Kepemimpinan Keluarga

Doktrin Kepemimpinan Keluarga dalam Teks Tafsir

Dalam dunia pesantren, terdapat sebuah doktrin tentang kepemimpinan keluarga yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai salah satu akibat munculnya deskriminasi terhadap kaum perempuan. Doktrin tersebut, terutama terdapat dalam sebuah ayat dalam QS. Al-Nisa’ (4): 34 yang berbunyi:

ุงู„ุฑู‘ูุฌูŽุงู„ู ู‚ูŽูˆู‘ูŽุงู…ููˆู†ูŽ ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู†ู‘ูุณูŽุงุกู ุจูู…ูŽุง ููŽุถู‘ูŽู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุจูŽุนู’ุถูŽู‡ูู…ู’ ุนูŽู„ูŽู‰ ุจูŽุนู’ุถู ูˆูŽุจูู…ูŽุง ุฃูŽู†ู’ููŽู‚ููˆุง ู…ูู†ู’ ุฃูŽู…ู’ูˆูŽุงู„ูู‡ูู…ู’ ููŽุงู„ุตู‘ูŽุงู„ูุญูŽุงุชู ู‚ูŽุงู†ูุชูŽุงุชูŒ ุญูŽุงููุธูŽุงุชูŒ ู„ูู„ู’ุบูŽูŠู’ุจู ุจูู…ูŽุง ุญูŽููุธูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูˆูŽุงู„ู„ู‘ูŽุงุชููŠ ุชูŽุฎูŽุงูููˆู†ูŽ ู†ูุดููˆุฒูŽู‡ูู†ู‘ูŽ ููŽุนูุธููˆู‡ูู†ู‘ูŽ ูˆูŽุงู‡ู’ุฌูุฑููˆู‡ูู†ู‘ูŽ ูููŠ ุงู„ู’ู…ูŽุถูŽุงุฌูุนู ูˆูŽุงุถู’ุฑูุจููˆู‡ูู†ู‘ูŽ ููŽุฅูู†ู’ ุฃูŽุทูŽุนู’ู†ูŽูƒูู…ู’ ููŽู„ูŽุง ุชูŽุจู’ุบููˆุง ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ูู†ู‘ูŽ ุณูŽุจููŠู„ู‹ุง ุฅูู†ู‘ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ูŽ ูƒูŽุงู†ูŽ ุนูŽู„ููŠู‘ู‹ุง ูƒูŽุจููŠุฑู‹ุง

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka  atas sebahagian yang lain, dan karena mereka  telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri  ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

 

Dalam beberapa kitab tafsir kepemimpinan keluarga di bawah ayat tersebut menunjukkan pada keistimewaan laki-laki daripada perempuan, laki-laki harus didahulukan daripada perempuan yang berarti bahwa ia merupakan pimpinan, senior, hakim, pendidik bagi perempuan, karena laki-laki lebih utama dan lebih baik daripada perempuan yang karenanya kenabian dan kepemimpinan besar pun dikhususkan pada laki-laki.

Dalam tafsir Ibn Katsir, dikenal dengan kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, karya Abu al-Fida’ Imad al-Din Isma’il ibn Abi Hafs Syihab al-Din ‘Umar ibn Katsir ibn al-Dara’ al-Quraysyi al-Dimisyki,[1] mula-mula menjelaskan potongan ayat dengan memberikan makna teks, merasionalisasi makna tersebut dengan logika yang didukung oleh hadits dan ayat lain yang berhubungan dengan potongan ayat yang sedang dijelaskan. Setelah memberikan memberikan penjelasannya sendiri dengan metode analisis yang telah dijelaskan di atas, Ibn Katsir kemudian menjelaskan makna ayat yang sedang dianalisis dengan menggunakan pendapat ulama’ dan sebab diturunkannya ayat tersebut. Dalam hal yang terakhir disebutkan ini, Ibn Katsir menggunakan beberapa hadits untuk mendukung penafsirannya.

Oleh sebab itu, secara metodologis kitab tafsir yang tergolong sebagai kitab yang dianalisis dengan menggunakan metode tahlili ini disebut-sebut sebagai tafsir bi al-ma’tsur,[2] namun saya melihat di beberapa tempat ditemukan adanya penggunaan dalil rasional yang menunjukkan bahwa Ibn Katsir juga menggunakan metode tafsir bi al-ra’yi. Temuan ini mendukung hasil penelitian Abdul Mu’in Salim yang menyimpulkan bahwa Tafsir Ibn Katsir ini menggunakan metode analisis yang memadukan antara dua metode tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi.[3]

Berkaitan dengan substansi penafsiran Ibn Katsir terhadap ayat yang sedang dianalisis ini menunjukkan bahwa Ibn Katsir, sama dengan al-Thabariy, tergolong dalam mufassir yang mengembangkan pola pikir dengan paradigma salaf yang ekstrem patriarkhi-sentris. Hal ini setidaknya terlihat dalam penfasiran Ibn Katsir terhadap potongan ayat { ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก } dengan menyatakan bahwa laki-laki merupakan pemimpin, senior, hakim, dan pendidik bagi perempuan { ุงู„ุฑุฌู„ ู‚ูŠู… ุนู„ู‰ ุงู„ู…ุฑุฃุฉ ุฃูŠ ู‡ูˆ ุฑุฆูŠุณู‡ุง ูˆูƒุจูŠุฑู‡ุง ูˆุงู„ุญุงูƒู… ุนู„ูŠู‡ุง ูˆู…ุคุฏุจู‡ุง ุฅุฐุง ุงุนูˆุฌุช}.

Sekalipun Ibn Katsir menggunakan rasio (ra’yu) dalam upaya memberikan penjelasan terhadap potongan ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelum ini, akan tetapi rasionalisasi tersebut tetap berada dalam pola pikir dengan paradigma salaf yang ekstrem patriarkhi-sentris. Rasionalisasi yang demikian ini setidaknya terlihat dengan jelas ketika Ibn Katsir memberikan penafsiran terhadap potongan ayat  {ุจู…ุง ูุถู„ ุงู„ู„ู‡ ุจุนุถู‡ู… ุนู„ู‰ ุจุนุถ} dengan mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam keluarga tersebut disebabkan laki-laki lebih utama dan lebih baik daripada perempuan, dan karena alasan yang sama inilah laki-laki terpilih sebagai nabi dan pemimpin besar sebuah Negara. Dalam bahasa Ibn Katsir selengkapnya  sebagai berikut:

 ู„ุฃู† ุงู„ุฑุฌุงู„ ุฃูุถู„ ู…ู† ุงู„ู†ุณุงุก ูˆุงู„ุฑุฌู„ ุฎูŠุฑ ู…ู† ุงู„ู…ุฑุฃุฉ ูˆู„ู‡ุฐุง ูƒุงู†ุช ุงู„ู†ุจูˆุฉ ู…ุฎุชุตุฉ ุจุงู„ุฑุฌุงู„ ูˆูƒุฐู„ูƒ ุงู„ู…ู„ูƒ ุงู„ุฃุนุธู… ู„ู‚ูˆู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… [ ู„ู† ูŠูู„ุญ ู‚ูˆู… ูˆู„ูˆุง ุฃู…ุฑู‡ู… ุงู…ุฑุฃุฉ ] ุฑูˆุงู‡ ุงู„ุจุฎุงุฑูŠ ู…ู† ุญุฏูŠุซ ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุจู† ุฃุจูŠ ุจูƒุฑุฉ ุนู† ุฃุจูŠู‡

 

Pandangan yang demikian ini tampaknya berpengaruh terhadap cara penafsiran Ibn Katsir hingga akhir ayat ini. Hal inilah yang terlihat dalam penafsiran kata { ูุงู„ุตุงู„ุญุงุช } dan { ู‚ุงู†ุชุงุช } diartikan dengan ู…ุทูŠุนุงุช ู„ุฃุฒูˆุงุฌู‡ู† (taat kepada suaminya) dan kata { ุญุงูุธุงุช ู„ู„ุบูŠุจ } diartikan dengan ุชุญูุธ ุฒูˆุฌู‡ุง ููŠ ุบูŠุจุชู‡ ููŠ ู†ูุณู‡ุง ูˆู…ุงู„ู‡ (menjaga dirinya dan harta suaminya jika sedang tidak di rumah). Untuk mendukung penafsirannya, Ibn Katsir juga menggunakan hadits ahad yang diriwayatkan hanya oleh seorang rawi berikut:

 ูˆู‚ุงู„ ุงู„ุฅู…ุงู… ุฃุญู…ุฏ : ุญุฏุซู†ุง ูŠุญูŠู‰ ุจู† ุฅุณุญุงู‚ ุญุฏุซู†ุง ุงุจู† ู„ู‡ูŠุนุฉ ุนู† ุนุจูŠุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุฃุจูŠ ุฌุนูุฑ : ุฃู† ุงุจู† ู‚ุงุฑุธ ุฃุฎุจุฑู‡ ุฃู† ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุจู† ุนูˆู ู‚ุงู„ : ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… [ ุฅุฐุง ุตู„ุช ุงู„ู…ุฑุฃุฉ ุฎู…ุณู‡ุง ูˆุตุงู…ุช ุดู‡ุฑู‡ุง ูˆุญูุธุช ูุฑุฌู‡ุง ูˆุฃุทุงุนุช ุฒูˆุฌู‡ุง ู‚ูŠู„ ู„ู‡ุง : ุงุฏุฎู„ูŠ ุงู„ุฌู†ุฉ ู…ู† ุฃูŠ ุงู„ุฃุจูˆุงุจ ุดุฆุช ] ุชูุฑุฏ ุจู‡ ุฃุญู…ุฏ ู…ู† ุทุฑูŠู‚ ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ู‚ุงุฑุธ ุนู† ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุจู† ุนูˆู

 

Hingga di sini terlihat dengan jelas bahwa dalam Tafsir Ibn Katsir yang menjadi rujukan para kyai dalam pembelajaran tafsir memberikan posisi laki-laki di atas perempuan. Dengan kata lain, bahwa Tafsir Ibn Katsir mendudukkan laki-laki sebagai pemimpin keluarga dengan alasan keistimewaan yang diberikan padanya di atas perempuan.

Selengkapnya Ibn Katsir[4] menyatakan sebagai berikut:

”ูŠู‚ูˆู„ ุชุนุงู„ู‰ “ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก” ุฃูŠ ุงู„ุฑุฌู„ ู‚ูŠู… ุนู„ู‰ ุงู„ู…ุฑุฃุฉ ุฃูŠ ู‡ูˆ ุฑุฆูŠุณู‡ุง ูˆูƒุจูŠุฑู‡ุง ูˆุงู„ุญุงูƒู… ุนู„ูŠู‡ุง ูˆู…ุคุฏุจู‡ุง ุฅุฐุง ุงุนูˆุฌุช “ุจู…ุง ูุถู„ ุงู„ู„ู‡ ุจุนุถู‡ู… ุนู„ู‰ ุจุนุถ” ุฃูŠ ู„ุฃู† ุงู„ุฑุฌุงู„ ุฃูุถู„ ู…ู† ุงู„ู†ุณุงุก ูˆุงู„ุฑุฌู„ ุฎูŠุฑ ู…ู† ุงู„ู…ุฑุฃุฉ

Allah swt berfirman “ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก” maksudnya bahwa laki-laki merupakan pemimpin diatas laki-laki, yakni pemimpin, senior, penentu, dan pendidik perempuan ketika bengkok,  “ุจู…ุง ูุถู„ ุงู„ู„ู‡ ุจุนุถู‡ู… ุนู„ู‰ ุจุนุถ”, yakni sebab laki-laki mempunyai kelebihan atau keutamaan daripada permpuan dan laki-laki lebih baik daripadanya

 

ูˆู„ู‡ุฐุง ูƒุงู†ุช ุงู„ู†ุจูˆุฉ ู…ุฎุชุตุฉ ุจุงู„ุฑุฌุงู„ ูˆูƒุฐู„ูƒ ุงู„ู…ู„ูƒ ุงู„ุฃุนุธู… ู„ู‚ูˆู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… “ู„ู† ูŠูู„ุญ ู‚ูˆู… ูˆู„ูˆุง ุฃู…ุฑู‡ู… ุงู…ุฑุฃุฉ” ุฑูˆุงู‡ ุงู„ุจุฎุงุฑูŠ ู…ู† ุญุฏูŠุซ ุนุจุฏุงู„ุฑุญู…ู† ุจู† ุฃุจูŠ ุจูƒุฑุฉ ุนู† ุฃุจูŠู‡ ูˆูƒุฐุง ู…ู†ุตุจ ุงู„ู‚ุถุงุก ูˆุบูŠุฑ ุฐู„ูƒ

Dan karena alasan itulah, kenabian hanya dikhususkan pada lak-laki, begitu juga pemimpin tertinggi karena sabda Nabi saw “ู„ู† ูŠูู„ุญ ู‚ูˆู… ูˆู„ูˆุง ุฃู…ุฑู‡ู… ุงู…ุฑุฃุฉ” (tidak akan pernah menemukan kebahagiaan komunitas masyarakat yang menyerahkan permasalahannya pada perempuan), hadits diriwayatkan Imam Bukhariy dari hadits Abdurrahman bin Abi Bakrah dari bapaknya. Begitu juga penegak hukum dan yang lainnya,

 

“ูˆุจู…ุง ุฃู†ูู‚ูˆุง ู…ู† ุฃู…ูˆุงู„ู‡ู…” ุฃูŠ ู…ู† ุงู„ู…ู‡ูˆุฑ ูˆุงู„ู†ูู‚ุงุช ูˆุงู„ูƒู„ู ุงู„ุชูŠ ุฃูˆุฌุจู‡ุง ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ู… ู„ู‡ู† ููŠ ูƒุชุงุจู‡ ูˆุณู†ุฉ ู†ุจูŠู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูุงู„ุฑุฌู„ ุฃูุถู„ ู…ู† ุงู„ู…ุฑุฃุฉ ููŠ ู†ูุณู‡ ูˆู„ู‡ ุงู„ูุถู„ ุนู„ูŠู‡ุง ูˆุงู„ุฅูุถุงู„ ูู†ุงุณุจ ุฃู† ูŠูƒูˆู† ู‚ูŠู…ุง ุนู„ูŠู‡ุง ูƒู…ุง ู‚ุงู„ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ “ูˆู„ู„ุฑุฌุงู„ ุนู„ูŠู‡ู† ุฏุฑุฌุฉ” ุงู„ุขูŠุฉ

“ูˆุจู…ุง ุฃู†ูู‚ูˆุง ู…ู† ุฃู…ูˆุงู„ู‡ู…” maksudnya (sesuatu pemberian laki-laki terhadap perempuan) yang berupa mahar, nafkah (lahir), dan kewajiban laki-laki pada perempuan yang diwajibkan Allah swt dalam kitabNya dan contoh (kehidupan) nabiNya saw, maka laki-laki, (karena potensi) dalam dirinya, memiliki keutamaan daripada perempuan sehingga pantas menjadi pemimpin perempuan, sebagaimana fiman Allah swt “ูˆู„ู„ุฑุฌุงู„ ุนู„ูŠู‡ู† ุฏุฑุฌุฉ”.

 

ูˆู‚ุงู„ ุนู„ูŠ ุจู† ุฃุจูŠ ุทู„ุญุฉ ุนู† ุงุจู† ุนุจุงุณ ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก ูŠุนู†ู‰ ุฃู…ุฑุงุก ุนู„ูŠู‡ู† ุฃูŠ ุชุทูŠุนู‡ ููŠู…ุง ุฃู…ุฑู‡ุง ุงู„ู„ู‡ ุจู‡ ู…ู† ุทุงุนุชู‡ ูˆุทุงุนุชู‡ ุฃู† ุชูƒูˆู† ู…ุญุณู†ุฉ ู„ุฃู‡ู„ู‡ ุญุงูุธุฉ ู„ู…ุงู„ู‡. ูˆูƒุฐุง ู‚ุงู„ ู…ู‚ุงุชู„ ูˆุงู„ุณุฏูŠ ูˆุงู„ุถุญุงูƒ ูˆู‚ุงู„ ุงู„ุญุณู† ุงู„ุจุตุฑูŠ: ุฌุงุกุช ุงู…ุฑุฃุฉ ุฅู„ู‰ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุชุดูƒูˆ ุฃู† ุฒูˆุฌู‡ุง ู„ุทู…ู‡ุง ูู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุขู„ู‡ ูˆุณู„ู… “ุงู„ู‚ุตุงุต” ูุฃู†ุฒู„ ุงู„ู„ู‡ ุนุฒ ูˆุฌู„. ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก” ุงู„ุขูŠุฉ. ูุฑุฌุนุช ุจุบูŠุฑ ู‚ุตุงุต ูˆุฑูˆุงู‡ ุงุจู† ุฌุฑูŠุฌ ูˆุงุจู† ุฃุจูŠ ุญุงุชู… ู…ู† ุทุฑู‚ ุนู†ู‡ ูˆูƒุฐู„ูƒ ุฃุฑุณู„ ู‡ุฐุง ุงู„ุฎุจุฑ ู‚ุชุงุฏุฉ ูˆุงุจู† ุฌุฑูŠุฌ ูˆุงู„ุณุฏูŠ ุฃูˆุฑุฏ ุฐู„ูƒ ูƒู„ู‡ ุงุจู† ุฌุฑูŠุฑ.

Ali bin Abi Thalhah dari Ibn ‘Abbas maksud ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก maksudnya memerintah perempuan, yakni perempuan mentaati laki-laki karena Allah swt memerintahnya untuk mentaatinya yang ditunjukkan dengan menjaga keluarga dan hartanya, bergitu pendpat Muqatil, Suday, dan Dlahhak. Hasan al-Bishriy mengatakan: “seorang perempuan datang pada Nabi saw mengadukan bahwa suaminya menamparnya, maka Rasulullah saw “ุงู„ู‚ุตุงุต” (perintah membalas), tetapi kemudian Allah swt menurunkan “ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก”, maka perempuan itu pulang tanpa qishash. Meriawayatkan juga terhadap hadits tersebut Ibn Jurayj dan Ibn Abiy Hatim dari beberapa jalan (periwayatan). Demikian, tetapi Qatadah, Ibn Jurayj dan Suday menganggap hadits tersebut sebagai hadits mursal.

 

