Haruskah Menteri Agama Mundur?

sumber: www.arasynews.com

Oleh: Sudirman Hasan

Beberapa hari ini muncul di sejumlah media sosial tagar semacam #menagmundur. Hal ini dikaitkan dengan wacana pengaturan pengeras suara di masjid dan musala.  Memang, di era keterbukaan informasi, setiap orang memiliki kesempatan untuk berkomentar apa saja. 

Hanya, nampaknya kita perlu sekali lagi bijak dalam bersikap dan bertutur kapan pun dan di mana pun, baik di dunia nyata maupun maya. Jemari kita begitu lincah merangkai kata yang bisa saja menuntut pertanggungjawaban yang tidak sederhana. 

Pertimbangan yang terlalu emosional dan subyektif dapat membuat kita bersikap tidak adil yang dapat menimbulkan masalah bagi kita sendiri.

Dalam hal menyikapi tuntutan masyarakat agar Gus Menteri Agama mundur, setidaknya ada beberapa hal yang harus kita lihat secara jernih. 

Pertama, sumber masalah yang didudukkan secara jelas dan proporsional. Sumber masalah dimaksud adalah Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang  Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Mas jid dan Musala. SE ini lahir tanggal 18 Februari 2022. 

Tujuan  SE ini adalah untuk memastikan penggunaan pengeras suara agar tidak menimbulkan potensi gangguan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat, diperlukan pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola (takmir) masjid dan musala.  

Sehingga, Menteri Agama merasa perlu untuk mengatur waktu penggunaan dan volume pengeras suara. Jika dicermati dengan seksama, tidak ada hal janggal dalam SE ini. 

Masyarakat Muslim masih diperkenankan untuk menggunakan pengeras suara sesuai dengan fungsi dan kebutuhannya. Misal, pada hari Jumat, sebelum azan Dhuhur, pembacaan Al-Qur’an atau selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit. 

Ketentuan ini memberikan kesempatan bagi para jamaah untuk bersiap-siap berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat. Jadi, SE ini tetap memberikan ruang penggunaan pengeras suara sesuai fungsinya dan tidak menimbulkan gangguan bagi masyarakat di sekitar masjid. 

Kedua, berita viral tentang Menag menyamakan azan dengan gonggongan anjing.  Berita ini memicu ketegangan bahwa Menag tidak bijaksana dalam deskripsi tentang penjagaan harmoni di masyarakat minoritas Muslim. Gus Menteri mengucapkan kalimat berikut ini. 

“Karena kita tahu, misalnya ya di daerah yang mayoritas muslim. Hampir setiap 100 meter, 200 meter itu ada musala-masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka semua menyalakan Toa-nya di atas, kayak apa. Itu bukan lagi syiar, tapi menjadi gangguan buat sekitarnya.”

 “Kita bayangkan lagi, saya muslim. Saya hidup di lingkungan nonmuslim, Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim itu membunyikan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang secara bersamaan, itu rasanya bagaimana.”

“Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya kiri, kanan, depan, belakang pelihara anjing semua. Misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Bahwa suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada yang merasa terganggu.”

Coba kita renungkan kalimat-kalimat Gus Menteri di atas secara cermat. 

Menag memberikan deskripsi bahwa di masyarakat mayoritas muslim, keberadaan masjid dan musala sangat mudah ditemukan. Semua tempat ibadah tersebut pasti dilengkapi dengan pengeras suara  yang mengumandangkan azan lima kali sehari. 

Kemudian, Menag memberikan gambaran tentang suasana di masyarakat minoritas muslim.  

Jika rumah ibadah agama lain membunyikan pengeras suara lima kali sehari, tentu seorang  muslim akan merasa terganggu. 

Hal ini bisa juga digambarkan secara sederhana tentang  suara anjing di lingkungan minoritas muslim yang berbunyi bersamaan, tentunya seorang muslim tidak nyaman. 

Nah, di sinilah kecerdasan kita diuji. Apakah ada pernyataan Gus Menteri yang menyatakan bahwa suara azan sama dengan gonggongan anjing? Jika kita emosional, pasti akan muncul pikiran kita bahwa Menag membandingkan bahkan menyamakan suara masjid dengan suara anjing. 

Namun, jika kita mampu mendudukkan pernyataan Menag pada konteksnya, maka kita akan dapat memahami bahwa Menag sama sekali tidak membandingkan atau menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. Kita harus mampu mengambil “illat (intisari penyebab)”nya, yakni suasana mengganggu ketentraman. 

Menag sebagai seorang muslim tidak akan mungkin merendahkan derajat azan dengan suara anjing. Hanya, Gus Menteri memberikan ilustrasi suara yang berpeluang besar mengganggu seorang Muslim, yakni suara anjing. Bagi pecinta anjing, suara hewan piaraannya sama sekali tidak mengganggu, justru menunjukkan bahwa anjingnya sedang siaga menjaga rumahnya. 

Begitu pula azan, bagi seorang muslim pasti ini adalah panggilan Tuhan sebagai pertanda masuk waktu salat. Namun, bagi non-Muslim, pastinya mereka tidak berkepentingan dengan azan karena mereka tidak wajib salat sehingga berpotensi mengganggu mereka.  Di sinilah titik tekan utama Menag, yakni menjaga kerukunan dan keharmonisan bermasyarakat. Menag menginginkan adanya moderasi beragama dan menjaga toleransi antar umat beragama. 

Dengan mendudukkan masalah pada tempatnya, tentu kita tidak perlu gaduh dan menuduh Menag sesuka hati kita apalagi ikut-ikutan meminta Menag Mundur. Kita perlu arif bijaksana dalam bersikap agar kehidupan kita tetap tenteram dan harmonis. semoga.