PENCUCIAN UANG NASABAH PREMIUM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM SYARIAH

PENCUCIAN UANG NASABAH PREMIUM

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM SYARIAH

Oleh : Chairul Lutfi

 

Tindakan bank indonsesia (BI) untuk membekukan (suspense) layanan premium Citigold setahun terhadap 23 bank yang menerima layanan nasabah prima selama sebulan masih menyisakan banyak problem internal bank. Tujuan bank Indonesia untuk memberikan kesempatan pada pihak perbankan yang ada adalah untuk memperbaiki sitem pelayanan private banking dari penerapan wealth management atau pengelolaan kekayaan di Indonesia masih sangat terbuka kepada para nasabah untuk mengembangkan asset yang dimilikinya dalam jangka panjang.

 

Sehingga proses sanksi yang diterpakan oleh bank Indonesia yang disebabkan kasus pencucian yang terjadi pada Citibank dengan pelaku Melinda Dee, berdampak keseluruhan pada bank yang ada. Kasus pencucian uang (money laundering) yang banyak dilakukan oleh para pelaku di tujukan pada nasabah yang memiliki dan yang besar. Untuk menerima pelayanan private banking dari program bisnis wealth management di Indonesia minimal nasabah memiliki uang Rp.500 juta. Dan dari jumlah bank yang menerapkan system tersebut masih belum ada standart pelayan dan pengawan yang maksimal dan berakibat pada maraknya kasus pencucian uang (money laundering).

 

Perspektif Hukum Positif

 

Kasus pencucian uang (money laundering) yaitu  proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan penyitaan. Dikaburkan asal usulnya oleh si pelaku, sehingga kemudian seolah-olah muncul uang yang sah atau yang halal. Pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang sering dibicarakan dewasa ini, sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan negara.

 

Pencucian uang (money laundering) melanggar  undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian diubah dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003. Dalam UU tersebut pada pasal 3, ancaman pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda minimal 5 milyar dan maksimal 15 milyar rupiah.

 

Perspektif Hukum Syariah

Praktik money laundering merupakan perbuatan yang nyata sekali unsur mafasid dan dlarar-nya, sebab tindakan tersebut bersumber dan beroreintasi pada upaya melegalkan serta mengembangkan berbagai macam kejahatan yang tentu bersifat destruktif secara sosial baik fisik maupun non-fisik. Oleh karena itu, pandangan Islam tentang kebijakan pelarangan terhadap perbuatan pencucian money laundering sangat bertentangan dengan hukum Islam.

 

Hukum pidana Islam secara eksplisit tidak pernah menyebutkan pelarangan perbuatan pencucian uang. Secara umum, ajaran Islam mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara yang bathil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri. Namun, berangkat dari kenyataan yang meresahkan, membahayakan, dan merusak, maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa kejahatan ini bisa diklasifikasikan sebagai jarimah ta’zier.

 

Jarimah ta’zir adalah perbuatan maksiat yakni meninggalkan perintah yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan, di mana perbuatan itu dikenakan hukuman had maupun kifarat. Maka, tindak pidana pencucian uang masuk dalam kategori jarimah ta’zir. Kejahatan model ini merupakan suatu penyalahgunaan kewenangan (publik) untuk kepentingan pribadi yang merugikan kepentingan umum. Sebab uang adalah benda, dan benda tidak dapat disifati/dihukumi dengan halal atau haram, yang dapat disifati/dihukumi halal atau haram adalah perbuatan (perilaku) manusia.

 

Pencucian uang merupakan perbuatan yang tercela dan dapat merusak, membahayakan, dan merugikan kepentingan umum. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan hukum Islam. Para pelaku kejahatan pencucian uang membawa luka dan mengganggu ketertiban, kedamaian serta ketentraman hajat hidup orang banyak, hal inilah yang dikatakan sebagai jarimah ta’zir.  Di samping itu, money laundering juga mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi, timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi, hilangnya pendapatan negara, menimbulkan rusaknya reputasi negara, dan menimbulkan biaya sosial yang tinggi. Akibat yang ditimbulkannya pun sangat besar terhadap kehidupan manusia.

 

Dalam kajian sumber penggalian hukum pada al qur’an dan as sunnah sudah jelas bahwa pencucian uang melanggar syariat islam dan mengandung kedholiman. Dengan demikian, pemidanaan terhadap perbuatan pencucian uang  yang terkandung di dalam Undang-undang No. 25 di atas dapat dikatakan telah memenuhi kriteria penalisasi jarimah ta’zir dalam syariat hukum islam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *