Cinta Rasul

Problematika Studi Matan Hadis

Ilmu semantik yang berkembang pada zaman modern ini menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai dalam satu periode tertentu tidak sama dengan bahasa yang dipakai pada periode lain. Ada kata-kata yang timbul dan dipakai pada periode tertentu, tidak dikenal pada periode sebelumnya, dan bisa pula terjadi tidak dipakai lagi pada periode sesudahnya. Teori ini, menurut Harun Nasution, dapat diterapkan terhadap teks hadis.[1]

Apa yang dimasudkan Nasution di atas sama dengan atau pengembangan dari pendapat ulama yang memandang pentingnya penelitian terhadap matan hadis.[2] Penenltian tersebut, dalam pandangan ahli hadis, dimaksudkan untuk menghindarkan lafal-lafal hadis yang sedang diteliti dari kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat).[3] Penelitian ini secara operasional dilakukan dengan cara membandingkan hadis yang sedang diteliti dengan al-Qur’an, hadis lainnya yang semakna atau mempunyai tema yang sama, analogi (qiyas), pernyataan sahabat, kejadian-kejadian yang tercerap dalam sejarah, dan analisis rasional (logis dan filosofis).[4] Dalam penentuan prosedur penelitian matan ini, secara operasional ulama mendapatkan kesulitan sehingga mereka tidak membuat klasifikasi secara sistematis dalam tehnik-tehnik penelitiannya.[5] Inilah problem pertama kali muncul dalam penelitian matan hadis.

Problem lain yang segera muncul dalam penelitian matan hadis ialah problem teologis, yakni menyangkut keyakinan bahwa hadis yang kenyataannya menggunakan bahasa Nabi saw. (Arab), menurut pandangan mayoritas ulama hadis secara teologis merupakan bahasa Tuhan, artinya hadis adalah bahasa Tuhan yang termetaforkan dalam bahasa Nabi saw.[6] Sebaliknya, al-Qur’an yang secara teologis diyakini sebagai bahasa Tuhan, pada kenyataannya, menggunakan bahasa (bangsa) Arab.[7]

Perlu dicatat, walaupun al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, tidak jarang kata yang dipergunakan al-Qur’an berbeda dengan makna yang dipahami bangsa Arab ketika itu. Misalnya, kata “Shalat” yang menurut orang Arab berarti do’a, oleh al-Qur’an dimaknai sebagai ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[8] Sebaliknya, sekalipun hadis diyakini sebagai bahasa metafor Tuhan, akan tetapi bahasa yang dipergunakannya berbeda dengan bahasa al-Qur’an.[9] Bahkan, kosa kata yang dipergunakan hadis cenderung mengikuti perkembangan makna yang dimaksudkan al-Qur’an atau bahkan memberikan interpretasi terhadap kosa kata yang dimaksudkan al-Qur’an, seperti hadis yang menjelaskan arti kata “al-kautsar” dalam surat al-Kautsar (108): 1.

Orang-orang Arab menggunakan kata al-kautsar  untuk menamai segala sesuatu yang banyak bilangannya, atau tinggi nilainya, bahkan orang yang mempunyai jasa yang banyak terhadap masyarakat disebut dengan al-kautsar.[10] Akan tetapi, Rasulullah menjelaskan bahwa maksud al-kautsar dalam Surat al-Kautsar (108): 1 tersebut dengan sungai yang diberikan Allah swt. kepada beliau.[11] Rasulullah tidak memberikan pengertian seperti yang dipahami orang Arab ketika itu.


[1]Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Cet. V; Bandung: Mizan, 1998), h. 309.

[2]Kata matan hadis disebut juga dengan lafal hadis yang mengandung satu atau beberapa makna. Lihat Musfir ‘Asmillah al-Daminiy, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah (Cet. I; Riyadl: t.p., 1984), h. 49.

[3]Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawa’id Ushul al-Hadits (Bairut: dar al-Fikr, t.th.), h. 39.

[4]Muhammad Thahir al-Jawabiy, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn ‘Ind ‘Ulama’ al-Hadits al-Nabawiy al-Syarif (Bairut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), h. 236 dst.

[5]Lihat pandangan M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Cet. I; Jakarta: gema Insani Press, 1995), h. 78.

[6]Perhatikan QS. Al-Najm (53): 3-4.

[7]QS. Thaha (20): 113.

[8]M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’anL Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib (Cet. I; Bandung: Mizan, 1997), h. 102

[9]Lihat M. Syuhudi Ismail,

[10]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 568

[11]Lihat al-Imam Abi al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayriy al-Naysaburiy, Shahih Muslim, Juz I (Bairut Dar al-Fikr, 1992), h. 188.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *