Cinta Rasul

Problematika Studi Sanad Hadis

Studi hadis, sekalipun menduduki dasar kedua setelah al-Qur’an, belum mendapatkan perhatian yang sama besarnya dengan studi al-Qur’an. Padahal sebagai dasar dalam menetapkan hukum (istinbath al-hukm), hadis mendapatkan tantangan keabsahan lebih besar dibandingkan al-Qur’an, yang salah satunya karena pembukuannya secara formal baru dilakukan jauh setelah Rasulullah meninggal.[1] Bahkan, usaha pembukuan hadis lebih cenderung bersifat reaktif terhadap pemalsuan hadis[2] dibandingkan kepentingan ilmiahnya.

Hal tersebut dapat dilihat dari metode pembukuan hadis yang bersifat selektif terhadap hadis yang berkembang dan kemudian dikategorikan menjadi hadis sahih — yakni hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi (periwayat) yang adil, tsiqah (dapat dipercaya) dan dlabith (kuat hafalannya), terlepas dari kejanggalan (syudzudz) dan tidak ditemukan adanya cacat (‘illat),[3] atau hadis hasan — yakni hadis yang diriwayatkan para rawi yang adil tapi kurang dlabith (kurang hafalan)nya, terhindar dari syudzudz dan tidak mempunyai ‘illat,[4] atau dikategorikan sebagai hadis dla’if — yakni hadis yang tidak memenuhi kategori hadis shahih dan hasan.[5]

Perkembangan hadis secara ilmiah dimulai sejak ulama mengalihkan perhatiannya pada Ilmu hadis, yakni ilmu yang melengkapi penyalinan perkataan-perkataan dan perbuatan Nab saw., periwayat-periwayat hadis, penentuan dlabth dan tidaknya para periwayat, serta penguraian lafal-lafal hadis.[6] Pada tataran ini, Ilmu Hadis dapat disebut sebagai metodologi penelitian hadis. Akan tetapi, karena setiap kitab Ilmu Hadis, hingga paruh pertama abad ke-20, hanya dipertebal oleh ketegangan-ketegangan ulama seputar pengertian hadis, sunnah, atsar dan beberapa kata padanannya yang lain, atau apakah hadis dapat dikategorikan sebagai hadis marfu’, mawquf, atau maqthu’, atau apakah hadis dapat diterima (maqbul) atau ditolak (mardud), maka Ilmu Hadis tidak secara praktis dapat membuat para peneliti (hadis) pemula mudah menangkap metode penelitian hadis.

Dengan kata lain, bagi seorang peneliti pemula barangkali membutuhkan waktu bertahun-tahun agar dapat memahami cara meneliti hadis, apabila mengandalkan kitab-kitab Ilmu Hadis yang notabene lebih banyak mengembangkan wacana ketegangan definitif dibandingkan cara praktis dalam melakukan penelitian hadis. Inilah barangkali salah satu faktor yang menyebabkan mengapa studi hadis sulit berkembang.

Kesulitan lain yang dapat dihadapi oleh peneliti (hadis) pemula ialah perbedaan retorik dalam penyampaian hadis, seperti penggunaan kata sami’tu, haddatsana, haddatsani, akhbarana, dan qala lana.[7] Perbedaan ini sangat penting diketahui oleh seorang peneliti hadis karena retorika penyampaian hadis tersebut menjadi salah satu indikator ketersambungan sanad hadis yang diteliti.

Namun, kesulitan tersebut masih lebih mudah jika dibandingkan dengan kesulitan dalam menentukan kualitas periwayat yang dapat diterima hadisnya. Sebab, periwayat hadis harus memenuhi kriteria[8] yang sulit diketahui kecuali melalui penelitian biografis, semakin banyak periwayat hadis tersebut maka kian banyak biografi periwayat yang harus diteliti. Oleh karenanya, seorang peneliti harus mengamati banyak sekali nama periwayat atau syahid hadis[9] dengan memperhatikan pendapat ulama lain tentang periwayat tersebut, apakah periwayat tersebut dicacat (al-jarah) atau dipuji (al-ta’dil),[10] jika dicacat hadisnya tidak bisa diterima (mardud) dan apabila dipuji hadisnya dapat diterima (maqbul).

Melihat pentingnya penelitian biografis ini, banyak ulama menyusun kitab al-jarah wa al-ta’dil yang didalamnya telah distruktur ketercacatan dan keterpujian periwayat hadis. Diantara kitab al-jarh wa al-ta’dil yang terkenal ialah: al-Tarikh al-Kabir, al-Dlu’afa’ al-Kabir, dan al-Dlu’afa’ al-Shaghir (karya Imam al-Bukhariy); Kitab al-Jarah wa al-Ta’dil (karya Abu Hatim Muhammad bin Idris al-Raziy); Kitab al-Tsiqat (karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Bistiy); Tarikh Asma’ al-Tsiqat min Man Nuqil Minhum al-‘Ilm (karya ‘Umar bin Ibni Syahin); al-Dlu’afa’ wa al-Matrukin (karya Imam al-Nasa’iy).[11]

Akan tetapi, kitab-kitab tersebut, dan juga beberapa kitab lainnya yang tidak disebutkan di sini, masih menyisakan beberapa permasalahan dan ketegangan yang sulit diselesaikan. Diantara permasalahan tersebut ialah bahwa biografi yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut sangat terbatas, sehingga peneliti sulit menilai apakah pujian atau cacat terhadap seorang periwayat  tersebut sesuai dengan realitas sebenarnya atau tidak. Apalagi, tidak sedikit periwayat yang dicacat oleh seorang ulama, ternyata dipuji oleh ulama yang lain. Karena permasalahan ini tidak bisa diselesaikan, para ulama mengambil jalan pintas dengan menentukan kaidah “pujian didahulukan dari cacatan” atau sebaliknya “mendahulukan cacatan dari pujian.”[12]

Jalan pintas ini tampaknya tidak dapat mengantarkan kita pada kepuasan ilmiah, sebab diantara syarat cacatan atau pujian bisa diterima apabila pencacat atau pemuji harus diketahui kedekatan, kealiman dan keadilannya. Sedangkan, dalam kitab al-jarah wa al-ta’dil juga tidak menyebutkan secara rinci biografi pencacat atau pemuji secara detil, termasuk hubungannya dengan yang dicacat atau dipuji.

Untuk itu, tidak ada cara lain bagi peneliti (hadis) harus menguasai sejarah-sejarah ulama atau menggunakan pendekatan historis dalam penelitian hadis. Namun agak problematik juga, sebab sekalipun pendekatan historis ini pada dasarnya dapat membantu dalam memahami biografi para ulama secara sempurna, pada kenyataannya setiap penelitian sanad yang menggunakan pendekatan ini akan menemukan cacat para ulama, bahkan sahabat dan tabi’in, terutama dalam “kegelapan sejarah” Islam.[13] Salah satu contoh peneliti yang dalam penelitian sanadnya menggunakan pendekatan historis ini adalah Fatima Mernissi yang meneliti hadis: “Barang siapa yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita, mereka tidak akan pernah memperoleh kemakmuran” yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah.[14]


[1]Menurut mayoritas ulama, penulisan Hadis dilakukan pada paruh kedua abad ke-2 Hijriyah yang dilakukan oleh al-Malik bin Juraij di Makkah, Anas bin Malik di Madinah, al-Awza’iy di Syria, Sa’id bin Abi ‘Urwah di Bashrah, Ma’mar di Yaman dan Sufyan al-Tsawriy di Kufah. Mengenai hal ini baca misalnya Jala al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthiy, Tarikh al-Khulafa’ (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1952), h. 261; Abu Muhammad ‘Abd al-Rahman bin Abi Hatim al-Raziy, al-Jarh wa al-Ta’dil (t.t.: Dar al-Turas al-‘Arabiy, 1952), h. 184.

[2]Ahmad Amin mengatakan bahwa praktik pemalsuan Hadis sudah ada sejak masa Rasulullah. Namun, hal ini tampaknya kurang didukung oleh fakta historis dan kekuatan logika. Oleh karenanya, kita cenderung sepakat dengan mayoritas ulama yang berpendapat bahwa pemalsuan Hadis dimulai sejak masa ‘Aliy bin Abi Thalib. Baca Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, 1975), h. 210-211; Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 13; M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 92-95; Mushthafa al-Shiba’iy, “al-Sunnah: Makanatuha fi al-tasyri’ al-Islamiy”, diterjemahkan oleh Dja’far Abd. Muhith, Hadis sSebagai Sumber Hukum (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), h. 118.

[3]Mengenai kategori ini baca misalnya dalam Abu ‘Umar ‘Utsman bin ‘Abd al-Rahman al-Shalah, ‘Ulum al-Hadis (Madinah: al-Maktabah al-Islamiyah, 1972), h. 10; Taqy al-Din bin Daqiq al-‘Id, al-Iqtirah fi Bayan al-Isthilah wa Ma Udlif ila Dzalik min Ahadis al-Maudlu’ah min al-Shahih (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 5.

[4]Mengenai hal ini lihat misalnya Shubhiy al-Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalhuh (Bairut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988), h. 156; Nur al-Din ‘Itr, “Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis”, diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul, ‘Ulumul Hadis, Jilid II (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h. 27.

[5]Baca al-Imam Abi ‘Abdillahg Badr al-Din Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah, al-Manhal al-Rawiy fi Mukhtashar ‘Ulum al-Hadis al-Nabawiy (Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), h. 47.

[6]Mengenai beberapa definisi Hadis baca dalam Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy, Qawa’id al-   Tahdits min Funun Mushthalah al-Hadis (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1979), h. 75; Subhiy al-Shalih, op. Cit., h. 107.

[7]Mengenai beberapa retorika pengantar dan tingkatannya menurut ulama Hadis baca misalnya al-   Hadis al-Nabawiy: Mushthalahuh, Balaghatuh, ‘Ulumuh, Kutubuh (t.t.: al-Maktabah al-Islamiy, 1972), h. 149-   152.

[8]Diantara kriteria periwayat yang dapat diterima ialah harus Islam, baligh, berakal sehat, tidak fasik, tidak tercela tingkah lakunya, dapat menghafal seluruh Hadis yang diriwayatkannya, dan mampu menyampaikan Hadis yang dihafalnya dengan baik. Selanjutnya baca al-Khathib al-Baghdadiy, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Haidarabad: Dar al-Ma’rifah, t.th.), h. 54; al-Harawiy, Jawahir al-Ushul fi ‘Ilm al-Hadis al-   Rasul (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1373 H.), h. 55-68.

[9]Mengenai perbedaan periwayat dan syahid Hadis baca Muhammad bin Muhammad al-Ghazaliy, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (t.d.), h. 187-188.

[10]Untuk mengetahui apakah periwayat dicacat atau dipuji oleh ulama yang lain, seorang peneliti harus menguasai ‘ilm al-jarah wa al-ta’dil, yakni ilmu yang membahas keadaan para periwayat Hadis, baik mengenai cacat maupun kebersihannya dari cacat dengan menggunakan lafal-lafal tertentu (seperti menggunakan kata tsabitun, hafidhun, dlabithun, hujjatun untuk pujian, atau menggunakan lafal dzahibul Hadis dan dla’iful Hadis untuk menunjukkan cacat). Baca misalnya Abu ‘Abdillag al-Hakim al-Naysaburiy, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis (Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.th.), h. 52.

[11]Komentar mengenai beberapa kitab al-Jarah wa al-Ta’dil dalam ditemukan dalam Mahmud al-   Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid (Cet. I; Mesir: al-Mathba’ah al-‘Arabiy, 1978), h. 176-203.

[12]Mengenai kaidah ini dan cara penggunaannya dalam skala prioritas baca Ahmad Muhammad Syakir, al-Ba’its al-Hatsits: Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadis li al-Hafidh Ibn Katsir (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 89.

[13]Yang dimaksudkan dengan “kegelapan sejarah” Islam di sini ialah: (1) Sistim penulisan sejarah Islam pada masa awal perkembangan ilmu sejarah Islam tidak jelas sebab ditulis dengan menggunakan sistem riwayah yang sama dengan cara periwayatan Hadis, sementara beberapa riwayah yang disampaikan banyak kontrakdiktif satu dengan lainnya; (2) Terjadinya perang saudara dalam perang Jamal, antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Thalhah dan Aisyah, dan perang Shiffin yang terjadi  antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah, pada tanggal 10 Shaffar 37 H. atau bertepatan dengan tanggal 28 Juni 657 M. Mengenai contoh kegelapan sistim penulisan sejarah dan tentang sejarah pecahnya perang saudara ini baca misalnya Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Jilid VII (Mesir: al-Sa’adah, t.th.), h. 232 dst.; al-Thabariy, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Jilid IV (Mesir al-Istiqamah, m1939), h. 33; Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, Vol. III (Bairut: Dar al-Fikr, 1979), h. 191 dst.

[14]Mengenai hal ini baca Fatima Mernissi, “Women and Islam; al-Qur’an Historical and Theological Enquiry”, diterjemahkan oleh Yaziar Radianti dengan judul, Wanita di Dalam Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka, 1991), h. 62 dst; Tanggapan terhadap kajian historis Fatima Mernissi ini lihat Hidayat Nur Wahid, “Kajian atas Kajian DR. Fatima Mernissi tentang “Hadis Misogini” (Hadis yang isinya Membenci Perempuan)”, dalam Mansour Fakih (et.al.), Membincang Feminisme dalam Diskursus Gender Perspektif Islam (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 3-35.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *