Islam dan Permasalahan Modernitas

 Respon Masyarakat Islam terhadap Realitas Politik

Berbicara mengenai pemikiran politik dalam dunia Islam modern selalu dikaitkan atau setidaknya dimulai dari gerakan imperialisme dan kolonialisme Barat terhadap Islam. Kolonialisme[1] Eropa atas negara Islam mula pertamanya dilakukan bangsa Portugis pada abad ke-16. Posisi antropologis Portugis di Atlantik, tambahan lagi pengalamannya dalam arung samudera, menjadikan bangsa Portugis sebagai bangsa pelaut yang tangguh dan gagah berani, bahkan lebih kuat dibandingkan dengan bangsa Moor.[2] Berbekal hal tersebut dan ditopang lahirnya nasionalisme bangsa Eropa setelah masa renaisans,[3] penetrasi terhadap negara-negara Islam disusul oleh beberapa negara Eropa yang lain, Spanyol, Inggris, Perancis dan Belanda. Puncak penetrasi Eropa atas negara-negara Islam pada abad ke-19, dan mencapai kesempurnaannya pada kuartal pertama abad ke-20. [4] Dari sini dapat dipahami bahwa penetrasi bangsa Eropa atas negara-negara Islam dimulai setelah masa renaisans ini. Akan tetapi, kita melihat bahwa pada masa perang Salib penetrasi dan kolonialisme Eropa telah dimulai, ditandai dengan didirikannya kerajaan-kerajaan Latin di beberapa negara Islam.[5]

Dilihat dari cepatnya gelombang kolonialisme dan imperialisme Eropa atas negara-negara Islam, penting untuk diketahui beberapa faktor yang mendukung terhadap kecepatan laju kolonialisme tersebut. Setidaknya ada empat faktor utama yang mendorong ekspansi Eropa atas negara-negara Islam, yaitu (1) adanya Islam pobi di kalangan masyarakat Eropa, khususnya Kristen/Katolik, yang mengakibatkan mereka menganggap Islam sebagai ancaman bagi eksistensi negaranya;[6] (2) adanya historic hostility (permusuhan historik) Islam-Kristen,[7] (3) adanya permasalahan poltik, dan (4) timbulnya kepentingan ekonomi demi pembangunan dan kepentingan industrialisasi di negara-negara Eropa.[8]

Realitas kolonialisme dan imperialisme di beberapa negara Islam tersebut ditanggapi umat Islam, di antaranya, dengan cara melakukan modernisasi. Modernisasi pada awalnya merupakan gerakan yang pertama kali muncul di Barat, terutama melalui industrialisasi, kemudian banyak ditiru di negara-negara Islam setelah mengalami masa kemunduran.[9]

Ada beberapa hal yang telah mengakibatkan mengapa sebagian masyarakat Islam melakukan modernisasi dengan mencontoh Barat ini. Pertama, arah modernisasi merupakan proses membuat up to date atau kontemporer, dalam artian bahwa modernisasi dirasa penting untuk merubah tatanan masyarakat yang tradisional ke modern.[10] Kedua, modernisasi secara implikatif cenderung merupakan sebuah proses yang didalamnya terkandung pengikisan terhadap tradisi lama dan kemudian menyuguhkan pola-pola baru yang disebut dengan pola modern yang ilmiah.[11] Setiap langkah modernisasi tersebut mengambil bentuk yang berbeda-beda dalam perpolitikan Islam di masing-masing negara Islam.

Dalam kasus Mesir, pemikiran politik dan Islam di Mesir dimulai sejak seribu tahun silam, yakni ketika Perguruan Tinggi al-Azhar didirikan Fatimiyah. Perguruan Tinggi ini dalamperkembangannya dijadikan sebagai institusi pemberdayaan dan perekayasaan pemikir, salah satunya pemikir politik. Akan tetapi diskusi harakah pemikiran politik diskursus Mesir Modern, starting point-nya akan selalu dkaitkan dengan masuknya ekspedisi atau ekspansi Napoleon Bonaparte ke negara itu,karena ekspedisi ini lah nantinya yang menghadirkan wajah moden Mesir dengan tejknologfi sebagai indikasi perkembangan dan pembangunan materiilnya.

Harakah pemikiran dan gerakan politik Islam di Mesir Modern menarik untuk didiskusikan, paling tidak sepanjang studi Islam sekarang ini, tidak hanya karena negara ini menelorkan beberapa pemikir politik yang terkadang kontroversial, tetapi juga menjadi sentral reaksi idelogi-religius dalammenentang imperialisme dan kolonialisme bangsa Eropa,[12] dengan ulama sebagai legitimator dan decision maker, untuk permasalahan agama dan politik. Dalam halini Fuad Azamy menganalisis bahwa: “…an inquiry into religion in Egypt really, and has to be, an inquiry into the nature of authority in that country.[13]

Titik Kulminasi harakah pemikiran dan gerakan politik Islam Mesir modern hingga kemerdekaannya, salah satunya terletak pada seorang tokoh bernama Jamal Abd al-Nasr. Tokoh inilah yang mengantarkan Mesir ke bentuk republiknya dengan konsep politik nasionalisme Arabnya.[14] Nasionalisme Arab menurut Nasr merupakan kesadaran adanya kesamaan bahasa, budaya dan kejiawaan yang melandasai sikap antagonisme imperialis, skealipun secara umum nasionalsime pada saat itu belummembentuk integlaistik sikap politik yang membentuk wawasan kebangsaan dan integrasi nasional. Jelasnya, arah nasionalisme Arab adalah pada pembentukan masyarakat baru.[15]

Tokoh yang berpengaruh dalam pergerakan politik Islam di Mesir adalah Jamaluddin al-Afgani, terutama tentang gagasan Pan-Islamisme, atau kesatuan dunia Islam sebagai satu-satunya benteng pertahanan dunia Islam terhadap pendudukan dan dominasi asing atas negeri-negeri Muslim.[16] Melalui herakan Pan-Islamisme al-Afgani ingin menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang tercecer agar daripadanya timbul keberanian dan kekuatan umat Islam untuk menghadapi serangan maupun kolonialisme bangsa-bangsa asing yang memusuhi Islam. Rumusan Pan-Islamisme dalampengertian yang lebih luas adalah rasa solidaritas antara seluruh mukmin. Rasa solidaritas ini sudah semenjak Rasulullah mengikat tali iman dalam berhadapan dengan orang-orang jahiliyah yang berusaha membinasakan mereka.[17]

Pemikiran dan gerakan politik Islam di Mesir secara berkesinambungan dilanjutkan dari satu generasi ke genarasi berikutnya, Muhammad Abduh, rasyid Ridla dan pada Hasan al-Banna yang mendirikan al-Ikhwan al-Muslimun di Isma’iliyah, Mesir, pada tahun 1928.[18] Pada mulanya organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan, di samping sosial ekonomi, yang merupakan isu-isu yang menjadi bagian dari pembicaraan dan tulisam publik Mesir pada 1930-an, terutama ketika pengaruh sosialisme dan uni perdagangan Barat kian besar.[19]

Pada masa Perang Dunia II, antara tahun 1939-1945, al-Ikhwan al-Muslimun mulai memasuki tahap baru kesuksesan, namun sekaligus kesengsaraan, sebab pada periode ini aktifitas al-Ikhwan al-Muslimun telah sangat meningkat dan mendapat dukungan luas dari kalangan perguruan tinggi, terutama dari Universitas Fuad I dan al-Azhar, sehingga menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan dan mulai berani bertindak sebagai pihak yang berseberangan dengan pemerintah.[20] Pada tanggal 12 Desember 1947, para aktifis al-Ikhwan al-Muslimun dengan dipimpin oleh al-Banna sendiri mengadakan demonstrasi berdarah yang berakhir dengfan terbunuhnya kepala polisi Kairo.[21]

Sikap konfrontatif dan perlawanan al-Ikhwan al-Muslimun ini kemudian mengakibatkan Raja Farouq membukannya pada 8 Desember 1948, beberapa tokoh, kecuali al-Bannan, dihukum dan sebagian dipancung. Akibat perlakuan kejam ini, tanggal 28 Desember 1948 perdana menteri al-Nuqrasyi dibunuh oleh mahasiswa kedokteran hewan, anggota al-Ikhwan al-Muslimun.[22] Akan tetapi, Ibrahim Abdul Hadi Pasha, pengganti al-Nuqrasyi, bertindak lebih kejam dan memburu semua anggota al-Ikhwan al-Muslimun dan menyita semua harta bendanya dan sanak saudaranya. Pada tanggal 12 Pebruari 1949, al-Banna ditembak di gedung Himpunan Pemuda Muslimin, dan dibiarkan tanpa terawat di rumah sehingga mencapai ajalnya dengan darah yang terus mengucur.[23]

Pada masa kepemimpin Hasan al-Hudaibi, diangkat menjadi Dirjen al-Ikhwan al-Muslimun pada tanggal 17 Oktober 1951, organisasi menghadapi permasalahan-permasalahan internal organisasi, permasalahan dengan pemerintah Farouk dan dengan Dewan Revolusi Mesir.[24] Pertentangan dan konflik antara al-Ikhwan al-Muslimun dengan pemerintah dan Dewan Revolusi terus berkelanjutan, sehingga al-Ikhwan al-Muslimun terus melakukan demonstrasi besar-besaran dan mencapai puncaknya pada tanggal 26 Oktober 1954. Akibat konflik tersebut,pada bulan Nopember 1954, Sayyid Quthb ditahan dan diadili dengan tuduhan menentang Nasser, dan dibebaskan pada tahun 1964. Quthb dan beberapa anggota al-Ikhwan al-Muslimun yang lain, ditangkap kembali pada musim panas 1965 dan dijatuhi hukuman gantung pada 29 Agustus 1966.[25]

Pada masa 1970-1980, terutama di bawah kepemimpinan Omar Telmassani, al-Ikhwan al-Muslimun lebih kooperatif dan bersikap moderat. Sekalipun demikian, Anwar Sadad, sebulan sebelum terbunuh pada tanggal 6 Oktober 1981 oleh salah seorang al-Ikhwan al-Muslimun,  memerintahkan pembubaran organisasi radikal tersebut dan melakukan pembredelan terhadap media masa pendukungnya.[26] Selanjutnya pada pemilu 1987, al-Ikhwan al-Muslimun berkoalisi dengan Partai Buruh mendirikan Alinasi Islam dan menyerukan implementasu hukum Islam yang kemudian berhasil meraih suara 17%.[27]

Dalam kasus negara Turki, fenomena pemikiran dan gerakan Islam, hubungannya dengan modernisasi, setidaknya dapat dikategorikan pada tiga aliran, yaitu Westernis, Islamis dan Nasionalis. Aliran Westernis adalah salah satu aliran pembaruan di Turki yang mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaruannya dan paling bersemangat dalam melakukan reformasi sosial secara revolusioner[28] memalui jalur kekuatan politik.[29] Salah satu tokoh terkemuka aliran ini ialah Tavfiq Fikret (1867-1951 M.), seorang sastrawan yang sering menyerang paham keagamaan tradisional, Abdullah Cavdet (1869-1932 M.), pendiri Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan dan menerbitkan majalah Ijtihad di Genewa.[30]

Aliran Islamis, berlawanan dengan arah pemikiran dan gerkan Westernis, merupakan salah satu aliran pemikian dan gerakan yang mendasarkan pada Islam formal dalamkehidupan berbangsa dan bernegara,. sebagai respon terhadap gerakan westernisasi kaum Westernis, oleh karenanya aliran ini bercorak tradisionalis dan konservatif,[31] di antara kelompok yang bercorak seperti ini dan mempunyai banyak pengikut ialah Cemiyet-I Ilmiye-I Islamiye (Islamnic Society of Men of Learning).[32] Salah seorang tokoh terkemuka aliran Islamis dari kelompok lain ialah Said Nursi (1867-1960M.), pendiri organisasi dan majalah Sirat al-Mustaqim,[33] dan Muhammad Akif (1870-1936 M.), seorang penyair penciptra lagu kebangsaan nasional Republik Turki salah seorang editor majalah Sabil al-Rasyad. [34]

Aliran Nasionalis muncul sebagai respon dari kedua aliran tersebut, westernisasi yang cenderung pada liberalisasi dan islamisasi yang cenderung tradisionalisasi (anti modernisasi). Zia Gokalp, salah seorang tokoh moderat yang pemikirannya banyak mempengaruhi aliran ini, melakukan gerakan pemikiran filosofis, estetis, sekalipun masih bersifat literer. Nasionalisme Turki, dalam pandangan Gokalp, merupakan suatu gerakan ideal yang kultural dan mendasarkan diri pada filsafat kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi basisi bagi solidaritas nasional.[35] Aliran ini kemudian menjadi sangat radikal ketika berada dalam Pan-Turkisme.[36]

Yang menarik perhatian ialah bahwa masing-maing dari ketiga aliran tersebut selalu ada yang menampakkan diri sebagai aliran yang radikal, pada Aliran Westernis ada kelompok western oriented sehingga ingin menjadi Turki sama dengan Barat, pada Aliran Islamis ada yang sangat tradisionalis sehingga ingin menjalankan syari’at Islam di Turki bahkan ingin menjadikan ulama’, sebagai simbol tradisionalisme Turki, memipimpin atau setidak menjadi pengambil keputusan, sedngkan dalam Aliran Nasionalis muncul golongan yang serba Turki, bahkan memandang Barat dan Islam sebagai tantangan, bahkan lawan dari Turkisme.

Berbicara tentang awal kemunculan gerakan radikal Islam di Turki, Nirla menyatakan bahwa gerakan tersebut bermula pada tahun 1950-an dan mencapai puncak pada tahun 1980-an, dimana pada selama dua dasa warsa tersebut berbagai perkembangan sangat mengedepan dalam moderenisasi di Turki, dalam hal yang sama juga tertransformasikan dalam bidang politik. Hasilnya kemudian ialah suatu konfrontasi antara budaya provinsian/tradisional dan budaya urban/modern, timbulnya kelas sosial baru, dan fragmentasi dari orang yang mempunyai hak pilih konservatif pada tahun 1970 ke depan. Situasi ini pada tahapan selanjutnya mengakibatkan timbulnya pertumbuhan partai Islam ortodoks di Turki yang mengambil suara lebih besar dari pesaing mereka.[37]

Pergerakan politik kalangan islamis, menurut Nirla, sangat berbeda antarnegara, dalam pelaksanaan strategi dan doktrin mereka, dimana masing-masing kelompok mempunyai sejarahnya sendiri. Di Turki, pergerakan kelompok islamis segera muncul setelah pendirian Repubil Turki Sekuler pada tahun 1923.[38] Dengan dipimpin oleh para syekh tarikat dan para agamawan profesional yang kehilangan status dan kekuatan ekonomi mereka manakala perubahan sekular menghapuskan institusi agama, kelompok islamis berusaha untuk melawan negara sekuler yang bergerak sejak tahun 1920-an hingga 1930-an. Namun dikarenakan kegagalan untuk memperoleh dukungan yang luas dan dihancurkan oleh penguasa, secara umum gerakan kelompok islamis ortodoks bergerak di bawah tanah sepanjang selama peraturan partai tunggal, antara tahun 1923 hingga 1946.[39]

Secara historis, pandangan Nirla ini berangkat dari sebuah gerakan kelompok islamis radikal yang melakukan gerakan kembali pada agama sejak dibubarkannya partai tunggal pasca kepemimpinan Attaturk, yaitu pada tahun 1946 dimana Ismet Inonu (1884-1973), yang menjadi Presiden setelah Attaturk, mengambil kebijakan reformasi politik, dari sistim otoriter kepada sistim politik yang demokratis dengan dibukan sistem multi partai.[40] Secara politis, kebijakan tersebut berdampak pada munculnya beberapa partai politik Islam, seperti National Resurgence Party yang didirikan sejak 1945, dan pada tahun 1946 diproklamerkan beberapa partai yang mengedepankan isu-isu Islam, seperti The Social Justice Party, Famer’s and Peasant’s Party, Purification and Protection Party, Islamic Protection Party, dan Democrat Party, yang terkahir disebutkan ini didirikan oleh orang-orang yang keluar dari RPP.[41]

Dampak lebih jauh dari kebijakan multi partai ini ialah disetujuinya pedoman-pedoman baru bagi pengajaran agama di luar sekolah oleh Kementerian Pendidikan pada tahun 1947, pada tahun 1948 untuk pertama kalinya pemerintah memperbolehkan penukaran uang bagi orang yang menunaikan ibadah haji, dan pada tahun 1949 dibuka kursus-kursus imam dan khathib di 10 kota dan Fakultas Ilahiyat yang pada tahun 1933 diubah menjadi Institut Studi Islam dihidupkan kembali, bahkan pada tahun yang sama pendidikan agama kembali dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar formal sebanyak dua jam dalam seminggu.[42]

Munculnya berbagai gerakan Islam radikal ini, secara politis, banyak didukung oleh kemenangan kelompok Islam dalam beberapa kali pemilihan umum. Pada pemilihan umum 1950 Democrat Party yang bergandengan tangan dengan kelompok keagamaan, Nurju pimpinan Said Nursi (1867-1960), sebuah kelompok Islam yang sangat berpengaruh pada masyarakat desa, berhasil memenangkan pemilu dan menunjuk Celal Bayar sebagai presiden.[43] Pada tahun 1961 Justice Party berhasil memenangkan pemiliham umum pada Oktober 1961, setelah terjadinya kudeta milter I pada tanggal 27 Juli 1960. Pada pemilihan umum 1966, partai ini juga kembali memenangkan pemilihan umum dan menunjuk Sulaiman Demirel sebagai Perdana Menteri.[44]

Sejauh itu, gerakan Islam radikal belum mengarah pada bentuk-bentuk kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan yang menunjukkan dimulainya gerakan terorisme Islam di Turki, seperti dikatan Karmon, dimulai pada tahun 1960-an. Sejak awal 1967 dan 1973 para pemimpin Hizb-Al-Tahrir (Islamic Liberation Party) ditahan karena mencoba untuk membawa Konstitusi Islam ke Turki.” Jihad Islam (Islamic Jihad) nampak sebagai ancaman teroris yang riil pada tahun 1980-an, setelah serangkaian pembantaian terhadap Diplomat Jordania, Saudi dan Irak. Pada Oktober 1991 Islam Jihad bertanggung jawab atas pembunuhan seorang Sersan Amerika dan melukai seorang Diplomat Mesir dalam sebuah gerakan protes konfrensi perdamaian Timur Tengah di Madrid. Selama bertahun-tahun diasumsikan bahwa kelompok ini adalah suatu organisasi teoris syi’ah Libanon, sampai kemudian ditemukan bahwa sebuah cabang syi’ah dinyatakan hidup di Turki, setelah terjadi pembantaian terhadap intelektual sekuler.[45]

Analisis yang terakhir ini berhubungan dengan didirikannya Party of Union, oleh kelompok minoritas Syi’ah pada tahun 1966, dan National Order Party pimpinan Necmettin Erbakan dari kelompok Sunni.[46] Kedua partai ini terkenal sebagai kelompok yang sangat radikal yang karenanya terjadi kudeta milter II pada tahun 1971 terhadap Sulaeman Demirel yang dianggap tidak mampu mengendalikan kelompok radikal tersebut, dan pada tahun ini NOP kemudian dibubarkan. Akan tetapi, Erbkan kemudian membidani partai politik baru dengan orientasi yang sama pada tahun 1972 dengan nama National Salvation Party yang kemudian mampu meraih 11,8 % suara dan 48 kursi di pemerintahan pada tahun 1973, dimana Erbakan kemudian terplih sebagai Wakil Perdana Menteri. Sejak tahun 1973 tersebut, NSP secara radikal menentang pornografi, alkohol,keluarga dan busana perempuan yang tidk islami. Mereka juga berpandangan bahwa dekadensi moral yang terjadi pada generasi muda disebabkan kurangnya bimbingan agama.[47] Gerakan radikalisme ini semakin kuat pada tahun 1979, pada masa dimana Sulaeman Demirel kembali memangku Perdana Menteri, bahkan diwarnai dengan terorisme.[48] 

Hal tersebut ditegaskan Karmon sebagai berikut:

“… At the end of the 1970s, under the influence of the coalition between left-wing organizations and Khomeini`s followers in Iran, in Turkey was established an alliance of the left, especially Maoists, with radical Islamic elements and together they attacked the nationalist right. …”

“Pada penghujung tahun 1970-an, di bawah pengaruh kesatuan antara organisasi-organisasi sayap kiri dan Pengikut Khomeini pengikut di Iran, di Turki dibentuk aliansi sayap kiri, terutama Maoists, dengan unsur-unsur Islam radikal dan bersama-sama mereka menyerang peraturan kelompok nasionalis.…”

 

Bahkan menurut informasi lain, pada tahun 1980, empat elite NSP dituduh sebagai dalang demonstrasi dan pada 12 September tahun ini terjadi kudeta militer III dibawah pimpinan Jenderal Kenan Evren yang kemudian segera membekukan semua kegiatan prtai radikal serta tidak memperkenankan para pempimpin olitik aktif dalam kegiatan politik hingga pertengahan tahun 1980-an.[49] Halini ditegaskan Narli sebagai berikut:

“.. In the late 1970s, successive governments failed to solve the country’s  serious economic and political problems as antagonism between the radical left and radical right escalated into violent clashes bordering on civil war. The armed forces, led by General Kenan Evren, seized power in a bloodless coup and restructured the political system with a new military-drafted constitution in 1982. The leading parties, including the JP, NAP, and NSP, were banned from political activity…”

“… Di penghujung tahun 1970-an, pemerintah secara berurutan gagal untuk memecahkan permasalahan negeri yang sangat serius dalam bidang ekonomi dan politik negeri yang menyebabkan timbulnya pertentangan antara pemerintahan sayap kiri dan sayap kanan  yang radikal dan meluas pada persilisihan yang mengarah pada pembunuhan hingga ambang batas perang saudara. Angkatan bersenjata, yang dipimpin oleh Jenderal Kenan Evren, menangkap para pemimpin kudeta tak berdarah dan merestrukturisasi sistem politik dengan suatu konstitusi baru yang dibuat drafnya oleh militer pada tahun 1982. Partai terkemuka, termasuk JP, NAP, dan NSP, dijauhkan dari kegiatan politik…”

 

Dari dinamika politik tersebut, tampak bahwa masyarakat Turki masih tergolong dalam masyarakat, yang menurut istilah Syari’ati, sebagai masyarakat yang indeterministik, aktif dan revolusioner. Akan tetapi dikarenakan revolusi tersebut mengakibatkan konflik sosial, maka tak ubahnya Turki, dalam kategorisasi Ibn Khaldun, masih tergolong dalam model generasi yang pertama, sekalipun dalam hal mereka telah meninggalkan sistim nomadis dan melakukan industrialisasi, revolusi, kudeta dan reformasi politik yang terjadi hampir setiap dekade, mengakibatkan masyarakat Turki, secara politik, masih terperangkap dalam kondisi ta’ashshubiyah dan belum mampu menunjukkan sebagai tipologi masyarakat kota.

Pada sisi kebeagamaan masyarakat, di Turki tampaknya masih tergolong dalam kebragamaan tiruan, ia memandang agama secara simbolik dan mengakibatkan tujuan pembentukan rahmat bagi para pengikut dan yang ada di sekitar umat Islam tidak mampu tersentuh. Sebaliknya, kalangan masyarakat masyarakat nasionalis yang liberalis dan radikalis, masih terperangkan pada keberangamaan yang replikatif sehingga mereka anti terhadap simbol-simbol Islam,akan tetapi secara politis mereka tidak mampu keluar dari penggunaan simbol-simbol Islam dalam kepentingan politisnya. Penggunaan simbol-simbol keislaman dalam kepentingan tertentu inilah yang dimaksudkan dengan replikasi keberagaman masyarakat Turki sehingga keduanya tergolong dalam kelompok radikalis dan teroris.

Hal yang mendorong timbulnya radikalisme dan terorisme tersebut ialah sebagaimana dikatakan Narli berikut:

“The Islamist movement is an outlet to express political dissatisfaction with the existing order on the part of the geographical periphery and specific social groups and classes with grievances or different interests. At least five types of relationships are represented here: center-periphery conflict;  class cleavages;  regional cleavages;  Islamist-secularist conflict; and  sectarian antagonism (i.e., Sunnis vs. Alevis).”[50]

“The  country’s central government and main institutions are led by military officers, senior bureaucrats, notables, and industrialists. Those living or belonging to groups based in peripheral areas have been subjectively and objectively distanced from power.”[51]

“Thus, we see a progression in which specific socio-economic and regional groups in the periphery have backed a succession of parties over time in order to voice their grievances. During the 1950s, the Democratic Party, in opposing the centralist elite represented by the People’s Republican Party,  represented the people of the periphery, including peasants and provincial bourgeoisie as well as the discontent of Islamists and religiously conservative people dissatisfied with secular policies.”[52]

 

Dalam kaitannya dengan ideologi dan strategi gerakan, Karmon menjelaskan bahwa ideologi mereka ialah perlawanan terhadap libelisasi Islam, perang melawan setan, penghinaan pada Tuhan, Zionisme dan imperialisme. Perlawanan ini dilakukan kalangan islamis di Turki karena telah lama mereka terbuai dengan sistim gerakan yang didasarkan atas penderitaan dan kesabaran. Sedangkan tujuan akhir gerakan ini ialah terbentuknya Negara Islam. Oleh sebab itu, kelompok ini sangat mengidolakan suatu gerakan seperti yang terjadi di Iran, akan tetapi motivasi mereka tetap beradasarkan pemahaman mereka terhadap al-Qur’an.[53]

Dalam kasus Indonesia, hubungan antara Islam dan politik sudah dimulai sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, dimana untik pertama kalinya Islam masuk ke daerah ini sudah mempunyai hubungan geneologis dan dialogis dengan kondisi politik dan kultur masyarakat setempat. Oleh sebab itu, hubungan antara Islam dan politik ini bisa dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, Islam adalah politik, dan politik adalah Islam.[54] Gerakan politik Islam Indonesia pada masa imperialisme dan kolonialisme secara formal tampak pada masa pendudukan Belanda dimulai  pada tahun 1912, yakni sejak didirikannya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjelma menjadi Sarekat Islam (SI). Sekalipun pada masa awal perkembangannya SI banyak menitikberatkan pada persoalan organisasi, namun dilihat dari visi dan misinya jelas organisasi tersebut mengarah pada gerakan politik, baikpada masa kepemimpinan Haji Samanhoedhi, Oemar Said Tjokroaminoto, maupun Haji Agus Salim.[55]

Partai lain yang melakukan gerakan politik Islam pada masa pendudukan ialah Persatuan Muslimin Indoensia dan Partai Islam Indonesia. Persatuan Muslimin Indonesia, dipendekkan menjadi PMI dan kemudian Permi, pada awalnya bergerak dalam bidang pendidikan, dan pada masa kepemimpinan Haji Iljas Jakub dan Haji Muchtar Luthfi, melakukan transformasi menjadi partai politik. Sedangkan Parta Islam Indoensia (PII), didirikan pada tahun 1938, merupakan partai politik yang berangkat dari ketidakpuasan sebagian anggota SI pasca skorsing pada tahun 1933.[56]

Ketika Jepang menyerang Pearl Harbour, Hawaii, pada tanggal 7 Desember 1941, dan mengakibatkan meletusnya Perang Pasifik, maka Jepang secara otomatis menguasai seluruh negaradi Asia Tenggar, kecuali Thailand. Namun berbeda dengan beberapa negara yang melakukan ekspansi pada negara-negaradi Asia Tenggara yang memilih bekerjasama dengan kalangan minoritas, Jepang justeru sebaliknya memilih bekerjasama dengan kalangan mayoritas, yakni masyarakat Islam. Perhatian terhadap kalangan mayoritas Islam ini pada dasrnyatelah dilakukan oleh Jepang sejak tahun 1930-an untuk melakukan perluasan ke daerah Selatan (Nanshin).[57]

Salah satu bukti perhatiannya itu, Jepang mengirim empat pelajarnya ke Timur Tengah untuk mempelajari Islam pada tahun 1935. Pada tahun 1938, Jepang memberikan ijin berdirinya dua masjid di kota Kobe dan Tokyo serta mendirikan Asosiasi Islam Jepang (Dai-Nippon Kaikyo Kyokai). Bahkan pada tahun 1939 Jepang mengadakan pameran Islam yang dihadiri oleh negara-negara Islam, termasuk Indonesia, di Tokyo dan Osaka serta mendirikan Institut Studi Islam (Kaikyo Kenkyo).[58]

Namun setelah berakhirnya pendudukan Jepang atas Asia Tenggara (1941-1945), kondisi negara-negara Islam berbeda-beda dalam menanggapinya. Di Indonesia melalui dua tokoh utamanya, Soekarno-Hatta, menyatakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. sedangkan beberapa negara yang lain belum mampu merealisasikan ide kemerdekaannya. Melihat kondisi di negara-negara Asia Tenggara terlepas dari pendudukan Jepang, Inggris kemudian kembali ke Semenanjung, bahkan bertindak lebih agresif. Inggris bahkan berusaha untuk menghapuskan kedaulatan raja-raja Melayu berdasarkan konsep Kesatuan Tanah Melayu (Malayan Union Treatise) pada tahun 1945.

Pada antara tahun 1945-1948, yakni periode Pasca Revolusi, hubungan antara Aktifis Islam dengan para pemimpin negara yang nasionalis hampir-hampir saja tidak mengalami hambatan sama sekali, sebab kepentingan mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia telah mengakibatkan masing-masing mereka dapat melupakan kepentingan ideologis masing-masing demi kepentingan bangsa dan negara. Akan tetapi, sejak Belanda menyerahkan negara ini pada kepemimpinan Republik Indonesia pada tahun 1949, kelompok Islam sedikit demi mulai menampakkan kekuatannya dalam pentas percaturan politik nasional. Kekuatan partai Islam, ketika itu maih bersatu dalam Masyumi, sangat tampak dalam hasil pemilihan antara 1946-1951, dimana partai Islam tersebut memperoleh mayoritas suara, baik dalam pemilihah tingkat lokal maupun nasional.[59]

Akan tetapi sangat disayangkan sekali, pada pemilihan tahun 1955, partrai Islam kemudian pecah menjadi Masyumi, NU, PSII, dan Perti). Sekalipun dalam realisasi penghasilan suara secara keseluruhan memperoleh 114 kursi dari 257 kursi yang diperebutkan (sekitar 43,5 % suara), NU pada perjalanan politiknya kemudian merubah orientasi dan ideologi politiknya dengan bekerjasama dengan  Partai Nasionalis Indonesia (PNI) untuk mendukung Manipol Usdek yang direncanakan Presiden Soekarno saat itu.[60] Karena sikap politik yanhg demikian itu, NU seringkali dianggap sebagai organisasi yang oportunistik.

Pada masa Orde Baru, kondisi peropolitikan Islam Indoensia semakin mengalami kemerosotan, karena rehabilitasi Masyumi yang diharapkan banyak tokoh islam, seperti Natsir dan Hamka, tidak pernah menjadi kenyataan. Kenyataan ini kemudian mengundang lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tahun 1968, akan tetapi tidakmendapatkan respon positif dari Soeharto. Bebragai permasalahan politik dan kebijakan pemerintahan Soeharto, telah mengakibatkan popularitas partai Isloam kian menurun dan pada tahun 1971 Golkar kemudian memperoleh suara 62,80%.[61]


[1]Kolonial berarti orang atau negara yang menganut paham atau mempratikkan kolonialisme, sedangkan yang berarti penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Lihat Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 451. Bandingkan dengan Hasan Shadily, Ensiklopedia Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeven, 1984), 1812. Dalam pengertian ini, kolonialisme mempunyai arti sempit dari imperialisme yang berarti usaha suatu negara untuk menguasai atau mengendalikan negara lain atau sebagian wilayah negara lain demi keuntungan ekonomi,politik maupun sosial budaya. Lihat Tim Penyusun, Ensikloped Nasional Indonesia, Jilid 7 (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990), 44.

[2]Lebih lanjut mengenai hal ini baca DEG. Hall, Sejarah Asia Tenggara (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), 209-10.

[3]Perlu ditegaskan di sini bahwa kebangkitan kembali bangsa Eropa berwujud dan berdampak pada model yang berbeda-beda, di Italia renaisans menghidupkan kembali peradaban humanis dan tata nbegara, di Perancis menghadirkan diri dalam bentuk revolusi industri, dan di Inggris menumbuhkan akar-akar liberalisme. Lihat Fuad Hassan, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1996), 69-81.

[4]Hasan Shadily, loc. cit.

[5]Mengenai hal ini baca misalnya M. Yahya Harun, Perang Salib dan Pengaruh islam di Eropa (Yogyakarta: Bina Usaha, 1987), 12-4.

[6]John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? (Bandung:Mizan, 1994), 65.

[7]Michael Yousuf, Revolt Against Modernity: Muslim Zealots and the West (Leiden: E. J. Brill, 1985), 32.

[8]Untuk kepentingan ekonomi ini, negara-negara Eropa merasa perlu untuk menguasai daerah-daerah yang subur agar dapat memperoleh rempah-rempah dan menguasai pelabuhan untuk sirkulasi perdagangan; Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), 183-4.

[9]Kendatipun modernisasi pertama kalimuncul di Barat, namun dalammelakukan modernisasi di negara Islam banyak melakukan modifikasi-modifikasi di sesuaikan dengan lingkungannya, sebagian mereka melakukan dengan cara westernisasi,akan tetapi sebagian yang lain tidak setuju dengan westernisasi. Bahkan dalamperjalan sejarah umat Islam, westernisasi ini mendapatkan banyak tantangan, bahkan ditolak, oleh mayoritas umat Islam. Baca misalnya Yunan Asmuni, Pengantar Stdui Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam (Jakarta: LSIK, 1996), 3; Nurchlish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), 79.

[10]Pandoyo, Sekularisasi dalam Polemik (Jakarta: Pusataka Utama Grafiti, 1993), 40

[11]Bustami Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaruan Agama: antara Modernisasi dan Tajdiduddin (Jakarta: Wacana Lazuardi Amanah, 1995), 323.

[12]Lihat Bassam Tibi, Islamic and the Cultural Acomodation of Social Change (Sanfrancisco dan Oxford: Westview Press, 1991),  135-6.

[13]Fuad Azamy, “In the Farach’s Shadow, Religy and Authority in Egypt”, dalam James Piscatory, Islam in the PoliticalProcess (Cambridge: University Press, 1983), 13.

[14]Nasionalisme adalah suatu teori politik atau antropologis yang didoktrinkan untukmenumbuhkan semangat ketaatan kepada suatu bangsa yang menunjukkan kepada kecondongan mengutamakan kepentingan bangsa sendiri di atas bangsa lain dengan jalan menonjolkan ciri khas kebudayaan bangsanya yang harus dipertahankan, terutama bila terjadi benturan dengan budaya bangsa lain. Selanjutnya lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Badung:Mizan, 1995), 37-8. Nasionalisme menurut al-Bazzaz adalah nasionalisme yang dilandasi oleh kesamaan bangsa (Arab) yang tidak terkait dengan kepentingan rasial,melainkan dengan kesamaan bahasa, budaya, dan kejiawaan, serta kepentingan vital lainnya, yang bersifat mendasar. Baca Abdurrachman al-Bazzaz, “Islam dan Nasionalisme Arab”, dalam John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopdei Masalah-masalah (Jakarta: Radjawali, 1994), 141.

[15] Selanjutnya lihat S. Abu al-Hasan Ali an-Nadwi, Western Civilization: Islam and Muslim (Lucknow: Academy of Islamic Research and Publication, 1979), 114.

[16] Pan-Islamisme adalah gagasan yang karena Islam merupakan suatu kesatuan mjenyatakan bahwa semua muslim harus bersatu menghadapi dominasi Barat.  Mengenai hal ini lihat fazlur Rachman, Islam (Bandung: Pustaka, 1994), 333.

[17]L. Stooddard, Dunia Baru Islam (Jakarta: t.p., 1966), 61.

[18]Imam  Munawir, Mengenal Pribadi Tiga Puluh Pendekar dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), 530; Ishaq Musa al-Husayni, al-Ikhwan al-Muslimun (Jakarta: Temprin, 1983), 17.

[19]Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1996), 139.

[20]Ishaq Musa al-Husayni, op. cit., 22.

[21]Berbagai aktifitas konfrontatif antara al-Ikhwan al-Muslimun dengan pemerintah baca dalam Hafidz Muhammad al-Jabary, Kebangkitan Islam, Studi Literatur Gerakan islam Kontemporer dalam Berbagai Gerakan Reformasi Islam (Solo: Duta Rachmah, 1996), 210.

[22]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1990), 146.

[23]Ishaq Musa al-Husayni, op. cit., 27; Imam Munawir,  op. cit., 548.  

[24]Revolusi Mesir terjadi pada tanggal 22/23 Juli 1952.

[25] Ali Rahmena, op. cit., 175; John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? (Bandung: Mizan, 1994), 141-2.

[26] Ishaq Musa al-Husayni, op. cit., 54; John O. Volt, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan du Dunia Modern (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), 393-4.

[27]John L. Esposito, “Ancaman”, op. cit., 147.

[28]Niyazi Berkes, The Development of Scularism in Turkey (Menreal: Mc. Gill University Press, 1963), 337.

[29]Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern (Jakarta: Djambatan, 1994), 29.

[30]Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 130.

[31]Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina,  1996), vii.

[32]Niyazi Berkes, op. cit., 340.

[33]John  O. Voll, op. cit., 260.

[34]Niyazi Berkes, op. cit., 341; Mukti Ali, op. cit., 138.

[35]Robert Devereux, Zia Gokalp, The Principle of Turkism (Leiden: E. J. Brill, 1968), 125; Bandingkan dengan Harun Nasution, op. cit., 128.

[36]Lihat  Niyazi Berkes, op. cit., 343-4.

[37]Beginning in the 1950s and peaking in the 1980s, a number of developments greatly advanced Turkey’s modernization. These same events also transformed Turkish politics. The result was a confrontation between  provincial/traditional and urban/modern cultures, new social classes, and the fragmentation of the conservative electorate from the 1970s onward. This same situation provided the environment for the growth of Islamist parties in Turkey taking votes away from their center-right competitors. 

[38]Sejarah berdirinya negara Republik Turki yang sekuler ini berawal dari pembentukan Republic People’s Party (RPP) oleh Kemal Attaturk yang dideklarasikan pada 6 Desember 1922. Pada 8 April 1923 Attaturk kemudian mengeluarkan manifesto politik di Anatolia yang terdiri dari 9 butir yang berisi antara lain tentang kedaulatan rakyat, pemerintahan yang representatif, serta reformasi fiskal dan administrasi. Pada tahun ini bentuk pemerintahan kekhalifahan, pembubaran kementerian syari’ah dan reformasi agama, belum dimnculkan dalam manifesto. Attaturk melaksnakan sekularisasi Turki dengan menghapuskan sistim kekhalifahan setelah dia berhasil mendirikan Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923 yang selanjutnya dipilih sebagai Presiden dan menunjuk Ismet Pashga sebagai Perdana Menteri. Mengenai hal ini lihat misalnya Niyazi Berkes, op. cit., 263, 455-7; Harun Nasution, op. cit., 150-1; Mukti Ali, op. cit., 83, 86-90; Bernard Lewis, The Emergence of the Modern Turkey (New York: Oxford University Press, 1968), 159-64; John L. Esposito, Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 136.

[39]Islamist political movements vary greatly among different states in their doctrines and strategies.  Turkey’s groups have their own distinctive history.  In Turkey, the Islamist movement emerged soon after the founding of the secular republic in 1923.  It was led by  tarikat (religious order) sheikhs and professional men of religion, who lost their status and economic power when secular reforms abolished religious institutions.  Trying to stage revolts against the secular state in the 1920s and 1930s, it failed to gain wide support and was crushed by the authorities.  In general, though, Islamist groups stayed underground during the era of one-party rule, between 1923 and 1946.

[40]Mengenai hal ini baca misalnya Kemal H. Karpat, Political and Scial Thought in the Contemporary Midle East (New York: Praeger Publisher, 1982), 397; Ira Marvin Lapidus’, A History of Islamiv Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 610.

[41]Mukti Ali, op. cit., 121; Binnaz Toprak, Islam and Political Development in Turkey (Leiden: E. J. Brill, 1981), 75-6.

[42] Bernard Lewis, op. cit., 418; Baca juga Edward Montimer, Islam dan Kekuasaan (Bandung: Mizan, 1984), 134; dimana dijelaskan bahwa pada masa itu muncul kembali simbul-simbul Islam, seperti lembaga-lembaga keislaman,pakaian keagamaan,mesjid kembali mendapatkan banyakperhatian, bahkan beberapa mesjid kemudian diberi pengeras suara, kaligrafi Arab menghiasi dinding-dinding kantin, toko, taksi, dan bahkan pasar, buku-buku dan artikel tentang agama diterbitkan dalam jumlah yang sangat besar.

[43]Lihat Binnaz Toprak, op.cit., 73; John L. Esposito, “Muslim Scieties Today”, dalam Marjorie Kelly (ed.), Islam: The Religious and Political Life of a World Community (New York: Praeger Publshers, 1984), 201.

[44]Selanjutnya baca misalnya Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki (Jakarta: Logos, 1997), 152; Serif Mardin, “Agama dan Politik di Turki Modern”, dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (peny.), Perkembangan Modern dalamIslam(jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), 228-36.

[45]The Islamic subversive and terrorist activity in Turkey began in the 1960s. As early as 1967 and 1973 the leaders of Hizb-al-Tahrir (Islamic Liberation Party) were imprisoned for attempting “to bring the Islamic State Constitution to Turkey” Islamic Jihad appeared as a real terrorist threat in the 1980s, after a series of assassinations of Jordanian, Saudi and Iraqi diplomats. In October 1991 Islamic Jihad took responsibility for killing an American sergeant and wounding an Egyptian diplomat to protest the Middle East peace conference in Madrid. For many years it was assumed that this group was a Lebanese Shiite terrorist organization, until it was discovered that a Turkish branch existed, engaging in assassinations of secular intellectuals.

[46] Syerif Mardin, op.cit., 229.

[47]Binnaz Toprak, op. cit., 99; Ergon Ozbudun, Íslam and Politics in Modern Turkey: The Case of NSP”, dalam Barbara Preyer (ed.), The Islamic Impulse (London: Croom Helm, 1987), 147.

[48]Baca Edward Montimer, op. cit., 142-3.

[49]M.Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 180.

[50]Pergerakan kelompok islamis adalah meruapakan suatu saluran untuk menyatakan ketidakpuasan politis dengan peraturan yang ada pada pihak periferi dan kelompok dan kelas sosial tertentu dengan kepentingan yang berbeda. Sedikitnya lima jenis hubungan dipresetasikan di sini: konflik pusat-periferi; perpecahan kelas; perpecahan regional; konflik islamis-sekularis; dan pertentangan sektarian  ( yaitu., Sunnis melawan Alevis).

[51]“Pemerintah pusat dan institusi utama dipimpin oleh militer, birokrat senior, kelompok terkemuka, dan industriawan. Kelompoktersebut tergolong pada area periferi yang secara subyektif dan obyektif jauh dari sebuah kekuatan.”

[52]“Oleh sebab itu, kita lihat suatu kemajuan di mana kelompok ekonomi dan regional tertentu di periferi kembali pada suatu rangkaian partai dari waktu ke waktu dalam rangka menunjukkan keluhan mereka. Sepanjang tahun 1950-an, Partai Demokrasi, menentang kelompok elit pusat yang diwakili oleh Partai Republik Rakyat, mewakili kelompok periferi, mencakup petani dan kelompok borjois provinsi seperti halnya ketidak puasan kelompok islamis dan masyarakat yang keberagamaannya konservatif tidak puas dengan kebijakan yang sekuler.”

[53]In one such interviews, published in February 1993, a militant declared: “We are fighters of the Islamic Liberation Movement, the sword against Satan, blasphemy, Zionism and Imperialism. We have begun taking action only recently in Turkey and our move is based on pain, suffering and patience. We do not pursue a tribal case; our objective is to establish a state for the Muslims.” Asked whether he belonged to Hezbollah, the militant replied that the press gave that name to the organization and that they will adopt it only when the movement will be worthy of it. Meanwhile it has not reached “that level of perfection”

In speaking about the special relationship of the Movement with Iran, the same militant seemed careful not to confirm “the lies of the Turkish state” about such links. Iran is seen as an example and a guide but the instructions are “from the Koran” and not from Iran, “the land of Dar-ul Islam where blasphemy has been crushed.” The Movement needs no instructions from any country because the Koran is the program and shows the strategies and the tactics to be adopted.

[54]Lihat misalnya HA. Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1982; BJ. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague, Martinus Nijhoff, 1971); Deliar Noer, Partai islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: Psutaka Utama Grafiti, 1987).

[55]Mengenai masalah ini lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonbesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), 114 dan seterusnya.

[56]Ibid., 170 dan seterusnya; lihat juga Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945 (The Hague and Bandung: W. van Hoeve Ltd., 1958).

[57]Saiful Umam, Politik Islam Jepang

[58]Saiful Umam, Politik Islam Jepang

[59]Lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca, Cornel University Press, 1962), 284, 274-5.

[60]Manifesto politik ini terdiri dari permasalahan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar RI, sosialisme indonesia, demokrasi dan ekonomi terpimpin. Lihat BJ. Boland, op. cit., 101-2.

[61]Lihat Herbert Feith,, op. cit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *