. Oleh karenanya, kewajiban-kewajiban, kebaikan dan keburukan bersumber dari akal ini, bukan dari wahyu.[11] Sekalipun demikian, kata aliran ini selanjutnya, akal tidak bisa mengetahui hal yang terinci. Bagian yang terkahir ini hanya bisa diketahui melalui wahyu.[12] Pandangan ini sama dengan aliran Maturidiyah dan ditentang oleh kalangan Asy’ariyah. Dalam pandangan Asy’ariyah pengetahuan hanya bisa bersumber dari wahyu (syari’at) bukan melalui akal.[13]

Begitulah ilmu pengetahuan dalam Islam tampaknya belum mencapai puncaknya. Hanya saja, apabila dilacak pada historisitas Islam kita dapat melihat bahwa ilmu pengathuan Islam adalah ilmu yang holistik yang tidak membedakan konsep wahyu dan konsep cerapan indera terhadap alam. Akan tetapi belakangan berkembang pemikiran dekotomis yang mebagi ilmu pengetahuan pada pengetahuan agama dan umum. Ketika berbicara tentang pemikiran dekotomis, kita selalu terbayang kepada nama Imam al-Ghazali, seorang tokoh yang sering diklaim sebagai “pembunuh” ilmu pengetahuan Islam. Kesalahpahaman itu, sekali lagi hanya kesalahpahaman, biasanya antara lain dirujuk pada dua karya monomental al-Ghazali yang berjudul al-Munqidz min al-Dlalal dan Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kesalahpahaman terhadap karya-karya al-Ghazali, bukan hanya dilakukan oleh mereka yang kurang mengerti terhadap bahasa Arab, akan tetapi juga terjadi pada Yusuf al-Qardlawi, seorang Syeik al-Azhar yang sangat kreatif. Al-Qardlawi mengatakan bahwa al-Ghazali mengkategorikan ilmu fiqh pada ilmu-ilmu dunia.[14]

Padahal, kalau dirujuk kepada kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, kitab yang juga jadi rujukan al-Qardlawi, al-Ghazali memasukkan ilmu fiqh sebagai bagian dari ilmu agama (‘ilm al-din). Bahkan, al-Ghazali memasukkan ilmu politik sebagai ilmu yang wajib dipelajari, karena politik merupakan prasyarat kesempurnaan pengamalan salah satu syari’at Islam, yaitu haji.[15] Lebih dari itu, al-Ghazali memasukkan ilmu kedokteran, astronomi dan astrologi, ilmu yang sekarang dianggap sebagai ilmu umum dan  tidak mendapatkan perhatian dari lembaga pendidikan agama (seperti pesantren, IAIN dan STAIN), ke dalam kategori ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap kelompok komunitas masyarakat (fardlu kifayah).[16]

Kalau dipelajari dengan seksama, kita dapat mengetahui bahwa kategorisasi ilmu pengetahuan menurut al-Ghazali bukan pada apakah ia ilmu umum atau agama, melainkan menitikberatkan pada fungsi dari ilmu pengetahuan tersebut. Dalam hal ini al-Ghazali menyebutnya dengan istilah ilmu yang terpuji (al-‘Ilm al-Mahmudah) dan ilmu yang tercela (al-‘Ilm al-Madzmumah).[17] Dari penjelasan tersebut, kita dapat melihat bahwa al-Ghazali sama sekali tidak menafikan pentingnya ilmu-ilmu pengetahuan yang kita sebut dengan ilmu umum.

Pada masa antara abad ke12 hingga abad ke-14 Masehi, dimana al-Ghazali hidup pada abad ke-12, masih dapat terlihat adanya tokoh-tokoh besar seperti Ibn Tufail, Ibn Rusyd, Ibn Jubair, Jalaluddin al-Rumi, al-Syirazi, Ibn Taymiyah, Ibn Batutah, Hafidh al-Syirazi dan Ibn Khaldun. Tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam ilmu agama, tetapi juga ahli dalam ilmu umum. Hal ini sangat dimungkinkan karena wacana epistemologi Islam yang berkembang pada masa itu masih mengikuti epistemologi holistik. Pada antara masa itu, yang disebut dengan the golden age of Islam, pendidikan Islam meliputi ilmu kalam, ilmu fiqh, filsafat, ilmu lughah, sastra, sejarah, hisab dan falak (astronomi dan astrologi), kedokteran dan ilmu-ilmu al-tabi’iyah.[18] Oleh karenanya, ‘Athiyah al-Abrasyi menilai bahwa materi pembelajaran pada masa itu jauh lebih berkembang daripada masa Rasulullah dan Khulafa’ al-Rasyidin.[19]

Semangat keilmuan pada masa itu merupakan puncak keemasan Islam. Di beberapa daerah berdiri beberapa Madrasah dan Perguruan Tinggi Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan yang disebutkan sebelumnya. Di Bagdad pada bad ke-5 Hijiriyah berdiri al-Jami’ al-Islamiyah yang terinspirisakan oleh berdirinya Dar al-‘Ulum dan al-Azhar yang dibangun Fathimiyah seabad sebelumnya.[20] Di Damsyik pada abad yang sama berdiri al-Jami’ al-‘Amawi yang memasukkan pelajaran filsafat, hisab dan falak, seni ke dalam kurikulumnya. Jelasnya, pada masa itu bertaburan beberapa Perguruan Tinggi Islam yang belum dimiliki oleh Barat saat itu.[21]

Namun bersamaan dengan runtuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol pada tahun 1258 M., pendidikan Islam dan seluruh kekayaan intelektualitas Islam pada umumnya mengalami kemandegan.[22] Seluruh lembaga pendidikan telah lumpuh total dan berubah menjadi lembaga indoktrinasi pemikiran para syeikhnya. Oleh karenanya, sejak saat itu, kebebasan berpikir sulit ditemukan dan literatur Islam-pun mengalami disorientasi dan kehilangan orisinalitasnya.[23]

Sejak saat itu, pengetahuan berpindah dari Islam ke Barat yang secara otomatis menunjukkan superitas Barat atas Islam. Hingga kini pun, kita masih melihat superioritas pengetahuan Barat atas Islam dalam jarak yang sangat jauh. Bahkan, sebagian umat Islam merasakan depresi yang sangat dalam dalam menghadapi hal tersebut. Sebagian mereka melihat bahwa kita perlu mengadopsi seluruh ilmu Barat ke dalam epistemologi Islam, sebagiannya menolak sama sekali, dan sebagian yang lain lagi mengadopsi ilmu pengetahuan Barat dengan jalan islamisasi.[24]

Semangat islamisasi pada dasarnya dapat menunjukkan bahwa sementara ini ada wacana dekotomi dalam epistemologi Islam. Akan tetapi, kita melihat efek positifnya dari islamisasi yang berusaha untuk mengembalikan epistemologi holistik dalam Islam dengan menjadikan al- Qur’an sebagai the body of the knowledge dan the grand theory-nya. Dalam semangat ini tentunya al-Qur’an tidak hanya dijadikan sebagai justifikasi ilmu pengetahuan,[25] akan tetapi lebih dari itu, ia bisa dijadikan sebagai informasi awal terhadap kritik ilmu pengetahuan Barat atau upaya pengembangan dan penemuan ilmu pengetahuan baru (baca: revitalisasi, reinterpretasi dan reformulasi). Sebab, tujuan pendidikan al-Qur’an adalah untuk membimbing manusia sehingga mampu menjalankan tugasnya, baik sebagai ‘abidullah dan khalifatullah di bumi.[26] Dalam bahasa Abu A’la al-Maududi, pembelajaran al-Qur’an bagi mahasiswa Islam berfungsi untuk membuka misteri-misteri ontologis yang tidak dapat ditangkap oleh indera manusia dan untuk mengetahui batas-batas akhir kemampuan nalar manusia.[27]


[1]Lihat Saifudin AM., Desukalirasi Pemikiran: Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1990), h. 13 dst.; Poeja Wijatna, Tahu dan Pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 40-42.

[2]Baca The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1991), h. 127.

[3]Lihat misalnya Soejono Soemargono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), h. 10.

[4]Sudarsono, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 137.

[5]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 12.

[6]Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 23.

[7]Baca CA. Van Peursen, “Filosofiche Orientatie”, diterjemahkan oleh Dick Hartoko dengan judul, Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 19.

[8]Ibn Taymiyah, Kitab al-Radd ‘Ala al-Manthiqin (Lahore: Idarat Tarjuman al-Sunnah, 1976), h. 4.

[9]Lihat ibid., h. 32.

[10]Lihat Ahmad Hasan, “The Early Development of Islamic Jurisprudence”, diterjemahkan oleh Agah Garnadi dengan judul, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka, 1981), h. 199-200.

[11]Lihat al-Syahrastani, Kitab al-Milal wa al-Nihal, Jilid I (Kairo: Dar al-Fikr, 1951), h. 45.

[12]Selanjutnya baca al-Qadli ‘Abd al-Jabbar, al-Majmu’ fi al-Muhith bi al-Taklif (Beirut: 1965), h. 22.

[13]Muhammad Ibn ‘Aliy ibn Muhammad Syaukani, Irsyad al-Fuhul (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 7.

[14]Lihat Yusuf al-Qardlawi, al-Imam al-Ghazali Bayn Madihihi wa Naqidihi (Mesir: Dar al-Wafa’, 1988), h. 21.

[15]Lihat al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz I (semarang: Taha Putra, t.th.), h. 18.

[16]Ibid., h. 19.

[17]Ibid., h. 14.

[18]Lihat Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuriha fi al-Bilad al-‘Araboyah (Mesir: ‘Alam al-Kutab, 1977), h. 93-95.

[19]Lihat ‘Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha (Mesir: Makatabah ‘Isa al-Babi al-    Halabi wa Syirkah, 1975), h. 75-76.

[20]Lihat CE. Borworth et. al. (ed), The Encyclopedia of Islam, Jilid V (New Edition; Leiden: EJ. Brill, 1986), h. 126-127.

[21]Untuk mengetahui beberapa perguruan tinggi yang baca misalnya Jazif Nasim Yusuf, Nasy’at al-Jami’ah fi al-‘Ushur al-Wushtha (Iskandaria: Mansya’ah al-Ma’arif, 1971); Sa’id Isma’il ‘Ali, Nasy’at al-Tarbiyah al-Islamiyah (Mesir: ‘Alam al-Kutab, 1978).

[22]Baca ekspresi Iqbal dalam melihat hal tersebut dalam M. Iqbal, The Reconstruction of Thought Religion in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1974), h. 8.

[23]Lihat Fazlurrahman, Islam and Modernity (Chicago: Chicago Press, 1979), h. 185-186.

[24]Beberapa model islamisasi ilmu pengetahuan baca misalnya dalam The International Institute of Islamic Thought, Toward Islamization of Desciplines: Islamization of Knowledge Series 6 (Kuala Lumpur: Kementrian Pendidikan dan Belia, 1984).

[25]Lihat fungsi al-Qur’an sebagai justifikasi ilmu pengetahuan Barat dalam Achmad Baiquni, al-Qur’an dan Imu Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).

[26]Muhammad Quthb, manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jilid I (kairo: Dar al-Syuruq, 1400 Hijriyah), h. 13.

[27]Abu A’la al-Maududi, Manhaj Tajdid fi al-Tarbiyah wa al-Ta’lim (Riyadl: Nasyr Kulliyat al-Tasyri’ah, t.th.), h. 39; seperti dikutib oleh ‘Abd al-Rahman bin Zayd al-Junaydy, Mashadir al-Ma’rifah fi Fikr al-Diniy wa al-Falsafiy: Dirasat Naqdiyah fi Dlaw’I al-Islam (Riyadl: Maktabah al-Muayyad, 1992), h. 19.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *