Hubungan Filsafat dan Agama dalam Perspektif
Term Filsafat dalam khazanah pemikiran Islam di Indonesia disebut-sebut berasal dari bahasa Arab “ فـلسفة ” (falsafah) yang terkadang disamakan dengan kata الحكمة (al-hikmat)[1] yang menurut Ibnu Sina, dalam karyanya Risalat al-Thabi’iyah, didefinisikan sebagai berikut:
الحكمة هي استكمال النفس الانسانية بتصورالاموروالتصديق بالحقائق النظرية والعملية علىقدرالطاقةالانسانية
“Hikmat adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teoritik maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia.”[2]
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa filsafat dalam perspektif Islam bertujuan untuk mencari kesempurnaan diri dengan sekuat tenaga melalui dua cara; (a) menggambarkan atau memberikan definisi-definisi dari segala sesuatu (epistemologis); dan (b) mencari pembenaran hakikat (sesuatu) baik yang bersifat teoritik maupun praktis (ontologis). Hal ini menunjukkan bahwa tujuan utama dari filsafat perspektif Islam ialah mencari “kesempurnaan diri”, yang ini perlu dikemukakan untuk menunjukkan perbedaan esensial tujuan filsafat antara perspektif Islam dengan Barat.
Dalam diskursus filsafat Barat yang berkembang di Indoensia, kata ini dianggap terambil dari bahasa Inggris “Philosophy” yang disinyalir berasal dari bahasa Yunani Philosophia, berasal dari dua akar kata philen (cinta), philos (keinginan), atau phila (mengutamakan/lebih suka), dan kata shophia (hikmah/kebijaksanaan/pengetahuan atau tepatnya wisdom).[3] Penggunaan kata wisdom dalam filsafat Barat ialah untuk membedakan antara pencari pengetahuan (the seeker of knowledge) dengan filsuf (the seeker of wisdom), dimana pencari pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan “What”, sedangkan filsuf berupaya untuk memahami dan menemukan hubungan pengetahuan tersebut dengan lainnya melalui pertanyaan “Why”.[4] Dari sini dapat diketahui, bahwa tujuan utama dari filsafat perspektif Barat ialah “pengetahuan”.
William P. Alston menjelaskan problem filsafat agama sebagai berikut:
“Philosophy of religion is occupied to a large extent with the consideration of reasons for and agaist various argumens for the existence of God. But, we find many other matters breated in books thatv regarded as being nature and sigficance of religious faith as a mode of bvelief and/or awarness, the nature of revelation and relation to the result of human experience and reflection, the place of religion in human culture as a whole, the logical analysis of religious language, the nature and significance of religious symbolism, and possiblities for reconstructing religion along relatively nontraditional lines.[5]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa filsafat agama menduduki posisi yang sangat luas untuk memberikan alasan-alasan dengan berbagai argumen tentang eksistensi Tuhan. Akan tetapi, kita dapat menemukan dalam berbagai buku filsafat agama yang memperlihatkan kajian filsfat agama sebagai natur dan signifikansi dari pengalaman agama, natur keyakinan agama sebagai cara kepercayaan, natur wahyu dan hubugannya dengan hasil pengalaman dan refleksi manusia, tempat agama dalam kultur manusia secara menyeluruh, analisis logis dari bahasa agama, natur dan signifikansi simbolisme agama, dan kemungkinan rekonstruksi agama sepanjang relatifitas garis-garis non-tradisional.
Dari sini dapat diketahui bahwa filsafat agama tidak hanya memasuki ranah-ranah teologis yang menjadi dasar utama agama, melainkan juga berbagai pengalaman dan realitas keberagamaan masyarakat. Oleh sebab itu, kita melihat bahwa berbagai konsep filsafat, seperti realisme dan idealisme, sangat berpengaruh terhadap filsafat agama. Hal ini juga dapat kita lihat pada perkembangan filsafat agama modern yang secara umum diwarnai oleh konsep filsafat pada umumnya, mulai dari rasionalisme-nya Descartes, empirisisme-nya John Locke dan Berkeley, kritisisme-nya Imanuel Kant, hingga eksistensialisme-nya Paul Tillich dan apologetika linguistik-nya Ramsey dalam menjelaskan bahasa agama.[6]
Dalam perspektif Barat, Ilmu Agama, sebagai sebuah disiplin otonom yang bertujuan untuk menganalisis elemen-elemen umum berbagai agama dan mencoba mendeduksikan hukum-hukum evolusinya, terutama untuk menemukan dan merumuskan asa-usul serta bentuk asalnya, merupakan perkembangan belakangan dari ilmu pengetahuan. Ilmu ini mulai dirintis dari abad ke-19 dan dikukuhkan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan ilmu bahasa.[7] Adalah Max Müller, seorang filsuf kelahiran Jerman tapi tinggal di Inggris, yang menyebutkan The History of Religion dengan The Science of Religion.[8] Dari sini dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan ilmu agama ialah penjelasan historis, sosiologis, psikologis, dan sosio-antropologis agama, yang kemudian disebut dengan pendekatan dalam studi agama.
Berkaitan dengan hal disebutkan paling akhir ini, dalam berbagai Ensiklopedi, perkembangan pendekatan studi agama berbeda-beda, sekalipun secara esensial tidak bertentangan. Dalam International Encyclopedia of the Social Science, misalnya, pertama-tama menyebutkan pendekatan antropologis, kemudian sosiologis dan psikologis.[9] Sementara itu, dalam The New Encyclopedia Britannica menyebutkan pendekatan psikologis terlebih dahulu, kemudian sosiologis dan sosio-antropologis.[10] Sekalipun terjadi perbedaan dalam penyebutan historisitas pendekatan studi agama, yang kemudian menghasilkan ilmu-ilmu agama, akan tetapi ada kesepakatan bahwa pendekatan psikologis mempelajari pengalaman dan perasaan keberagamaan, pendekatan sosiologis dan sosio-antropologis menyoroti institusi dan tradisi agama, serta hubungannya dengan kepercayaan dan nilai.
Sehubungan dengan permasalahan yang sedang dikaji, kunci isu filsafat yang berhubungan dengan permasalahan keyakinan dan pengetahuan adalah untuk menyelesaikan bagaimana kebenaran keyakinan dan pengetahuan saling berhubungan dalam proses yang mana kepercayaan agama dijustifikasi. Setidaknya ada empat model kemungkinan hubungan dalam hal ini,[11] yaitu:
a) Model konflik, dalam hal ini tujuan, objek, atau metode pengetahuan dan keyakinan tampak sama. Jadi, ketika mereka terlihat tampak berbeda, ada hal yang secara nyata berlawanan. Model ini merupakan asumsi dari semua kalangan fundamentalis agama yang melihat adanya perbedaan antara agama pada satu sisi dan ilmu pengetahuan pada sisi lain.[12]
b) Model yang terpisah. Dalam hal ini, tujuan, objek, dan metode pengetahuan dan keyakinan dipahami berbeda. Bagian dari masing-masing adalah kemungkinan. Tujuan pengetahuan pada kebenaran empirik, sedangkan tujuan agama pada kebenaran ketuhanan. Jadi, tidak ada perlawanan di antara keduanya. Lebih jauh pandangan ini dibagi pada tiga pandangan. Pertama, seseorang memandang bahwa keyakinan agama merupakan hal yang transrasional, dimana posisinya jauh lebih tinggi daripada pengetahuan. Pengetahuan hanya dapat dikonstruksi ulang pada apa yang sudah secara implisit dalam keyakinan atau praktek keberagamaan. Kedua, seseorang dapat berpegangan bahwa kepercayaan agama adalah irrasional, oleh sebab itu ia bukan merupakan subyek dari evaluasi rasional sama sekali. Hal ini merupakan sebuah pandangan yang diambil oleh mereka yang mengadopsi theologi negatif, dimana metode yang digunakan adalah bahwa semua spekulasi tentang Tuhan hanya berakhir pada hal dimana Tuhan tidak sampai kepadanya. Subbagian yang disebutkan terakhir ini termasuk dalam teori-teori kepercayaan yang menyatakan bahwa bahasa agama hanyalah merupakan metafora dari alam. Pendangan seperti ini yang diikuti oleh golongan fideisme.[13]
c) Model hubungan yang lemah. Dalam hal ini dipahami bahwa dialog antara pengetahuan dan keyakinan sangat mungkin, sekalipun di antara keduanya mempunyai perbedaan yang nyata dari evaluasi dan logika. Misalnya, substansi keyakinan dapat dilihat menduduki fenomena; sementara pengetahuan menduduki metode ilmiah dari hipotesa yang teruji. Kebanyakan model Kristen Reformatif mengadopsi model dasar ini.[14]
d) Model hubungan yang kuat. Dalam hal ini dipahami bahwa keyakinan dan pengetahuan mempunyai hubungan yang organik, dan mungkin sama. Sebuah bentuk tipikal dari hubungan yang kuat ini digunakan oleh teologi natural.[15]
Hubungan antara pengetahuan dan keyakinan ini merupakan topik yang sangat penting dalam filsafat agama, dimana di antara keduanya sangat berhubungan dalam isu-isu filsafat agama.[16] Pada posisi inilah filsafat menduduki posisi yang sangat penting dalam menjembatani hubungan antara keyakinan agama pada satu sisi dengan pengetahuan rasional pada sisi lain. Bahkan, dalam beberapa kasus tertentu, seperti ditegaskan dalam International Conference on “Religion and Science in the Post-Colonial World” pada tanggal 2 sampai 5 Januari tahun 2003 yang lalu menegaskan bahwa filsafat pengetahuan juga mampu menjembatani kesenjangan antara agama dan ilmu pengetahuan modern dengan jalan mendekosntruksi seluruh konsep pengetahuan sekuler (secular science) pada pengetahuan yang religius (sacred scince).[17]
Keyakinan yang bersumber dari agama dan pengetahuan yang bersumber dari filsafat telah menjadi perbincangan dalam Islam sejak al-Kindi[18] menyatakan bahwa antara filsafat dan agama tidak dapat dipertentangkan, sebab untuk dapat memahami dan menafsiri al-Qur’an dengan benar memerlukan rasio.[19] Di samping alasan tersebut, al-Kindi juga berpandangan bahwa filsafat merupakan pengetahuan tentang hakekat sesuatu, dan dengan demikian antara agama dan filsafat tidak dapat dipertentangkan karena sama-sama bermuara pada Yang Hak. Lebih jelasnya dikatakan bahwa setidaknya ada tiga keselarasan antara agama dan filsafat; (1) filsafat merupakan bagian terpenting dari ilmu agama; (2) wahyu dan filsafat saling berpautan menuju Yang Hak; dan (3) menuntut ilmu merupakan perintah agama dan hanya orang yang berilmu yang mampu menyelaraskan filsafat dengan agama.[20]
Sejak saat itu, para pemikir Islam banyak menfokuskan dan mempunyai kecenderungan yang luar biasa terhadap filsafat, akan tetapi hal tersebut kemudian dinilai al-Ghazali[21] bahwa para filsuf telah melakukan dua puluh kesalahan.[22] Para filsuf yang dimaksudkan oleh al-Ghazali terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu para filsuf yang materialis (dahriyyun), para fisuf yang naturalistik atau deistik (thabi’iyyun), dan para filsuf yang teis (ilahiyyun).[23]
Pandangan al-Ghazali tentang para filsuf tersebut mendapatkan tantangan dari generasi setelahnya, seperti Ibn Tufail[24] melalui karyanya Hayy bin Yaqzhan sebuah karya sastra filosofis yang dinilai oleh Watt sebagai sebuah karya filsafat dalam bahasa Arab yang paling menarik.[25] Dengan karyanya ini, Ibn Thufail ingin menunjukkan kemampuan manusia untuk hidup sendiri tanpa wahyu, dan kemudian dapat menselaraskan pemikirannya dengan wahyu (dalam cerita digambarkan dengan Asal/Absal) dalam sebuah pertemuan yang harmonis.[26] Dengan kata lain, bahwa dengan Hayy bin Yaqzhan tersebut, Ibn Thufail ingin mengatakan bahwa antara filsafat dan agama sama-sama mencari titik kebenaran yang sama sekalipun dengan cara yang berbeda.
Pandangan Ibn Thufail ini juga tampak dalam pemikiran Ibn Rusyd[27] ketika beliau berpandangan bahwa antara akal dan agama tidak menentang satu sama lain karena keduanya merupakan cara yang berbeda dalam menjelaskan hal yang sama. Akal merupakan penghampiran demontratif (burhaniy) pada realitas, yang mampu menguraikan realitas tersebut dalam makna yang gamblang dan sempurna. Sementara itu, agama menyajikan versi realitas yang persis sama dengan cara yang sangat berbeda supaya dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat agama. Kebenarannya tetap terdiri atas makna (meaning) dan pean (message), tetapi diterjemahkan dalam bahasa yang bisa menyentuh semua orang, bukan hanya filsuf maupun ilmuan.[28] Pandangan Ibn Rusyd ini konsisten dengan pendapatnya tentang pembagian prinsipal ide filsafat pada dua pola yang berbeda; pertama, untuk umum (khithabi), dan kedua untuk khusus (burhani/demonstratif).[29]
Perbedaan kedua aliran perspektif tersebut pada dasarnya bertumpu pada metode yang digunakannya, apabila al-Ghazali menampakkan satu sisi identitas pemikiran Islam yang bertumpu pada teks-teks suci (al-Qur’an dan hadits), maka Ibn Rusyd dapat mengakomodasikan pemikiran filsafat tanpa merusak keimanan dengan jalan teks-teks suci tersebut diartikan dengan jalan ta’wil.[30] Atau dengan kata lain, Ibn Rusyd memandang bahwa setiap teks mempunyai makna asli (lahir) dan makna tsnawiy (batin), dimana keduanya dapat digunakan dengan konteks masalah yang dibahas.
[1]Asumsinya kata “hikmat” lebih dekat untuk diidentifikasi sebagai bahasa asli Arab (the original of Arabic word) dibanding kata falsafat yang akar katanya dekat dengan bahasa Yunani øιλеιυ (ph-i-l-e-i-n) άοøοa (s-o-ph-i-a) yang kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi Philosophy. Baca mengenai derivasi Philosophy ini dalam Ronald J Glossop, Philosophy: An Introduction to Its Problems and Vocabulary (USA: Dell Publishing Co., Inc., 1974), 3
[2]Hasbi Ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 21.
[3]Baca K. Berten, Sejarah Filsafat Yunani (Cet. XI; Yogyakarta: Kanisius, 1994), 13; Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalist (cet. II; Lahora: Islamic Publication Ltd., 1980), h. 3; Bandingkan dengan Ronald J. Glossop, “Philosophy”, loc. cit.
[4]Ronald J. Glossop, “Philosophy”, 3-4.
[5]William P. Alston, “The Problems of Philosophy of Religion”, dalam Paul Edwards (ed.), The Encylopedia of Philosophy, Volume 7-8 (London: Collico Macmillan Publishers, 1972), 285.
[6]Lihat misalnya dalam HD. Lewis, “History of Philosophy of Religion”, dalam Paul Edwards (ed.), ibid., Volume 5-6, 276-285.
[7]Mircea Ellade, “Kronologi Studi Agama Sebagai Cabang Ilmu”, dalam Ahmad Norma Permata (terj.), Metodologi Studi Agama (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 61.
[8]Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Dicipline (Minneapolis, Fortress Press, 1995), 68-69; Bandingkan dengan ibid, dimana dijelaskan bahwa Max Müller memberinama Ilmu Agama atau Ilmu Perbandingan Agama.
[9]Selengkapnya lihat David L. Sills (ed.), International Encyclopedia of The Social Sciences, Volume 13-14 (New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1972), 398-408.
[10]Macropadia, The New Encyclopaedia of Britannica, 15th Edition, Volume 26 (Chicago, Encyclopaedia Britannica, Inc., 1968), 513.
[11]The key philosophical issue regarding the problem of faith and reason is to work out how the authority of faith and the authority of reason interrelate in the process by which a religious belief is justified or established as true or justified. Four basic models of interaction are possible.
[12]The conflict model. Here the aims, objects, or methods of reason and faith seem to be very much the same. Thus when they seem to be saying different things, there is genuine rivalry. This model is thus assumed both by religious fundamentalists, who resolve the rivalry on the side of faith, and scientific naturalists, who resolve it on the side of reason.
[13]The incompatibilist model. Here the aims, objects, and methods of reason and faith are understood to be distinct. Compartmentalization of each is possible. Reason aims at empirical truth; religion aims at divine truths. Thus no rivalry exists between them. This model subdivides further into three subdivisions. First, one can hold faith is transrational, inasmuch as it is higher than reason. This latter strategy has been employed by some Christian existentialists. Reason can only reconstruct what is already implicit in faith or religious practice. Second, one can hold that religious belief is irrational, thus not subject to rational evaluation at all. This is the position taken ordinarily by those who adopt negative theology, the method that assumes that all speculation about God can only arrive at what God is not. The latter subdivision also includes those theories of belief that claim that religious language is only metaphorical in nature. This and other forms of irrationalism result in what is ordinarily considered fideism: the conviction that faith ought not to be subjected to any rational elucidation or justification.
[14]The weak compatibilist model. Here it is understood that dialogue is possible between reason and faith, though both maintain distinct realms of evaluation and cogency. For example, the substance of faith can be seen to involve miracles; that of reason to involve the scientific method of hypothesis testing. Much of the Reformed model of Christianity adopts this basic model..
[15]Selanjutnya James Swindal menyatakan sebagai berikut: Articles of faith can be demonstrated by reason, either deductively (from widely shared theological premises) or inductively (from common experiences). It can take one of two forms: either it begins with justified scientific claims and supplements them with valid theological claims unavailable to science, or it starts with typical claims within a theological tradition and refines them by using scientific thinking. An example of the former would be the cosmological proof for God’s existence; an example of the latter would be the argument that science would not be possible unless God’s goodness ensured that the world is intelligible. Many, but certainly not all, Roman Catholic philosophers and theologians hold to the possibility of natural theology. Some natural theologians have attempted to unite faith and reason into a comprehensive metaphysical system. The strong compatibilist model, however, must explain why God chose to reveal Himself at all since we have such access to him through reason alone.
[16]Selanjutnya mengenai hal ini baca James Swindal , “Faith and Reason”, dalam http://www.utm.edu/ research/iep/f/faith-re.htm#Introduction pada tanggal 7 Nopember 2003, dimana dia mengatakan bahwa “… The interplay between reason and faith is an important topic in the philosophy of religion. It is closely related to, but distinct from, several other issues in the philosophy of religion: viz., the existence of God, divine attributes, the problem of evil, divine action in the world, religion and ethics, religious experience and religious language, and the problem of religious pluralism. Moreover, an analysis of the interplay between faith and reason also provides resources for philosophical arguments in other areas such as metaphysics, ontology, and epistemology….”
[17]Baca misalnya Mehdi Golshani, “Science and the Sacred: Scared Science vs. Secular Science”, dan Philip Clayton, “Perceivingh God in the Lawfulness of Nature: Scientific and Religious Reflections”, dalam International Conference on Religion and Science in the Post-Colonial World (Indonesia-USA: Gadjahmada University and Templeton Foundation, 2003), makalah pertama dan kedua.
[18]Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ibn ishaq ibn al-Sabbah ibn Imran ibn Isma’il ibn Muhammad ibn ‘Asy’ats ibn Qays al-Kindi. Beliau dilhairkan di Kufah pada tahun 185H/801 M dan wafat di Bagdad pada tahun 260 H/873 M. Mengenai biografi beliau baca selengkapnya misalnya dalam MM. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1992), 11.
[19]C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), 82-3.
[20]MM. Syarif, op., cit., 17-9.
[21]Nama lengkapnya ialah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Beliau lahir pada tahun 450 H. di Tus, sebuah kota kecil di Khurazan (Iran) dan meninggal di kota yang sama pada tahun 505 H.. Nama al-Ghazali ini terambil dari kampungnya Ghazalah. Mengenai biografinya ini baca misalnya Madjid Fachry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 1970), 244.
[22]Dua puluh klastifikasi permasalahan yang dimauskdan al-Ghazali antara lain tentang: teori keazalian alam; keabadian alam, masa dan gerak; kerancuan filosofis tentang penviptaan alam; ketidakmampuan para filsuf dalam membuktian adanya penciptaan alam; pembuktian kemustahilan kemungkinan adanya dua Tuhan; bantahan terhadap pendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; teori pembagian zat Tuhan pada genus dan differensiasi; kesederahanaan wujud Tuhan; teori kausalitas alam; pengetahuan Tuhan yang general dan universal; dan sebagainya. Selanjutnya lihat al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972); lihat komentar yang lainnya dalam al-Ghazali, Maqashid al-Falasifat (Mesir: Dar al-Ma’rifat, 1960); Sulayman Dunya, al-Haqiqat fi Nazhr al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971), 18; Ahmad Fuad al-Ahwani, Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 59-61; Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 45.
[23]Lihat komentar ini dalam Ahmadie Thaha, Tahafut al-Falasifah: Kerancuan Para Filosof (Jakarta: Panjimas, 1986).
[24]Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn Malik ibn Muhammad ibn Thufail al-Qaysi. Beliau dilahirkan di Wadi Asy (sekarang Guaolix), sebuah kita 40 mil Timur Laut Granada. Para ahli sejarah tidak mendapatkan data yang konkrit tahun kelahirannya ada yang menyatakan tahun 549 H/1154 M. ada juga yang menyebut beliau lahir tahun 506 H./1110 M., namun demikian para ahli sepakat bahwa beliau meninggal pada tahun 561 H./1185 H. di Marokko. Baca Bernard Lewis, The Encyclopedia of Islam, Volume III (Leiden: EJ. Brill, 1979), 957.
[25]Baca penilaian Watt ini dalam W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam (Jakarta: P3M, 1987), 79.
[26]Lihat komentar ini dalam Tj. de Boer, The History of Philosophy in Islam (New York: Doever Publication, Inc., 1967), 184; Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), 86.
[27]Nama lengkapnya ‘Abd al-Walid Muhammad Ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Beliau lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan meninggal di Marokko pada tahun 1198 M. Beliau adalah seorang tokoh pembela rasionalisme Islam yang memberikan perlawanan keras terhadap pemikiran al-Ghazali dengan menulis ebuah karya menomental Tahafut al-Tahafut al-falasifat. Beberapa karya lain yang menonjol adalah Fashl al-Maqal dan Kasyf al-Adillah serta Bidayat al-Mujtahid dalam bidang fiqh. Mengenai biografinya lihat selengkapnya dalam ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Ibn Rusyd (Kairo: Dar al-Marif, t.th.), 30.
[28] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis (Bandung: Mizan, 2002), 166-7.
[29]Ibrahim Madkour, Aliran dan teori Filsafat Islam (Jakarta: Bima Aksara, 1995), 127
[30]Tj. de Boer, op. cit., 97-8.