Kondisi Geografis dan Struktur Masyarakat Arab

Kondisi Geografis dan Struktur Masyarakat Arab

Jazirah Arab merupakan sebuah semenanjung, luasnya hampir mencapai 3000 Km2, yang terletak di Barat Daya Asia. Semenanjung ini berbatasan dengan Teluk Oman dan Teluk Persi (Teluk Arab) di sebelah Timur, Laut Merah di sebelah Barat, Lautan India di sebelah Selatan, Irak dan Syiria di sebelah Utara. Meskipun daerah ini bisa dihitung sebagai daerah yang dikelilingi laut, namun daerahnya hampir 5/6 merupakan padang pasir atau sahara yang tandus dan luas seakan tak terbatas serta tidak tampak ada tumbuh-tumbuhan yang rindang di kebanyakan daerah ini.[1] Di tempat ini juga sangat jarang mendapatkan curah hujan yang mengakibatkan iklimnya menjadi salah satu negeri terkering dan terpanas di dunia. Bahkan, sungai-sungai yang berada di daerah ini sering mengalami kekeringan dan hanya tanpak digenangi air ketika musim hujan.[2] Dalam kondisi geografis yang seperti itu, masyarakat daerah ini tanpak miskin dan sering terjadi saling merampas harta, bahkan mereka membunuh anaknya sendiri karena takut miskin. Hal ini nantinya yang direformasi al-Qur’an dengan memberikan peraturan larangan perampasan terhadap harta orang dengan jalan yang tidak benar dan larangan membunuh anak karena merasa hawatir akan kemiskinan.[3]

Dalam pembentukan keluarga, bangsa Arab mengikuti dua model perkawinan, perkawinan Ba’al dan Shadiqah. Perkawinan Ba’al adalah perkawinan yg didasari kepada dua model perkawinan, hasil penangkapan dan persetujuan antara pihak laki-laki dan perempuan. Dalam perkawinan model ini perempuan dan anaknya dikuasai oleh klein laki-laki setelah pembayaran mahar, yang maksudnya sebagai uang pembelian atau pengganti, kepada keluarga (wali) perempuan.

Perkawinan Shadiqah adalah perkawinan yang didasari pada kesepakatan pihak laki-laki dan perempuan. Dalam model ini ada yang disebut dengan perkawinan Benna dan Mut’ah. Dalam perkawinan Benna perempuan tetap menjadi kliennya sendiri, sehingga perempuan mempunyai “kemerdekaan” dan kebebasan di bawah perlindungan laki-laki dari kliennya sendiri.[4] Pada masa awal Islam, beberapa model perkawinan Arab pra Islam ini masih dipertahankan, seperti perkawinan melalui penangkapan perang dan kawin mut’ah.[5] Akan tetapi, model-model perkawinan yang dianggap tidak bisa membentuk tatanan sosial yang solid tidak lagi diberlakukan dalam masyarakat Islam. Oleh karenanya, semua bentuk perkawaninan Arab tradisional tidak ada lagi dilaksanakan dalam masyarakat Islam, kecuali model perkawinan ba’al.[6]

Adapun bangunan struktur masyarakat bangsa Arab didasari dengan pembentukan klein, dimana klein tersebut terbentuk dari keluarga-keluarga yang hidup di tenda-tenda. Satu perkemahan dari tenda-tenda tersebut membetuk sebuah komunitas yang mereka sebut dengan hayy, dimana anggota-anggota hayy kemudian membentuk sebuah suku (qawm). Sejumlah gabungan dari qawm  selanjutnya hidup berlompok dan membentuk satu kabilah. Dari kabilah-kabilah lahir sebuah komunitas masyarakat yang mereka sebut dengan banu yang mayoritasnya diambil dari jalur laki-laki, [7] hanya sebagian yang sangat kecil dari masyarakat Arab yang diasumsikan mengambil dari jalur perempuan (matrilineal).[8]

Sekalipun sulit menemukan bukti sejarah yang dapat mendukung asumsi ini, cara penulisan biografi pra dan masa awal Islam cukup menjadi bukti kuat bahwa bangsa Arab pernah mengikuti matrilineal. Misalnya, penyebutan ibu dalam sistim penulisan silsilah dalam perkawinan Arab pra Islam,[9] cara penulisan biografi yang terkadang ditulis juga dari jalur ibu,[10] dan cara penyebutan keluarga Nabi yang menyebut-nyebut nama perempuan dari jalur ibu dan bibinya.[11]

 Lebih dari itu, ahlul bayt dalam doktrin Ahlissunnah wal Jama’ah dan terutama Syi’ah hanya diambil dari jalur keturunan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah bint Rasulillah, bukan dari katurunan Ali yang lain. Artinya, yang dimaksud dengan ahlul bayt sesungguhnya adalah keturunan Rasulullah dari jalur Fatimah. Karena pandangan ini, Rooded menyebutnya dengan sindrom Fatimah.[12]

Perlu dicatat, pengambilan sebagian jalur ibu yang disebutkan tadi, sama sekali tidak menunjukkan adanya sumber perasaan kekeluargaan dari jalur perempuan dan penghormatan pada perempuan, karena sumber utama perasaan kekeluargaan Arab hingga masa awal Islam tersebut tetap berpegang pada relasi peternal, sebagaimana kebanyakan masyarakat agresif lainnya. Sedangkan penghormatan kepada perempuan, yang sebagiannya tercermin dalam beberapa sastra Arab, merupakan ekspresi maternitas (sifat keibuan), dimana perempuan dihormati apabila ia telah menjadi seorang ibu.[13]

Reformasi Islam pada bangsa Arab ketika itu sudah dapat merekonstruksi tatanan sosial yang jauh lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya dimana perempuan sama sekali tidak mendapatkan posisi terhormat. Bahkan, al-Qur’an mengabadikan bangsa Arab yang tidak senang dengan kehadiran anak perempuannya[14] dan tidak sedikit dari perempuan-perempuan Arab yang kemudian menjadi hak waris bagi anak laki-lakinya sendiri yang sulung.[15] Lebih dari itu, perempuan daerah diperlakukan  layaknya barang yang diperdagangkan, diwariskan pada anak-anaknya dan tidak mempunyai hak waris, dimiliki oleh keluarganya dan tidak mempunyai hak untuk memiliki apapun[16]


[1]Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Cet. XI; Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, 1975),  1-2.

[2]Philip K. Hiiti, History of the Arabas, Edisi X (London: The Macmillan Press Ltd., 1974),  15.

[3]Baca QS. al-An’am: 140 dan 151, QS al-Isra’: 31.

[4]Lihat selanjutnya dalam W. Robert Smith, Kinship and Martriage in Early Arabia (Boston: Blacon Press, t.th.),  92-95; Lihat juga Lamya’ al-Faruqi, “Women, Muslim Society and Islam”, diterjemahkan Masyhur Abadi dengan judul, Ailah: Masa depan Kaum Wanita (Model Masyarakat Ideal Tawaran Islam: Studi Kasus Amerika dan masyarakat Modern (Cet. I; Surabaya: Alfikr, 1997),  44-45; dimana ia menyebutkan model perkawinan Shadiqah dengan istilah endogami dan exogami. Model perkawinan seperti ini, katanya, sudah jarang ditemukan menjelang kelahiran Islam.

[5]R. Leivy, The Social Structure of Islam, Edisi II (Cet. I; Cambridge: The University Press, 1965),  92-95; sebagian masyarakat Islam masih mempertahankan perkawinan mut’ah dengan beberapa syarat dan ketentuan yang sangat ketat. Lihat Asaf A.A. Fyzee, Out Lines of Muhammadan Law (London: Oxford University Press, 1955),  99-101.

[6]Sekalipun model perkawinan ba’al ini dipertahankan, akan tetapi tetap adsa beberapa hal yang mengalami pelurusan dan penyempurnaan, seperti penentuan hak pilihan pada perempuan, memutuskan kontrak (fasakh/talak). Baca Sa’id Ramadhan, Three Major Problems Confronting the World of Islam (Genewa: Islamic Center, 1961),  10.

[7]Philip K. Hiiti, op. cit.,  26; Lihat juga Ahmad Amin, op. cit.,  4-8; Pada masa Islam penyebutan nama ibu ini juga masih dipergunakan oleh beberapa komunitas Arab, seperti Zaynabiyyun yang dipergunakan untuk keturunan Zainab bin Sulayman al-Hasyimiy dengan Ibrahim bin Muhammad al-Imam. Lihat Ernest Gellner, Saints of the Atlas (Chicago: University of Chicago Press, 1969),  37-38.

[8]Ruth Rooded, “Woman in Biographical Collection: From Ibn Sa’ad to Who’s Who”, diterjemahkan Ilyas Hasan dengan judul Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995),   49.

[9]Gertrade Sterm, Marriedge in Early Islam (London: Royal Asiatic Society, 1939),  174.

[10]Lihat Muhammad Ibn Sa’ad, Tabaqat al-Kubra, jilid VIII (Bairut: Dãr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.),  255.

[11]Lihat Ali Ja’far Muhammad al-Tabariy, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid II (Cet. I; Bairut: Dãr al-Fikr, 1987),  327 dst; Ali al-Fida’, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid I, Juz II (Bairut: Dãr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.),  235 dst.

[12]Ruth Rooded, op. cit.,  51; Istilah sindrom yang digunakan Rooded disini dipahami sebagai “Any Set of Opinions, events, actions, etc. that are cvaracteristic of a particular condition” sebagaimana diartikan AP. Cowie (Ed.), Oxford: Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Edisi IV (Cet. XI: Oxford: Oxford University Press, 1994),  1306.

[13]DS. Margoliuth, Jurji Zaidan’s History of Islamic Civilization (New Delhi: Kitab Bahvan, 1978),  7.

[14]QS. al-Nahl (16):58-59.

[15]QS al-Nisa’ (4):22;

[16]Muhammad Rasyid Ridla, al-Wahy al-Muhammadiy (t.t.: al-Maktabah al-Islamiy, t.th.),  319.

Anjuran Pendalaman Buku Bacaan

Ahmad, Barakah (1979) Muhammad and Jews. New Delhi: Vikas Publishing House.

Ali, Syed Ameer (1981) Short History of Saracens. Cet. III; New Delhi: Kitab Bhavan.

Amin, Ahmad (1975) Fajr al-Islam. Cet. XI; Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah.

Ananiy, Ahmad Iskandariyah dan Mushtafa (1978) al-Wasit fi al-Adab al-‘Arabiy wa Tarikh. Mesir: Dar al-Ma’arif.

Apter, David E. (1969) The Politics of Modernization. Chicago: The University of Chicago Press.

Brockelman, Carl (ed.) (1980) History of the Islamic Peoples. London: Routledge & Kegan Paul.

Cowie, AP. (ed.) (1994) Oxford: Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Edisi IV. Cet. XI: Oxford: Oxford University Press.

al-Faruqi, Lamya’ (1997) “Women, Muslim Society and Islam”, diterjemahkan Masyhur Abadi dengan judul, Ailah: Masa depan Kaum Wanita (Model Masyarakat Ideal Tawaran Islam: Studi Kasus Amerika dan masyarakat Modern. Cet. I; Surabaya: Alfikr.

al-Fida’, Ali (t.th.) al-Bidayah wa al-Nihayah. Jilid I. Juz II. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Fyzee, Asaf A.A. (1955) Out Lines of Muhammadan Law. London: Oxford University Press.

Gellner, Ernest (1969) Saints of the Atlas. Chicago: University of Chicago Press.

Guillaume, Afred (1956) Islam. England: Penguin Books.

Haekal, Muhammad Husain (1990)  “Hayat Muhammad”, diterjemah Ali Audah dengan judul Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera Antarnusa.

Hasan, Hasan Ibrahim (1979) Tarikh al-Islam. Jilid I. Kairo: al-Matba’ah al-Nahdlah al-Mishriyah.

Hiiti, Philip K. (1974) History of the Arabas. Edisi X. London: The Macmillan Press Ltd.

Lapidus’, Ira Marvin (1975) A History of Islamic Society. Cet. XI; t.t.:t.p.

Leivy, R. (1965) The Social Structure of Islam. Edisi II. Cet. I; Cambridge: The University Press.

Margoliuth, DS. (1978) Jurji Zaidan’s History of Islamic Civilization. New Delhi: Kitab Bahvan.

Pulungan, J. Suyuthi (1996) Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ramadhan, Sa’id (1961) Three Major Problems Confronting the World of Islam. Genewa: Islamic Center.

Ridla, Muhammad Rasyid (t.th.) al-Wahy al-Muhammadiy. t.t.: al-Maktabah al-Islamiy.

Rooded, Ruth (1995) “Woman in Biographical Collection: From Ibn Sa’ad to Who’s Who”, diterjemahkan Ilyas Hasan dengan judul Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim. Cet. I; Bandung: Mizan.

Sa’ad, Muhammad Ibn (t.th.) Tabaqat al-Kubra. Jilid VIII. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Smith, W. Robert (t.th.) Kinship and Martriage in Early Arabia. Boston: Blacon Press.

Sterm, Gertrade (1939) Marriedge in Early Islam. London: Royal Asiatic Society.

al-Syibaniy, Izz al-Din Abi Hasyim Aliy bin Abi al-Karam Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd al-Karim bin ‘Abd al-Wahid (t.th.) al-Kamil fi al-Tarikh. Jilid I. Bairut: Dar al-Fikr.

al-Thabariy, Ali Ja’far Muhammad (1987) Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Jilid II. Cet. I; Bairut: Dãr al-Fikr.

Watt, Willam Montgomery (1953) Muhammad at Mecca. London: Oxford University Press.

———– (1969) Muhammad: Prophet and Stateman. London: Oxford University Press.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *