Nuzulul Qur’an

Pengertian Nuzul al-Qur’an

Kata “Nuzul” (bahasa Arab: berasal dari nazala) secara etimologis berarti turun, jatuh, keadaan turun, tinggal sementara, dan hal yang menimpa.[1] Sedangkan arti terminologis nuzul ialah turunnya al-Qur’an kepada Nabi saw. yang dibawa oleh Malaikat Jibril ke bumi. Kata nazala dan derivasinya dipergunakan al-Qur’an sebanyak 293 kali dan sebagiannya berkaitan dengan kitab yang diturunkan Allah swt kepada para rasul.[2]

Mengapa Allah menggunakan istilah nuzul (turun)? Apakah hal ini menegaskan bahwa Allah swt sesungguhnya berada di atas langit? Kalau ditelusuri secara cermat tentang penggunaan kata yang dipergunakan untuk menunjukkan turunnya al-Qur’an, maka akan ditemukan bahwa terkadang al-Qur’an menggunakan kata nazzala (seperti nazzala al-furqan) dan anzala (seperti anzalnahu fi lailat al-qadr). Kata anzala menunjukkan kepada makna bahwa al-Qur’an pernah diturunkan sekaligus dan terkait dengan ruang dan waktu, sedangkan nazzala memberi petunjuk bahwa al-Qur’an turun berangsur-angsur dan terkait dengan ruang dan waktu. Oleh karenanya, ulama klasik (salaf) hingga antara abad III H. enggan memberikan pengertian yang sebenarnya berkaitan dengan nuzul-nya al-Qur’an. Ulama sesudah abad III H. memahami arti “turun” dalam pengertian ditampakkan atau diperkenalkannya al-Qur’an ke pentas bumi ini pada waktu dan tempat tertentu. Memang benar bahwa al-Qur’an bersifat qadim, seperti yang dikatakan ulama klasik, yakni telah ada sebelum adanya waktu dan tempat, akan tetapi keberadaannya ketika itu belum diketahui atau hadir di pentas bumi.[3]

Ada juga pendapat yang memberikan alternatif dari problem teologis tersebut dengan memberikan pengertian majaziy da ri kata nuzul. Dalam hal ini nuzul diartikan penampakan al-Qur’an ke pentas bumi pada waktu dan tempat tertentu. Memang, menurut pandangan ini al-Qur’an bersifat qadim, dalam pengertian sudah ada sebelum adanya tempat dan waktu, akan tetapi keberadaannya ketika itu belum diketahui atau hadir di pentas bumi. Ketika al-Qur’an pertama kali diterima Nabi saw., ketika itu   pula al-Qur’an menampakkan diri. Oleh karenanya, inna anzalnahu fi lailat al-qadr mempunyai  pengertian: “Sesungguhnya  Kami  memulai  memperkenalkan  kehadiran al-Qur’an pada malam al-Qadr.”[4]

Kesimpulannya, ulama berbeda pendapat dalam memberikan arti “nuzul”, yaitu:

1.      Ulama yang berpandangan bahwa dengan sifat qadim al-Qur’an, tidak mungkin al-Qur’an membutuhkan waktu dan tempat. Namun, mereka juga tidak berani berspekulasi dengan memberikan arti majaziy terhadap ayat-ayat nuzul al-Qur’an.

2.      Ulama yang memberikan pengertian majaziy terhadap arti nuzul, yakni dalam pengertian “turun” dari yang tinggi derajatnya ke tempat yang lebih rendah derajatnya.

3.      Ulama yang berpandangan bahwa kata nuzul bukan berarti “turun” melainkan mempunyai pengertian penampakan al-Qur’an di muka bumi yang sudah ada sebelum adanya waktu dan tempat (qadim).


[1]Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Cet. I: Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak,1996), 1905.

[2]Kata nazala disebut al-Qur’an sebanyak 4 kali, yanzilu, 2 kali, nazzala 12 kali, nazzalna 10 kali, nazzalnahu 2 kali, nazzalahu 2 kali, tunazzila 2 kali, nunazzail atau nunazzilu 3 kali, nunazziluhu 1 kali, yunazzilu 17 kali, nuzzila 7 kali, nuzzilat 1 kali, tunazzila 2 kali, yunazzilu atau yunazzila 3 kali, anzala 63 kali, anzaltu atau anzalta 3 kali, anzaltumuhu 1 kali, anzalna 40 kali, anzalnahu 14 kali, anzalnaha 1 kali, anzalahu 3 kali, saunzila 1 kali, anzil 1 kali, anzilni 1 kali, unzila 49 kali, unzilat atau unzilati 6 kali, tanazzalat 1 kali, tatanazzalu 1 kali, tanazzalu 3 kali, natanazzalu 1 kali, yatanazzalu  1 kali, nuzulu 1 kali, nuzuluan 6 kali, nuzuluhum 1 kali, nazlatan 1 kali, tanzilun atau tanzila 11 kali, tanzilan 4 kali, manazila 2 kali, munazziluha 1 kali, munazzalun 1 kali, munziluna 2 kali, al-munziliyna 3 kali, munzalan 1 kali, munziliyna 1 kali. Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhi al-Qur’an al-Karim (Bairut: Dar al-Fikr, 1987),  694-698.

[3]Selanjutnya baca M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan urutan Turunnya Wahyu (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997),  717; Saya berasumsi bahwa pengertian yang disebutkan terakhir dipengaruhi doktrin teologis Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya Asy’ariyah yang menyatakan bahwa al-Qur’an bersifat qadim.

[4]Ibid.,  718.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *