Mitos dan Simbol dalam Tradisi

Mitos dan Simbol dalam Tradisi

Setelah memperhatikan berbagai tradisi, yang muncul pertanyaannya kemudian ialah mengapa mitos-mitos tersebut masih bertahan dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia yang sudah terkenal religius? Mengapa masyarakat Indonesia dengan sengaja mempertahankan mitos-mitos tersebut dalam kehidupan berkeluarga? Menjawab hal itu, saya sepakat dengan Nursyam yang berpandangan bahwa pada dasarnya ada dua tindakan yang ditampilkan dalam proses penyesuaian tindakan individu dengan nilai tradisi lama, yaitu penerimaan dan penolakan. Penerimaan terhadap nilai dalam tradisi lama biasanya berwujud dalam tindakan partisipatif dalam berbagai upacara adat yang dilakukan di berbagai ruang budaya. Banyaknya keterlibatan warga masyarakat dalam suatu upacara adat cukup membuktikan bahwa masyarakat menerima terhadap pelestarian tradisi lama.

Namun demikian, ada juga sebagian warga masyarakat yang menolak terhadap pelestarian nilai dalam tradisi lama. Penolakan itu juga berbasis pada teks-teks suci berdasarkan cara pandang mereka. Penolakan tersebut berwujud bahasa dan tindakan. Selain itu juga berupa percobaan melanggar sebagai sarana untuk membuktikan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut tidaklah benar adanya. Kepercayaan itu hanyalah mitos-mitos yang dilestarikan.[1]

Dalam pelaksanaan, perkawinan biasanya tidak lepas dari kultur sosial dan mitos masyarakat yang terkadang masih dilestarikan. Setiap daerah, sebagaimana yang kita lihat pada bab sebelum ini, masih memiliki tradisi dan adat istiadat perkawinan yang masih hidup hingga kini. Pada umumnya pelaksanaan upacara perkawinan adat setempat berkaitan dengan susunan masyarakat atau kerabat yang masih dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan dan bagaimanapun lembaga atau pranata pernikahan tetap diakui oleh hampir semua masyarakat Indonesia.[2]

Terkait dengan realitas masyarakat Indonesia, kepercayaan dalam tradisi dan adat perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup, tetapi juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapatkan perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dan dari arwah-arwah inilah, kedua belah pihak beserta seluruh keluarganya mengharapkan restu bagi kedua mempelai. Oleh karena itu, perkawinan dalam hampir semua tradisi di Indoensia mempunyai arti yang demikian penting sehingga pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan upacara lengkap dengan sesajen-sesajenan.[3] Pelaksanaan ritual dan tradisi tersebut merupakan simbol-simbol yang mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat tertentu.

Simbol, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai lambang, sedangkan simbolisme diartikan dengan perihal pemakaian simbol (lambang) untuk mengekspresikan ide-ide (masalah, sastra dan seni).[4] Secara terminologis, sebagaimana dikatakan oleh Leach, simbol merupakan penyampaian makna dalam sebuah kombinasi. Leach berpegangan bahwa “kode-kode” dalam berbagai budaya mempunyai potensi untuk “mentrasformasikan” kode-kode lainnya, menunjukkan pesan yang sama agar dapat menguraikan pesan dari bentuk-bentuk budaya dan “menetapkan apa makna yang termuat dalam adat kebiasaan.”

Berbeda dengan Leach, Cassier memandang bahwa antara tanda dan simbol memiliki dua dunia wacana yang berbeda. Tanda terdapat dalam dunia ada yang bersifat fisik. Ia sebagai “operator” yang didalamnya terdapat hubungan “intrinsik” atau “natural” antara tanda dengan apa yang ditandai. Simbol merupakan “artifisial”, “penunjuk” dan termasuk dalam dunia makna manusia. Dalam pengertian ini, pengetahuan manusia pada dasarnya adalah simbolik. Penting diperhatikan bahwa dalam pernyataan Leach adalah gagasan bahwa simbol tidak dapat dipahami secara terpisah dan tidak ada simbolisme universal, meskipun mungkin ada beberapa tema simbolik umum. Setiap simbol selalu punya potensi polisemi. Ia memiliki makna hanya ketika dipertentangkan dengan simbol-simbol lainnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.[5]

Dalam setiap upacara yang diselenggarakan, akan tampak adanya sesuatu yang dianggap sakral, suci atau sacred, yang berbeda dengan yang alami, empiris atau yang profan. Dalam sistem keyakinan mereka bahwa pemberian kepada kekuatan gaib harus berbeda dengan pemberian terhadap yang lain. Jadi mereka tidak asal memberi tetapi berangkat dari sistem kognitif yang telah diperoleh dari para pendahulunya.[6]

Saya kira dalam kehidupan masyarakat beragama, makna simbol-simbol agama yang digunakan dalam kehidupan dan tradisi masyarakat tidak selalu sama dengan apa yang dimaksudkan oleh agamanya, sebab penggunaan simbol terkadang hanya merupakan klaim dan dakwakan yang tidak seluhur apa yang dimaksudkan oleh agamanya. Penggunaan simbol-simbol agama dalam sebuah tradisi tak jarang menghipnotis masyarakat yang tidak menyadari dan tidak memahami makna dari simbol yang digunakannya.

Dengan pandangan tersebut, saya setuju dengan Levi-Strauss yang berpandangan bahwa di seluruh dunia manusia menghadapi masalah intelektual berupa kontradiksi dalam eksistensinya, seperti masalah hidup dan mati, sifat ganda, dikotomi jiwa dan raga, dan kontradiksi yang meliputi keturunannya. Begitupun, mitos juga digunakan secara terus-menerus untuk mengolah kontradiksi dengan mengaturnya dalam simbol.[7]

Oleh karenanya, saya melihat bahwa penggunaan simbol-simbol dalam hampir setiap tradisi yang saya pelajari dapat menimbulkan berbagai ragam makna dan mungkin berubah makna dan simbol yang digunakannya sesuai dengan perubahan dan perkembangan intelektualitas masyarakatnya. Hal ini setidaknya kita lihat dalam tradisi-tradisi pertunangan masyarakat Madura dan Jawa yang sudah disajikan pada bagian sebelum ini.

Perubahan Mitos dalam Perkembangan Masyarakat

Sekalipun mitos berfungsi sedemikian kuatnya dalam pembentukan kekuatan dan ketahanan komunitas tertentu, sebagaimana dijelaskan pada bagian pertama, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, masyarakat Madura masa kini, sebagaimana hasil temuan Helman Fajry, dalam menanggapi mitos terbagi pada tiga kategori atau golongan.[8] Pertama, masyarakat memahami bahwa mitos merupakan keyakinan yang harus dipertahankan karena sudah menjadi keyakinan yang diwariskan secara turun-temurun. Pelanggaran terhadap mitos akan menjadi bahan pergunjingan masyarakat, bahkan dapat menurunkan atau menjatuhkan harkat dan martabat keluarga sang pelanggar mitos, karena dianggap sebagai sikap ketidakpatuhan terhadap  warisan nenek moyang.

Kedua, sebagian masyarakat bersifat ambigu, antara percaya dan tidak terhadap mitos. Dalam kondisi seperti itu, mitos dalam kehidupan masyarakat menjadi semacam tahayyul, namun bawah sadarnya memberitahukan tentang adanya suatu kekuatan yang menguasai dirinya serta alam lingkungannya. Bawah sadar inilah yang kemudian menimbulkan rekaan-rekaan dalam pikiran, yang lambat laun berubah menjadi kepercayaan. Kondisi ini, biasanya dibarengi dengan rasa ketakjuban, ketakutan, atau kedua-duanya, yang pada akhirnya melahirkan sikap pemujaan atau kultus.

Ketiga, masyarakat yang tidak percaya, bahkan tidak meyakini sama sekali terhadap mitos. Kelompok ketiga ini adalah kelompok santri yang sudah tercerahkan melalui dakwah-dakwah dan pendidikan agama. Dalam hal ini, mereka berpandangan bahwa sebuah mitos boleh dilarang selama bukan menjadi larangan agama. Mitos hanya dianggap sebagai cerita orang-orang dulu yang tidak dapat dipercaya, sebab semua yang ada di dunia ini hanya dapat ditentukan oleh Tuhan.

Sekalipun demikian, dalam menanggapi realitas mitos, para kyai memberikan hukum yang berbeda-beda. KH. Mudastsir Sahlan, salah seorang Pengasuh di sebuah Pondok Pesantren  di Blumbungan, menjelaskan bahwa perkawinan yang dilarang berdasrkan atas mitos, seperti Salēp Tarjhâ, tidak di dapatkan hukumnya di dalam kitab-kitab fiqh. Salēp Tarjhâ hanyalah adat orang-orang dulu, tidak satupun ulama salafus sholeh yang melarangnya. Jadi, istilah Salēp Tarjhâ itu bisa mendatangkan bencana dan musibah hanyalah sebuah mitos yang tidak boleh dipercayai, apalagi diyakini, sebab orang yang percaya terhadap mitos-mitos seperi ini bisa menyebabkan murtad i’tiqodi.

Senada dengan pandangan tersebut, KH. Ahmad Makmun berpandangan bahwa larangan Salēp Tarjhâ sama sekali tidak berdasarkan atas kaedah-kaedah fiqhiyyah yang benar. Selengkapnya Kyai Makmun mengatakan:

“Istilah Salēp Tarjhâ ka’dhinto sobung sakale pembahasanna e dhelem ketab-ketab fiqih, selama den gule maos ketab-ketab fiqih syafi’iyah, den guleh ta’ pernah manggii pembahasan se menyangkut ta’ e olle agina kabin a kadiye Salēp Tarjhâ ka’ dhinto, enggi den guleh ta’ pernah manggii. Daddhi istilana namong coma kalam se sobung ong-naongna, kalam se tadhe’ hokomma maksotthe. Mila dhari ka’dhinto bennya’ para ulama’, para alim, para keyae se a lakone, enggi para ulama’ ka’dhinto ngalakone  minangka a berri’ contoh, a bukteagina dhe’ ka masyarakat je’ reng mitos ka’dhinto ta’ kengeng e kaparcaje, masalana manabi parcaje dhe’ ka mitos-mitos a kadiye mitosse Salēp Tarjhâ ka’dhinto, rejekkena mlarat, e ka duli sobung omor ban cem-semacemma, ka’dhinto bisa a rosak agi dhe’ ka aqidah.”

 

“Istilah Salēp Tarjhâ itu tidak ada sama sekali pembahasannya di dalam kitab-kitab fiqh, selama saya membaca kitab-kitab fiqh syafi’iyah, saya belum pernah menemukan/mendapati pembahasan menyangkut dilarangnya perkawinan Salēp Tarjhâ, iya saya belum pernah menemukan. Jadi, istilahnya hanya sekedar kalam atau perkataan yang tidak ada hukumnya di dalam kitab-kitab. Oleh karena itu, para ulama, para alim, para kiai (keyae) banyak yang melakukan perkawinan Salēp Tarjhâ ini dalam rangka memberikan contoh dan membuktikan kepada masyarakat bahwa mitos itu tidak boleh dipercayai, sebab apabila percaya terhadap mitos-mitos seperti mitos Salēp Tarjhâ tersebut, rezekinya melarat/sulit, cepat meninggal dunia dan lain sebagainya, maka hal ini bisa merusak terhadap akidah.”

 

Kyai Mahalli, salah seorang tokoh agama pembina TK Al-Qur’an dan madrasah Ibtidaiyah (MI) di Desa Blumbungan, berpendapat senada dengan kedua tokoh tersebut dimana dia menyatakan bahwa di dalam kitab-kitab fiqh tidak pernah ditemukan Salēp Tarjhâ, sebab istilah Salēp Tarjhâ hanya perkataan nenek moyang yang tidak ada ketentuan dan penjelasannya di dalam kitab-kitab fiqh. Perkawinan Salēp Tarjhâ, katanya lebih lanjut, berdasarkan ketentuan hukum Islam boleh dan tidak dilarang.

Kyai Maimun, salah seorang guru agama yang cukup disegani, memandang bahwa persoalan Salēp Tarjhâ sebenarnya tidak ada masalah walaupun dilanggar sebab tidak ada satupun ketentuan yang melarangnya, justru para kiai (keyae) banyak yang melakukan dan tidak ada menemukan masalah. Maksudnya, begitu katanya lebih lanjut, mitos yang mengatakan bahwa pelaku Salēp Tarjhâ rezekinya akan sulit, meninggal dunia dan sebagainya, tidak terbukti. Jadi, begitu dia menyimpulkan, Salēp Tarjhâ hanya lah perkataan yang tidak boleh dipercayai.

Berdasarkan atas keyakinan dan pandangan yang berbeda antara tokoh agama dan tokoh adat masyarakat, kejadian di balik pelanggaran mitos perkawinan Salēp Tarjhâ, seperti musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya, kemiskinan, terkena penyakit yang berkepanjangan atau bahkan meninggal dunia, juga dipahami secara berbeda. H. Abu Bakar alias Tono mengatakan bahwa realitas di kalangan masyarakat yang melanggar mitos tersebut memang tidak terdapat dalam kitab-kitab fiqh atau doktrin agama. Akan tetapi, begitu menurutnya lebih lanjut, ca’-oca’enna reng lamba’ ta’ tao apa maksotthe, se penting kala sala sittongga dhe’iye, ye la ka-sokanna pangiran roah pola. Tape je’ reng oca’en reng lamba’en a reah teppa.[9]

Sama dengan pandangan tersebut, Ris alias Nikrah mengatakan bahwa Salēp Tarjhâ yang melarang adalah orang tua. Setiap akan melakukan perkawinan, orang-orang tua selalu mengingatkan: hati-hati takut melanggar Salēp Tarjhâ”. Pesan itu, katanya mengakibatkan munculnya rasa takut, was was, yang mengakibatkan kita pun hati-hati, sebab nasehatthe reng toah mon e rompak (e langgar) na’poto daddhi mang-mang, tako’ oreng toah nolae.[10]

Musahrih mempunyai pandangan yang tidak berbeda dengan duya tokoh adat tersebut dengan memberikan argumentasi bahwa Salēp Tarjhâ memang mendatangkan bahaya, membahayakan bagi anak-anaknya, membahayakan harta benda/rezekinya. Contohnya, katanya lebih lanjut, kasus H. Risun yang menurut penilaian masyarakat dia meninggal dunia karena anaknya melakukan perkawinan Salēp Tarjhâ. Setelah H. Risun meninggal dunia, katanya, besannya berkata: “meninggalnya H. Risun itu disebabkan karena dia melanggar perkawinan Salēp Tarjhâ, sebentar lagi saya akan meninggal dunia juga.” Jelang beberapa waktu lamanya, besan H. Risun ini benar-benar meninggal dunia. Oleh sebab itu, bagi orang yang tetap melakukan perkawinan Salēp Tarjhâ, kalau ingin selamat dari mara bahaya, dia harus mengadakan selamatan atau do’a bersama dengan cara mengundang famili-famili dan para tetangga, kemudian dibacakan kepadanya surat munjiyat.

Berbeda dengan temuan Fajry tentang tanggapan masyarakat terhadap mitos pertunangan, Ijmaliyah[11] justeru menemukan realitas masyarakat Ringinrejo yang berupaya untuk mempertahankan mitos sekalipun telah mendapatkan pencerahan agama dan pendidikan, bahkan terkesan berlebih-lebihan. Realitas ini terlihat dalam fenomena perilaku masyarakat yang melakukan ritual dengan meletakkan sesajen di pinggir perempatan jalan, atau tempat-tempat lain, untuk meminta keselamatan desa dan mengusir roh-roh halus yang jahat. Ritual peletakan sesajen yang berisikan telur, ikan, uang logam, kue dan pisang, biasa dilakukan menjelang acara hajatan kemanten, yang diletakkan diperempatan jalan dan sound system. Sekalipun diyakini masa lalu nenek moyang mereka tidak menggunakan sound system dalam melaksanakan hajat, tetapi setiap pelaksanaan hajatan kemanten tetap diadakan ritual peletakan sesajen di sound system, mungkin sebagai pengganti dari meletakkannya di bawah kayu-kayu besar yang sekarang sudah tidak ada lagi (?).

Keyakinan seperti ini tetap dipertahankan oleh masyarakat Ringinrejo, menurut Pak Mukani, salah seorang sesepuh desa Ringinrejo, sebab hal tersebut berhubungan dengan konsep nenek moyang masyarakat Ringinrejo. Setiap terjadi pelanggaran terhadap keyakinan masyarakat, maka sang pelanggar dan semua keluarganya akan menerima akibatnya sendiri dan dipersalahkan oleh semua orang. Oleh sebab itu, Pamuji Ali menimpali, setiap mau melakukan hajatan perkawinan atau kegiatan desa, maka selalu diadakan ikhtiar sebelum melakukan do’a pada Allah swt., yaitu meminta penjelasan dari orang-orang yang ahli agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Yamin Nurdin juga menegaskan hal yang sama bahwa mitos pelarangan terhadap calon pasangan yang sudah ditentukan oleh tradisi dan adat istiadat Ringinrejo merupakan kebenaran yang harus dipertahankan da dilestarika. Oleh sebeb itu, kata Nurdin, 90 % masyarakat di sini percaya dan terus berusaha menceritakan pada anak-anaknya untuk melestarikan keyakinan itu agar mendapatkan ketentangan, kedamaian dan keselamatan.

Sekalipun keyakinan terhadap mitos tersebut mempunyai pengecualian (eksepsi) bagi mereka yang terpaksa melakukan pelanggaran dengan jalan melaksanakan ritual tulak bala’, namun realitas keluarga yang melanggar tetap menunjukkan pada kebenaran mitos tersebut. Hal ini diakui oleh Pamuji Ali dan Aisyah yang sudah melaksanakan ritual tulak bala’ tetapi tetap saja mengalami kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, seperti diterpa penyakit yang kunjung sembuh bahkan hingga pada kematian. Kejadian-kejadian ini kemudian dihubung-hubungkan oleh masyarakat untuk menunjukkan bahwa eksepsi sama sekali tidak memberikan pengaruh terhadap kebenaran keyakinanterhadap mitos.

Dari berbagai penjelasan di atas, perbedaan yang terdapat dalam doktrin agama dengan realitas tradisi pertunangan masyarakat Jawa dapat disajikan dalam tabel berikut:

No

Jenis Perilaku

Realitas Tradisi

Doktrin Agama

1

Pemilihan Calon

1.     Mitos Ngelangkah Aratan, yakni suatu perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berseberangan jalan

2.     Larangan perkawinan antara dua orang yang asal daerahnya memiliki awalan huruf yang sama.

3.     Larangan menikah dengan orang yang sudah meninggal salah satu orang tuanya.

4.     Larangan menikah dengan orang yang saudaranya sudah pernah menikah dengan seseorang di desa yang sama.

5.     Larangan menikah dengan seseorang yang saudaranya sudah menikah dengan tetangganya.

1.       Penentuan sekufu’ dalam agama ditentukan berdasarkan atas, harta, nasab, wajah, dan agama, bukan ditentukan oleh lokasi atau tempat.

 

2.       Larangan perjodohan dikarenakan hubungan senasab atau sesusuan, bukan atas keyakinan dan mitos.

2

Penentu pilihan

Orang Tua

Orang Tua dan Anak

3

Ritual

Slametan dengan sesajen

Syukuran

4

Waktu

Larangan berdasarkan hari geblake orang tua dan galengan taon.

Bulan-bulan baik

5

Sanksi

Gunjingan dan saksi moral

Adzab akhirat


[1]Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 252.

[2]Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 53.

[3]Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan  Asas-asas Hukum Adat (Jakarta: PT Gunung Agung, 1967),122

[4]Departermen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 959.

[5]Brian Morris, Antropologi Agama (Yogyakarta: AK Group, 2003), 272, 276, dan 278

[6]Nur Syam, Op. Cit., 245 dan 247

[7]Baca Roger M. Keesing, “Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective”, diterjemahkan R.G. Soekadijo, Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 109.

[8]Helman Fajry, Salēp Tarjhâ: Antara Realitas, Normatifitas, Dan Mitos, Skripsi (Malang: Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2007).

[9]Cuma kata orang-orang dulu (nenek moyang), saya tidak tahu apa maksudnya, yang penting mesti “kalah” salah satunya begitu, ya itu mungkin sudah kehendak tuhan. Tapi, apa yang dikatakan orang-orang dulu itu benar.

[10]Apabila nasehat orang tua itu di langgar khawatir bisa mendatangkan bala’.

[11]Selengkapnya baca Ijmaliyah, “Mitos Segoro Getih”  Sebagai Larangan Penentuan Calon Suami Atau Istri di Masyarakat Ringinrejo Kediri” (Studi Akulturasi Mitos dan Syari’at),” Skripsi (Malang: Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2006).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *