MITOS DAN TRADISI
PENENTUAN CALON PASANGAN
Memahami Mitos
Dalam realitas sebagian komunitas masyarakat muslim Indonesia, penentuan kriteria calon pasangan tidak hanya ditentukan berdasarkan doktrin agama, sebagaimana disebutkan sebelum ini, tetapi juga didasarkan atas petuah nenek moyang. Petuah nenek moyang yang tidak tertulis tapi diyakini kebenarannya itu dikenal dengan mitos. Kata mitos berasal dari bahasa Inggris “myth” yang berarti dongeng atau cerita yang dibuat-buat.[1] Sejarawan sering memakai istilah mitos ini untuk merujuk pada cerita rakyat yang tak benar, dibedakan dari cerita buatan mereka sendiri, biasanya diperkenalkan dengan istilah “sejarah”.
Malinowski mendefinisikan mitos sebagai serangkaian cerita yang mempunyai fungsi sosial masa lampau dan sebagai ‘piagam’ untuk masa kini sehingga dapat mempertahankan keberadaan pranata tersebut,[2] sedangkan Jung menyebutnya ‘archetype’ (pola dasar) yang menghasilkan produk tak pernah berubah dari ketidak sadaran kolektif.[3]
Para antropolog memandang bahwa eksistensi mitos, seperti halnya tambal sulam, artinya cerita yang tidak bersambungan, namun kemudian dirangkai sedemikian rupa satu demi satu tanpa hubungan yang jelas,[4] atau sebagai suatu kasus sejarah tanpa arsip yang tentunya tidak terdokumentasikan secara tertulis, hanya berupa tradisi lisan, yang kemudian oleh sebagian masyarakat kuno diklaim sebagai sejarah yang diyakini kebenarannya.[5]
Para penulis Indian kontemporer mencoba menyuguhkan masa lalu mereka, dengan tidak menganggap sejarah macam ini sebagai cerita khayalan, namun berupaya dengan amat teliti, dengan pertolongan arkeologi (mengekskavasi situs-situs pedesaan yang dirujuk dalam sejarah tersebut) dan dengan mencoba membuat kaitan antara kisah-kisah yang berbeda (sejauh hal ini mungkin) dan menemukan yang benar-benar berkaitan dan yang tidak.[6]
Mitos dapat dipahami juga sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat dituturkan dalam bahasa lisan atau lewat tari-tarian atau pementasan wayang. Inti cerita itu meru[akan lambang yang mencetuskan pengalaman manusia purba, kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian, dosa dan penyucian, perkawinan dan kesuburan, firdaus dan akhirat. Mitos melampaui makna cerita dalam arti modern, isinya lebih padat dari pada rangkaian peristiwa yang menggetarkan atau menghibur. Mitos tidak hanya terbatas pada semacam reportase mengenai peristiwa-peristiwa yang dahulu terjadi, seperti kisah dewa-dewa dan dunia ajaib, melainkan mitos juga memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Dengan mitos itu manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya kekuatan alam.[7]
Wal hasil, apapun pengertiannya, mitos tetap merupakan semacam takhayyul sebagai akibat ketidaktahuan manusia, tetapi bawah sadarnya memberitahukan tentang adanya sesuatu kekuatan yang menguasai dirinya serta alam lingkungan. Kondisi bawah sadar inilah yang kemudian menimbulkan rekaan-rekaan dalam pikiran, yang lambat laun berubah menjadi kepercayaan yang biasanya dibarengi dengan rasa ketakjuban, ketakutan atau kedua-duanya, dan melahirkan pemujaan (kultus). Sikap pemujaan yang demikian kemudian ada yang dilestarikan berupa upacara keagamaan (ritus) yang dilakukan secara periodik dalam waktu tertentu, sebagian pula berupa tutur yang disampaikan dari mulut ke mulut sepanjang masa dan turun-temurun, kini dikenal sebagai cerita rakyat atau folklore. Hal ini biasanya dipakai untuk menyampaikan asal-usul kejadian istimewa yang tidak akan terlupakan. Demikianlah yang terjadi di masa-masa lampau, atau daerah-daerah terbelakang dengan alam pikiran manusia yang masih kuat dikuasai oleh kekolotan.[8]
Memahami Tradisi
Istilah tradisi sering digunakan dan dijumpai dalam berbagai literatur, seperti tradisi Madura, tradisi Jawa, tradisi keraton, tradisi petani, dan tradisi pesantren. Dalam khazanah Indonesia, tradisi berarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun temurun dari nenek moyang, atau segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang.
Term tradisi secara umum dimaksudkan untuk menunjuk kepada suatu nilai, norma dan adat kebiasaan yang berbau lama dan hingga kini masih diterima, diikuti bahkan dipertahankan oleh kelompok masyarakat tertentu.[9] Hassan Hanafi memberikan pengertian tradisi (turats) sebagai semua warisan masa lampau yang sampai kepada kita dan masuk ke dalam kebudayaan yang sekarang berlaku.[10]
Dalam term tradisi juga mengandung pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini, menunjuk pada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Dengan demikian, tradisi Islam atau Kristen berarti serangkaian ajaran atau doktrin yang dikembangkan ratusan atau ribuan tahun yang lalu tetapi masih hadir dan malah tetap berfungsi sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini. Oleh karena itu, tradisi dalam pengertian yang paling elementer adalah sesuatu yang ditransmisikan atau diwariskan dari masa lalu kemasa kini.[11]
Tradisi terjadi dari tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola perilaku kemasyarakatan. Norma-norma yang ada dalam masyarakat berguna untuk mengatur hubungan antar manusia di dalam masyarakat agar terlaksana sebagaimana yang mereka harapkan. Mula-mula norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja, namun lama kelamaan norma yang ada dalam masyarakat tersebut dibentuk secara sadar. Norma-norma itu mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, ada norma yang lemah, yang sedang, sampai yang terkuat daya pengikatnya, dimana anggota-anggota masyarakat pada umumnya tidak berani melanggarnya.[12]
Dalam teori lain dikatakan bahwa tradisi lahir melalui dua cara. Pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena sesuatu alasan, individu tertentu menemukan warisan histories yang menarik. Perhatian, ketakziman, kecintaan, dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui berbagai cara, mempengaruhi rakyat banyak. Sikap takzim dan kagum itu berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara, ritual, norma, dan lain sebagainya. Semua perbuatan itu memperkokoh sikap. Kekaguman dan tindakan individual menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta social yang sesungguhnya.
Kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh atau berkuasa. Raja mungkin memaksakan tradisi dinastinya kepada rakyatnya. Dictator menarik perhatian rakyatnya kepada kejayaan bangsanya di masa lalu, dan lain sebagainya.[13]
Sebuah tradisi terbentuk dan bertahan dalam masyarakat karena mereka menganggap bahwa tradisi yang dianutnya, baik secara objektif maupun subjektif, adalah sesuatu yang bermakna, berarti atau bermanfaat bagi kehidupan mereka. Pada sisi lain, tradisi juga teah memberikan makna bagi masyarakat yang menganut dan mempertahankannya. Dengan kata lain, antara tradisi dan masyarakat mempunyai interkorelasi yang simbiosis mutualistik dalam memberikan makna. Beberapa makna tradisi bagi masyarakat, menurut Bawani,[14] ialah sebagai berikut:
1. Sebagai Wadah Ekspresi Keagamaan.
Tradisi mempunyai makna sebagai wadah penyalur keagamaan masyaraakat, hampir ditemui pada setiap agama. dengan alasan, agama nenuntut pengamalan secara rutin dikalangan pemeluknya. Dalam rangka pengamalan itu, ada tata cara yang sifatnya baku, tertentu dan tidak bisa dirubah-rubah. Sesuatu yang tidak pernah dirubah-rubah dan terus-menerus dilakukan dalam prosedur yang sama dari hari kehari bahkan dari masa ke masa, akhirnya identik dengan tradisi. Berarti, tradisi bisa muncul dari amaliah keagamaan, baik yang dilakukan kelompok maupun perseorangan.
2. Sebagai Alat Pengikat Kelompok
Menurut Kodratnya, manusia adalah mahluk berkelompok. bagi manusia hidup berkelompok adalah suatu keniscayaan, karena memang tidak ada orang yang mampu memenuhi segala keperluannya sendirian. Atas dasar ini, dimana dan kapanpun selalu ada upaya untuk menegakkan dan membina ikatan kelompok, dengan harapan agar menjadi kokoh dan terpelihara kelestariannya. Adapun cara yang ditempuh, antara lain melalui alat pengikat, termasuk yang berwujud tradisi.
3. Sebagai Benteng Pertahanan Kelompok
Dalam dunia ilmu-ilmu sosial, kelompok tradisionalis cenderung diindentikkan dengan stagnasi (kemandekan); suatu sikap yang secara teoritis bertabrakan dengan progres (kemajuan dan pembaharuan). Padahal, pihak progres yang didukung dan dimotori oleh sains dan teknologi, yang dengan daya tariknya sedemikian memikat, betapapun pasti berada pada posisi yang lebih kuat. Karenanya adalah wajar bila pihak tradisionalis mencari benteng pertahanan termasuk dengan cara memanfaatkan si tradisi itu sendiri.
Mitos Pertunangan Madura
Pada masyarakat Madura, begitu hasil penelitian Helman Fajry,[15] memiliki keunikan dalam mempertahankan adat dan tradisi, sekalipun adat dan tradisi terkadang berlandaskan atas mitos. Dalam masalah perkawinan, masyarakat Madura mempunyai kriteria tertentu yang harus dihindari ketika menentukan calon. Beberapa model perkawinan yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan adat-istiadat dan tradisi ialah perkawinan Arompak Wali atau Tempor Wali, Marobbhu Bhatah, Bhisan Katedungan, Ngemban, dan Salēp Tarjhâ.
Mitos Arompak Wali atau Tempor Wali merupakan perkawinan antara dua orang sepupu (Madura: sapopoh) yang masing-masing merupakan anak dari dua orang lelaki saudara sekandung, atau antara anak dari dua orang perempuan saudara sekandung. Bagan berikut menggambarkan perkawinan terlarang tersebut:
Arompak Wali atau Tempor Wali
Desy + Zainal |
Sahrowi + Jum’ati |
Anam + Eni |
Masrum |
Rudi |
Fitriyah |
Fauzi |
+ |
Sementara itu, mitos Marobbhu Bhatah merupakan perkawinan antara dua orang laki-laki saudara kandung dengan dua orang perempuan saudara kandung. Bagan berikut menggambarkan model perkawinan tersebut.
Marobbhu Bhatah
Tamli + Ripah |
Agus |
Surur + Umi |
Zainal |
Lely |
mimin |
+ |
+ |
Berbeda dengan kedua mitos tersebut, mitos Bhisan Katedungan dianggap sebagai sebuah perkawinan yang terjadi antara anak laki-laki bawaan suami dengan anak perempuan bawaan istri. Bagan berikut memberikan gambaran perkawinan Bhisan Katedungan tersebut.
Bhisan Katedungan
Samiatun + Heri |
Santi + Muhdor |
+ |
– |
– |
Aqil |
Ni’mah |
+ |
Sedangkan perkawinan Ngemban merupakan perkawinan antara seorang keponakan mengawini oba’ bine’ atau bu’ ne’ (saudara sepupu ayah-ibu) yang dalam sistem keluarga sederajat dengan bibinya sendiri. Mitos ini dapat digambarkan dalam bagan berikut.
Ngemban
Aiman + Umana |
Afif + Wildah |
Ansori |
Masrum + Mabruroh |
Sudiyah |
Madra’i |
Silvi |
+ |
Karim + Sri |
Perkawinan-perkawinan tersebut terlarang menurut tradisi masyarakat Madura karena diyakini dapat mendatangkan bencana atau musibah. Salēp Tarjhâ, sebagai model perkawinan terlarang yang menjadi fokus penelitian Helman Fajry, merupakan istilah dari Bengaseppo (sesepuh/nenek moyang) masyarakat Madura bagi perkawinan silang antara 2 (dua) orang bersaudara (sataretanan) putra-putri. Perkawinan Salēp Tarjhâ dilarang dalam hukum adat masyarakat Madura karena diyakini mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya, seperti akan sulit mendapatkan rizki, mudah sakit (ke’sakean), atau bahkan meninggal dunia.
Sholeh + Sitti |
Aziz + Nurul |
Salēp Tarjhâ
Saiful |
Ririn |
Rahmawati |
Rizal |
+ |
+ |
Berbicara tentang mitos perkawinan Salēp Tarjhâ pada dasarnya berhubungan erat dengan adanya keyakinan masyarakat akan mitos bahwa perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya, baik sulit mendapat rizki (Madura: ropek), mudah terhinggap penyakit (Madura: ke’sakean) atau bahkan meninggal dunia (Madura: Mateh). Oleh karenanya, bagi sebagian masyarakat yang tetap bersikeras untuk melakukan perkawinan yang semacam ini, biasanya selang beberapa lama setelah perkawinan dilangsungkan, mereka mengadakan acara selamatan (slametthen) dengan tujuan supaya terhindar dari efek dan akibat negatif mitos-mitos tersebut.
Beberapa hal yang menjadi dasar keyakinan masyarakat Blumbungan terhadap mitos Salēp Tarjhâ adalah (1) kejadian dalam realitas, dan (2) keyakinan yang dipertahankan dalam bentuk ritus-ritus. Berkaitan dengan kejadian, masyarakat dapat melihat satu kejadian yang menunjukkan kepada munculnya marabahaya dikarenakan adanya pelanggaran. Hal ini sebagaimana disampaikan Pak Musahrih bahwa Salēp Tarjhâ bisa mendatangkan bahaya, baik bagi dirinya mapun keluarganya. Pak Mussahrih melihat kasus kematian H. Risun setelah anaknya melakukan perkawinan Salēp Tarjhâ yang kemudian diikuti oleh kematian besannya merupakan akibat dari pelanggaran terhadap Salēp Tarjhâ.
Syukkur menyadari bahwa ketika tidak diperbolehkan (dilarang) oleh orang tuanya untuk menikah dengan adik ipar laki-laki (suami dari adik perempuan)nya, dia tetap melakukan pernikahan terlarang itu. Kalau sekarang, menurut Syukkur, setelah melihat keadaan keluarganya jatuh miskin, saya juga tidak tahu apakah keadaan ini terjadi disebabkan karena melanggar Salēp Tarjhâ atau karena memang sudah takdir.
Mad De’i, sekalipun dalam kondisi ragu-ragu, tetap meyakini mitos Salēp Tarjhâ. Dulu Mat De’i pernah dilarang untuk menikah dengan istrinya yang merupakan adik perempuan dari suami mbaknya, sekalipun demikian, De’i tetap bersikukuh untuk tetap menikah dengan istrinya dengan alasan cinta dan dukungan fatwa yang disampaikan para ustadz bahwa yang mengatur dan menentukan hidup dan mati, senang dan susah seseorang adalah Tuhan. Namun untuk menghindari kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap mitos, maka selang beberapa lama setelah melangsungkan pernikahan, Mad De’i sekeluarga mengadakan acara selamatan tolak bala’ dengan melakukan doa bersama famili-famili dan mengundang para tetangga sekitar untuk bersama-sama membaca surat munjiyat yang terdapat di dalam kitab suci al-Qur’an.
Demikianlah bahwa munculnya mitos bergantung pada keyakinan masyarakat, sehingga apabila masyarakat melihat kejadian yang menimpa seseorang sebagai sesuatu yang biasa terjadi dan tidak ada kaitannya dengan pelanggaran terhadap sebuah mitos, maka kejadian itu akan dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Hal ini terlihat dalam pandangan Sarip, salah seorang orang tua pelaku (pelanggar) perkawinan Salēp Tarjhâ di Desa Blumbungan. Kalau menurut saya, katanya, Salēp Tarjhâ boleh dan tidak ada masalah sebab tidak termasuk dalam kategori pernikahan yang dilarang oleh agama. Salēp Tarjhâ, katanya lebih lanjut, hanya merupakan simbol orang dulu yang tidak dapat dipercaya, sebab semua yang ada di dunia ini hanya ditentukan Tuhan.
Sarip memandang perihal keadaan keluarga anaknya yang sudah melakukan perkawinan Salēp Tarjhâ, keadaan ekonominya lumayan (sedang-sedang saja). Sekalipun dulu anaknya sempat mengalami sakit berkepanjangan, dia tetap berkeaykinan bahwa Salēp Tarjhâ atau tidak Salēp Tarjhâ kalau memang sudah waktunya sakit, ya tetap sakit, kalau sudah waktunya mati, ya tetap mati, siapapun itu, sebab yang menentukan hal tersebut adalah tuhan, demikian menurutnya.
Hal ini juga dibenarkan oleh Jemali, salah seorang pelaku perkawinan Salēp Tarjhâ lainnya di Desa Blumbungan. Dia berpandangan bahwa Salēp Tarjhâ hanya perkataan orang dulu. Dia tidak percaya terhadap mitos tersebut karena walau pun dia dan adiknya termasuk Salēp Tarjhâ, dia tidak pernah menghadapi masalah, sebab dia meyakini semua hal di dunia ini tergantung menurut ketentuan Tuhan
Berkaitan dengan keyakinan, H. Abu Bakar alias Tono, salah seorang sesepuh masyarakat Blumbungan yang bernama mengatakan bahwa Salēp Tarjhâ dilarang karena biasanya orang yang melakukan perkawinan Salēp Tarjhâ ada yang “kalah” salah satu dari kedua pasangan tersebut, salah satunya meninggal atau sulit mendapatkan rezekinya. Saya, kata Tono, tidak tahu kepastiannya karena ini hanya kata orang dulu (nenek moyang), ya begitu mungkin kehendak Tuhan, sebagaimana dikatakan orang-orang dulu itu menjadi benar karena kekuatan “ilmu telinga” mereka.
Nikrah alias Pak Ris menambahkan bahwa orang yang melakukan perkawinan Salēp Tarjhâ biasanya salah satunya meninggal dunia, karena walaupun semua hal dalam hidup ini ditentukan Tuhan, tetapi karena Salēp Tarjhâ itu sudah menjadi kepercayaan masyarakat, maka Tuhan bisa saja menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang nyata. Hal ini bisa saja terjadi karena yang melarang Salēp Tarjhâ adalah orang tua, dan pelanggaran terhadap nasehat orang tua bisa mendatangkan datangnya bala’.
Mitos Masyarakat Jawa
Dalam penelitian Ijmaliyah[16] ditemukan keterpengaruhan masyarakat Jawa terhadap mitos segoro getih. Secara harfiyah, segoro atau segaran merupakan tempat bertemunya air sungai (laut), sedangkan getih merupakan barang yang mengalir dalam tubuh manusia atau hewan (darah).[17] Akan tetapi yang dimaksudkan dengan mitos segoro getih, sebagaimana dipercaya masyaraka Ringinrejo kediri, merupakan suatu keyakinan terhadap sebuah perkawinan yang melanggar ketentuan adat istiadat berupa perkawinan yang desanya menyeberangi jalan raya.
Beberapa larangan perkawinan lain yang menjadi mitos masyarakat di daerah ini adalah sebagai berikut:
1. Mitos Ngelangkah Aratan, yakni suatu perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berseberangan jalan, misalnya calon laki-laki di rumahnya di Selatan jalan raya, sedangkan calon perempuannya dari Utara jalan.
2. Larangan perkawinan antara dua orang yang asal daerahnya memiliki awalan huruf yang sama, seperti Ringinrejo (R) dengan Randurejo (R), mempunyai awalan “R” yang sama.
3. Larangan menikah dengan orang yang sudah meninggal salah satu orang tuanya.
4. Larangan menikah dengan orang yang saudaranya sudah pernah menikah dengan seseorang di desa yang sama.
5. Larangan menikah dengan seseorang yang saudaranya sudah menikah dengan tetangganya.
Munculnya mitos Segoro Gettih, sebagaimana diungkapkan Pak Mukani dan Pak Pamuji Ali, dua tokoh masyarakat di Desa Ringinrejo, dikarenakan suatu kejaidan di masa lalu dimana telah terjadi sepasang kemanten berikut dengan salah seorang keluarganya meninggal di sebuah jalan raya. Setelah ditelusuri, kemanten baru yang meninggal itu adalah sepasang kemanten yang menikah dan kebetulan rumahnya berada di sebuah desa yang berseberangan jalan dengan lainnya. Masyarakat kemudian menghubung-hubungkan kejadian itu dengan lokasi rumah kedua penganten sehingga memunculkan mitos Segoro Gettih.
Sejak saat itu, masyarakat Ringinrejo selalu melakukan penelitian dan penelusuran asal muasal calon pasangan. Keyakinan ini terus bertahan karena menjadi keyakinan dan ketentuan para orang tua dalam menentukan calon menantunya yang tidak boleh dilanggar. Sekalipun demikian, ada sebagian masyarakat yang tidak meyakini dan melanggar batas-batas mitos tersebut. Pelanggaran terhadap mitos juga kerap kali dilakukan juga oleh masyarakat yang masih mempercayai mitos dengan cara melaksanakan beberapa penangkal balak berikut:
1. Membuang ulung-ulung, yakni membuang seekor ayam sebagai penolak balak bagi mereka yang melanggar larangan pernikahan dari desa yang huruf awalnya mempunyai kesamaan huruf ejaan.
2. Ditemu, yakni ketika orang tua laki-laki tidak melakukan peminangan di rumah calon istri, melainkan dilakukan di suatu tempat di uar rumah dan desa anak perempuan yang akan dipinang. Penangkal ini dilakukan bagi mereka yang melanggar ketentuan mitos Melangkah Aratan.
3. Mantu Dadi Siji, yakni melakukan hajatan pada satu tempat. Penangkal ini harus dilaksanakan bagi mereka yang melanggar mitos Segoro Gettih.
Selain dari itu, masyarakat Jawa juga mempunyai beberapa kepercayaan lain dalam menentukan calon pasangannya. Hal ini terungkap dalam penelitian Lu’lu’il Maknun[18] berikut:
1. Neton, yakni larangan pernikahan didasarkan atas hari pasar kelahiran kedua calon pasangan. Neton geyeng, yakni pertemuan netton wage dan pahing, adalah neton terlarang yang apabila dilangar aan mengakibatkan kesulitan ekonominya.
2. Sunduk Weton, yakni larangan pernikahan bagi mereka yang rumahnya berseberangan jalan, seperti rumah laki-laki di sebelah Barat jalan sedangkan rumah pihak perempuan di sebelah Timur jalan.
3. Dandang Sawuran, yakni larangan pernikahan bagi calon pasangan yang nama awal atau akhir dari desanya mempunyai kesamaan, seperti ihak laki-laki dari Jabalsari sedangkan pihak perempuan dari Landungsari.
4. Welasan, yakni larangan pernikahan antara pihak laki-laki merupakan perayaan pernikahan yang ketiga kalinya dalam keluarga, sedangkan perempuan adalah kali pertama perayaan pernikahan dalam keluarganya.
5. Turun Tellu, yakni larangan pernikahan bagi mereka yang tunggal canggah (turunan ketiga dalam keluarga).
Selain kelima larangan tersebut dalam penelitiannya, Maknun juga menemukan keunikan tradisi Jawa dalam melalukan peminangan melalui dandan. Peminangan melalui jasa dandan tergolong unik bukan hanya karena rentetan kegiatan peminangannya yang formal, tapi juga kemungkinan pemutusan hubungan pertunangan yang dilakukan oleh dandan, bahkan tanpa sepengetahuan orang yang menyuruh atau pelaku pertunangannya. Beberapa tahapan peminangan formal yang dilakukan melalui dandan ialah sebagai berikut:
1. Penentuan jodoh. Tahapan ini terjadi pembicaraan antara orang yang menginginkan untuk mendapatkan menantu atau pasangan dengan dandan tentang kriteria calon yang diinginkan. Setelah dandan memahami kriteria yang dipesankan, maka dandan segera mencari pesanannya tersebut ampai kemudian dapat dan disampaikan kepada pemesan.
2. Nontoni. Tahapan kedua ini merupakan proses penentuan tempat dan waktu untuk mempertemukan pihak laki-laki dengan sang perempuan yang diinginkan. Jika perempuan tersebut sudah dianggap sesuai dengan kriteria yang diinginkan, maka dilanjutkan pada proses berikutnya, tetapi kalau ternyata tidak sesuai maka dandan melakukan pencarian, menyampaikan dan mempertemukan kembali.
3. Nakokne. Pada tahapan ketiga ini, dandan menyampaikan keinginana pihak laki-laki dan menanyakan kepada pihak perempuan tentang kemungkinan dilangsungkannya pelaksanaan khitbah (pertunangan). Apabila ternyata pihak perempuan tidak mau melanjutkan karena satu dan beberapa hal, maka dandan melakukan proses dari awal kembali, tetapi kalau ternyata sama-sama berkeinginan untuk melanjutkan, maka dandan mengatur tahapan berikutnya.
4. Nalurakne Pitunge Rembuk. Pada tahapan keempat, dandan mengatur pertemuan antara kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan, untuk melanjutkan musyawarah dan melakukan perhitungan sebagaimana yang disebutkan sebelum ini. Jika ternyata berdasarkan perhitungan dan penelusuran sudah sesuai dengan adat dan tradisi serta mitos yang diyakini tidak dilangggar, maka dandan mengatur proses langkah berikutnya, tetapi kalau seandainya dari perhitungan ternyata ada tradisi dan mitos yang dilanggar, maka dilakukan musyawarah mufakat antarkedua keluarga.
5. Sisetan. Tahapan kelima merupakan tahapan erkahir dari seluruh prosesi pertunangan yang bernuansa ritual, sakral dan formal. Pada tahapan ini, dandan datang bersama pihak keluarga laki-laki untuk menyatakan kepastian pertunangan dan sekaligus melakukan rembug penentuan hari pernikahan berdasarkan atas waktu yang disepakati dan mitos yang diyakini. Dalam pelaksanaan sisetan ini ada beberapa peningset (barang bawaan dalam tradisi sisetan) yang dibawa, yaitu:
- Jadah, yaitu sejenis kue yang dibuat dari ketan putih dicampur dengan santan. Jadah menunjukkan pada keinginan mereka agar hubungan pertunangan mereka langgeng dan lengket seperti jadah sampai waktu pernikahan yang telah ditentukan.
- Beras, yaitu gambaran dari kebiasaan pangan yang disediakan. Dengan membawa beras ini diharapkan pertunangan mereka mendapatkan banyak rezki yang halal seputih beras yang mereka bawa.
- Kopi dan gula, yaitu gambaran bahwa dalam kehidupan selalu saja ada kegelapan dan kepahitan, seperti hitam dan pahitnya kopi. Akan tetapi, jika kopi dicampurkan dengan gula maka akan menjadi sedap dan enak diminum. Gula juga menggambarkan keinginan hubungan mereka diharapkan selalu manis, semanis gula yang mereka bawa!!!
Tradisi Peminangan Bugis-Makassar
Berdasarkan simulasi prosesi pernikahan adat yang penulis amati untuk mengetahui kedudukan sompa dalam perkawinan adat bugis, dalam pekan budaya Wajo dalam rangka hari jadi Wajo ke 608, kata Andi Saefullah dalam penelitiannya,[19] maka prosesi peminangan dalam adat Bugis diketahui melalui berbagai macam rangkaian peristiwa, namun pada umumnya terbagi dalam 4 tahap yakni mappessek-pessek, mammanuk-manuk, madduta, dan mappasiarekeng.
1. Mappessek-pessek
Langkah ini merupakan inisiatif dari pihak laki-laki dengan menugaskan seseorang untuk melakukan penyelidikan, tanpa sepengetahuan pihak perempuan. Orang yang ditugaskan biasanya merupakan orang yang memiliki hubungan dekat baik dengan pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Langkah ini ditempuh untuk mengamati perilaku si gadis yang dimaksud dan untuk mengukur peluang diterima tidaknya lamaran pihak laki-laki kelak.
2. Mammanuk Manuk
Setelah pihak laki-laki mendapat infomasi tentang gadis tersebut dan mendapat peluang untuk diterima, selanjutnya pihak laki-laki masuk dalam tahap mammanuk-manuk. Tahap ini disebut mammanuk manuk yaitu berbuat seperti burung atau menyampaikan berita burung. Pada tahapan ini, utusan dari pihak pria menyampaikan secara sekilas adanya maksud dari pihak laki-laki untuk melamar gadis di rumah tersebut.
Dalam pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan orang tua si gadis, maka orang tua si gadis berjanji akan memusyawarahkannya terlebih dahulu secara internal, dan akan memberitahukan hasilnya kelak. Apabila waktu yang telah disepakati tiba, maka datanglah kembali pammanuk-manuk ke rumah gadis tersebut untuk mendengarkan hasil dari musyawarah tersebut. Apabila hasil musyawarah internal keluarga pihak perempuan menyetujui, maka dalam kesempatan itu juga ditentukan hari yang tepat untuk melakukan lamaran secara resmi.
3. Madduta
Acara ini merupakan penyampaian lamaran secara resmi oleh keluarga pihak laki-laki pada keluarga pihak perempuan. Dalam acara ini, pihak keluarga perempuan mengundang keluarga terdekatnya untuk berkumpul di rumahnya. Beberapa orang tua berpakaian adat resmi, pria memakai jas tertutup, lipa garusu, songko pamiring ulaweng, dan wanita berpakaian baju bodo dan sarung sutera. Setelah pihak laki-laki yang datang dengan mengguanakan pakaian adat resmi pula, dipesilahkan duduk. Beberapa saat kemudian, acara sakral dan formal dimulai dengan pembicaraan yang menggunakan kalimat-kalimat kiasan antara tomadduta (pihak laki-laki) dengan toriaddutai (pihak perempuan) sebagai berikut.
Tomadduta |
: |
Iyaro bunga rositta tepu tabbakka toni, engkaga sappona. |
|
|
(Apakah kembang mekar yang anda miliki telah mempunyai pelindung) |
|
|
|
Toriaddutai |
: |
Dega padang ri liputta, balanca ri kampotta na tajokka mabela |
|
|
(Apakah di tempat anda tidak ada pasar, hingga harus bepergian jauh) |
|
|
|
Tomadduta |
: |
Engka padang rilipukku balanca rikampokku, nekiya nawami kusappa. |
|
|
(Ada pasar di tempatku namun yang kucari adalah ketentraman) |
|
|
|
Toriaddutai |
: |
Iganaro elo ri bungata, bunga temaddaunnge, temmattakke. |
|
|
(Siapa pula yang menginginkan kembang kami yang tak berdaun, tak bertangkai) |
|
|
|
Tomadduta |
: |
Taroni temmaddaung, temmattakke, Duami kuala sappo unganna panasae, belona kanukue. |
|
|
(Biarlah kembang tersebut tak berdaun dan tak bertangkai. Hanya dua yang akan kujadikan pelindung baginya, yakni tunas nangka dan penghias kuku, kejujuran dan kesucian) |
|
|
|
Toriaddutai |
: |
Narekko makkuni tu adatta, soroni tanggaka, nakutannga tokki. |
|
|
(Kalau begitu, marilah kita saling memandang satu sama lain) |
Setelah mendapat kepastian atas penerimaan lamarannya, kedua belah pihak pun bercengkerama seperti biasa dan kemudian memutuskan hari untuk melaksanakan proses atau tahapan yang selanjutnya.
4. Mappasiarekeng
Mappasiarekeng artinya mengikat dengan kuat. Acara ini biasa juga disebut mappettu ada atau mattenre ada, maksudnya pada waktu itu antara kedua belah pihak (pihak perempuan dan laki-laki) bersama mengikat janji yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya.
Menurut Sudirman Sabang, untuk melaksanakan suatu perkawinan, selalu ada upacara mappasiarekeng ini karena upacara madduta mallino masih dianggap belum resmi sebagai suatu ikatan dari kespakatan kedua belah pihak. Adapun, duta mallino diibaratkan suatu benda yang belum diikat, belum disimpul atau masih berupa benda yang dibalut yang masih dapat terbuka. Oleh karena itu, dalam upacara mappasiarekeng diadakan janji yang kuat antara kedua belah pihak.
Pada upacara ini pihak laki-laki membawa barang berupa; (a) sarung sutera 1 lembar; (b) baju bodo 1 lembar, dan (c) cincin emas 1 bentuk. Ketiga benda tersebut masing-masing dibawa oleh seorang gadis belasan tahun yang berpakaian pengantin adat lengkap. Pakaian tersebut terdiri dari baju bodo, lipa botting, simpolong tettong dan dilengkapi dengan perhiasan-perhiasan seperti kutu-kutu, bunga simpolong, pinang goyang, rante mabbule, tigoro tedong, ikat pinggang, dan simatayya.
Selain itu, rombongan pihak laki-laki yang terdiri dari beberapa laki-laki dewasa dan wanita dewasa dengan berpakaian jas tertutup hitam, lipa garusu, songko pamiring ulaweng untuk laki-laki, sedang untuk wanita memakai baju bodo, lipa garusu, dan simpolong. Keluarga pihak perempuan pun telah berkumpul di rumah dengan pakaian adat sebagaimana pihak laki-laki, yang dengan penuh kegembiraan menyambut tamunya dan mempersilahkan mereka duduk di tempat yang telah disediakan.
Pada upacara ini, baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki mengundang keluarga dan kaum kerabat, atau pemuka masyarakat untuk menghadiri acara tersebut. Para keluarga diundang untuk menyaksikan pelaksanaan mappasiarekeng. Upacara ini, disamping untuk melaksanakan pengikatan janji, juga bersifat pengumuman kepada keluarga, kaum kerabat dan handai taulan yang turut dalam upacara tersebut.
Dalam acara tersebut, dibicarakan dan diputuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara pernikahan yang meliputi tanra esso (penentuan hari pesta pernikahan), balanca (uang belanja yang diberikan pihak laki-laki), sompa (mahar yang sesuai dengan adat) setelah terlebih dahulu menelusuri garis keturunan calon pengantin. Setelah hal-hal tersebut disepakati, salah seorang membacakan hasil kesepakatan dan diakhiri dengan kalimat berikut:
Mappamulani essowe, tessiengkalinga ada-ada menre, ada pole-pole, timukkupa na dauccilitta, daungcilikkupa natimuta pole makkeda, natosiateppereng. Sangadi dewata teya, totopa massampeyang natopada salai janci.
(Mulai hari ini, tidak akan ada lagi diantara kita mendengarkan berita dari orang lain, kecuali berita dari mulut kami dan didengar langsung oleh telinga anda atau berita dari mulut anda yang kami dengar langsung dengan telinga kami, agar kita dapat saling mempercayai, hanya kehendak Tuhan yang mampu menyebabkan batalnya perjanjian kita ini.)
Demikian bunyi ikrar sebagai penutup perjanjian pada acara mappasiarekeng. Acara selanjutnya adalah penyerahan baju bodo, sarung sutera, dan cincin oleh keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang kemudian diperlihatkan kepada orang-orang yang hadir sebagai tanda ikatan janji. Pihak perempuan kemudian membalas pemberian tersebut dengan memberika selembar sarung sebagai tanda persetujuan atas ikatan janji yang dilaksanakan bersama. Setelah itu, cincin yang diserahkan pihak laki-laki langsung dipasangkan ke jari calon mempelai perempuan sehingga tahap ini disebut juga tahap massio atau mengikat sebagai tanda pertunangan.
Proses peminangan dalam perkawinan adat Bugis, kata Saefullah pada akhir bagian ini, sarat dengan makna yang terkandung di dalamnya. Prosesi ini merupakan langkah awal dalam menyatukan, tidak hanya seorang laki-laki dan perempuan, akan tetapi akan menyatukan dua keluarga besar yang tentunya dilandasi dengan semangat saling menjaga harga diri (siri’) yang dijunjung tinggi oleh mereka. Sebuah pinangan ketika telah memasuki proses mappasiarekeng sebagaimana telah dijelaskan menjadi sebuah komitmen tinggi yang mustahil akan dilanggar, apalagi dengan pemutusan sepihak, sebab hal itu tentu akan menjatuhkan harga diri dan keluarga kedua belah pihak.
Tradisi Pertunangan Suku Rawayan Indramayu
Pada masyarakat Suku Rawayan Indramayu, menurut penelitian Ropi’i,[20] terdapat Tradisi dan mitos dalam menentukan calon pasangan. Tradisi dan mitos tersebut tercermin saat penentuan calon pasangan dalam hal sekufu (kafa’ah). Konsep sekufu yang dimaksudkan Suku Rawayan ialah keyakinan mistik terhadap pasangan yang harus dengan warga sesama Suku Rawayan yang mereka sebut wong sejen, sebab apabila tidak maka akan terjadi bencana dalam keluarganya.
Dalam hal kafa’ah, Suku Rawayan tidak menjadikan agama sebagai tolok ukur utama, sebab dalam keyakinan mereka ketidaksamaan tradisi dan adat istiadat akan berpengaruh juga terhadap pola hidup yang lainnya. Oleh sebab itu, kafa’ah diukur dari adat istiadat dan tradisi yang dianut oleh Suku Rawayan, sing penting kuene wis cocok, ko sejene melu ning guri (yang penting itunya sudah cocok, nant yang lainnya ikut di belakangnya), begitu menurut Takmad Diningrat salah seorang tokoh Suku Rawayan ketika dikonfirmasi tentang masalah agama. Lebih lanjut Takmad memberikan penjelasan berikut:
“… Sing arane sepadan atawaistilahe kufu’ yaiku lanang karo wadone pada wae adat kebiasaane, sembarang kalire masih ana hubungane karo golongane kene. Perkawinan sepadan iku orah ngutamaaken ning permasalahan agama. Bener agama iku dasare wong urip ning ngalam dunnyo, isinya agama iku pada ngajaraken lan nuntunaken ning salah benere perilakune wong urip. Namung ning kene iku justeru adat lelaku wong urip lanang wadon iku kudu pada karo-karone, sebabe penguripan keluarga ning kene iku wis cukup karo ukuran adat istiadat sing pada …“
“… Yang namanya kesepadanan atau istilahnya kufu’ yaitu laki-laki dengan perempuanya sama saja dalam adat kebiasaan dan segala sesuatunya yang masih ada hubungannya dengan golongan ini (Rawayan). Perkawinan sepadan itu tidak mengutamakan permasalahan ukuran agama. Benar agama itu dasarnya orang hidup di alam dunia, isinya agama itu mengajarkan dan mengarahkan pada salah benarnya perilaku orang hidup. Namun di sini adat kebiasaan orang hidup laki-laki dan perempuan itu harus sama kedua-duanya, seba kehidupan keluarga (rumah tangga) sudah cukup dengan ajaran adat istiadat yang sama…”
Lebih tegas lagi, dalam pandangan Suku Rawayan yang terceriman dari pandangan leluhurnya, ukuran seperti nasab dan kekayaan seseorang tidak dapat menjadi ukuran kesamaan, karena sekalipun nasabnya baik tidak menjadi jaminan anak keturunannya akan menjadi baik pula. Begitu juga dengan kekayaan dan pekerjaan seseorang tidak bisa menjadi ukuran kafa’ah karena kaya dan miskin bukan diukur dari pekerjaannya melainkan diukur dari berapa pendapatannya. Oleh sebab itu, nasab dan kekayaan tidak dapat dijadikan ukuran kesepadanan. Berbeda dengan keduanya, adat istiadat yang mengatur cara pandangan dan perilaku dalam kehidupan berkeluarga akan sangat menentukan terhadap keharmonisan keluarga, sebab perbedaan adat istiadat akan berpengaru terhadap perbedaan cara pandang dan perilaku kehidupan yang apabila selalu berbeda akan mengakibatkan pertengkaran, perekcokan, penghinaan dan akhirnya terjadi perceraian.
Sekalipun konsep sekufu mereka terkesan ekslusif, namun tidak berarti mereka melarang sama sekali terhadap anggota masyarakatnya untuk menikah dengan warga dan marga lain yang berkenan disumpah untuk menjadi anggota warga Suku Rawayan. Dalam halnya penerimaan warga masyarakat luar yang akan menjadi anggota Suku Rawayan karena alasan pertunangan atau perkawinan akan diterima setelah melalui proses adopsi budaya Suku Rawayan dalam kehidupan berkeluarganya, mulai dari cara pandang, tradisi, adat istiadat, hingga pada masalah keyakinan dan ritualnya.
Apabila terdapat pasangan yang tidak memenuhi kriteia kafa’ah yang seperti mereka maksudkan tadi, maka keluarga terjadi diyakini akan terjadi mara bahaya atau perceraian karena diyakini pelanggaran terhadap keyakinan nenek moyang Rawayan akan memperoleh karmanya sendiri. Karma yang paling ringan adalah terjadinya perceraian, kemerosotan ekonomi (menjadi miskin), dan karma yang paling berat adalah mati. inilah beberapa karma yang akan diterima oleh mereka yang melanggar terhadap adat istiadat dalam pertunangan Suku Rawayan yang mereka menyebut karma itu dengan lara pati (kesengsaraan/apes) !!!
[1]John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Cet. XXIV; Jakarta: PT. Gramedia, 1993 ), 200.
[2]Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 152.
[3]Ibid., 154.
[4]Claude Levi-Streauss, Mitos dan Makna, Membongkar Kode-Kode Budaya (Yogyakarta: Marjin Kiri, 2005), 34.
[5]Ibid., 38.
[6]Ibid., 43.
[7]C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 37.
[8]Soenarto Timoer, Mitos ura-Bhaya Cerita Rakyat sebagai Sumber Penelitian Surabaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), 11.
[9]Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya: Al Ikhlas, 1990), 23.
[10]Moh Nurhakim, Islam, Tradisi &Reformasi “Pragmatisme”Agama dalam Pemikiran Hassan Hanafi (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), 29.
[11]M. Bambang Pranowo, Islam Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998), 4.
[12]Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 56.
[13]Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media, 2007), 71-72
[14]Imam Bawani, Op. Cit., 34 -5.
[15]Selengkapnya baca dalam Helman Fajry, Salēp Tarjhâ: Antara Realitas, Normatifitas, Dan Mitos, Skripsi (Malang: Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2007), 13 – 17.
[16]Ijmaliyah, “Mitos “Segoro Getih” Sebagai Larangan Penentuan Calon Suami Atau Istri di Masyarakat Ringinrejo Kediri” (Studi Akulturasi Mitos dan Syari’at),” Skripsi (Malang: Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2006).
[17]Mangun Suwito, Kamus Lengkap Bahasa Jawa (Bandung: t.p., 2006), 51.
[18]Lu’lu’il Maknun, “Pelaksanaan Khitbah melalui Dandan (Studi Fakta Hukum Adat dalam Masyarakat Islam di Desa Jabalsari Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung),” Skripsi (Malang: Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2006).
[19]Andi Saefullah, “Tradisi Sompa: Studi Tentang Pandangan Hidup Masyarakat Bugis di Tengah Perubahan Sosial”, Skripsi (Malang: Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2007)
[20]Selengkapnya baca Ropi’i, Ekslklusifitas Konsep Sekufu dalam Perkawinan Masyarakat Suku Rawayan Indramayu, Skripsi (Malang: Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2007).