ูˆู‚ุฏ ุฃุณู†ุฏู‡ ุงุจู† ู…ุฑุฏูˆูŠุฉ ู…ู† ูˆุฌู‡ ุขุฎุฑ ูู‚ุงู„ ุญุฏุซู†ุง ุฃุญู…ุฏ ุจู† ุนู„ูŠ ุงู„ู†ุณุงุฆูŠ ุญุฏุซู†ุง ู…ุญู…ุฏ ุจู† ู‡ุจุฉ ุงู„ู„ู‡ ุงู„ู‡ุงุดู…ูŠ ุญุฏุซู†ุง ู…ุญู…ุฏ ุจู† ู…ุญู…ุฏ ุงู„ุฃุดุนุซ ุญุฏุซู†ุง ู…ูˆุณู‰ ุจู† ุฅุณู…ุงุนูŠู„ ุจู† ู…ูˆุณู‰ ุจู† ุฌุนูุฑ ุจู† ู…ุญู…ุฏ ู‚ุงู„ ุญุฏุซู†ูŠ ุฃุจูŠ ุนู† ุฌุฏูŠ ุนู† ุฌุนูุฑ ุจู† ู…ุญู…ุฏ ุนู† ุฃุจูŠู‡ ุนู† ุนู„ูŠ ู‚ุงู„: ุฃุชู‰ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุฑุฌู„ ู…ู† ุงู„ุฃู†ุตุงุฑ ุจุงู…ุฑุฃุฉ ู„ู‡ ูู‚ุงู„ุช ูŠุง ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุฅู† ุฒูˆุฌู‡ุง ูู„ุงู† ุจู† ูู„ุงู† ุงู„ุฃู†ุตุงุฑูŠ ูˆุฅู†ู‡ ุถุฑุจู‡ุง ูุฃุซุฑ ููŠ ูˆุฌู‡ู‡ุง ูู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… “ู„ูŠุณ ู„ู‡ ุฐู„ูƒ” ูุฃู†ุฒู„ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ “ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก” ุฃู‰ ููŠ ุงู„ุฃุฏุจ ูู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… “ุฃุฑุฏุช ุฃู…ุฑุง ูˆุฃุฑุงุฏ ุงู„ู„ู‡ ุบูŠุฑู‡” ูˆูƒุฐู„ูƒ ุฃุฑุณู„ ู‡ุฐุง ุงู„ุฎุจุฑ ู‚ุชุงุฏุฉ ูˆุงุจู† ุฌุฑูŠุฌ ูˆุงู„ุณุฏูŠ ุฃูˆุฑุฏ ุฐู„ูƒ ูƒู„ู‡ ุงุจู† ุฌุฑูŠุฑ

Dan Ibn Murdawayh meriwayatkan dari jalur lain: menceritakan kepada saya Ahmad bin ‘Aliy al-Nasa’iy: menceritakan kepada saya Muhammad bin Hibbatullah al-Hasyimiy: menceritakan kepada saya Muhammad bin Muhammad al-Asy’ats: menceritakan kepada saya Musa bin Isma’il bin Musa bin Ja’far bin Muhammad berkata: menceritakan kepada saya ayah saya dari kakek saya dari Ja’far bin Musa dari ayahnya dari ‘Aliy berkata: seorang laki-laki dari anshar datang kepada Rasulullah saw dengan seorang perempuan, maka perempuan itu berkata: Ya Rasulallah sesungguhnya suaminya, fulan bin fulan al-Anshariy, telah memukulnya hingga berbekas di wajahnya. Rasulullah saw: Tidak boleh demikian, maka Allah swt menurunkan ayat “ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก”, yakni dalam pendidikan, maka Rasulullah saw bersabda: Saya bermaksud satu hal, tetapi Allah menghendaki yang lainnya. Begitu juga Qatadah, Ibn Jurayj dan Syaday menganggap hadits ini sebagai hadits mursal

 

ูˆู‚ุงู„ ุงู„ุดุนุจูŠ ููŠ ู‡ุฐู‡ ุงู„ุขูŠุฉ ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก ุจู…ุง ูุถู„ ุงู„ู„ู‡ ุจุนุถู‡ู… ุนู„ู‰ ุจุนุถ ูˆุจู…ุง ุฃู†ูู‚ูˆุง ู…ู† ุฃู…ูˆุงู„ู‡ู… ู‚ุงู„ ุงู„ุตุฏุงู‚ ุงู„ุฐูŠ ุฃุนุทุงู‡ุง ุฃู„ุง ุชุฑู‰ ุฃู†ู‡ ู„ูˆ ู‚ุฐูู‡ุง ู„ุฃุนู†ู‡ุง ูˆู„ูˆ ู‚ุฐูุชู‡ ุฌู„ุฏุช ….“

Al-Syu’biy mengatakan bahwa dalam ayat ini ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก ุจู…ุง ูุถู„ ุงู„ู„ู‡ ุจุนุถู‡ู… ุนู„ู‰ ุจุนุถ ูˆุจู…ุง ุฃู†ูู‚ูˆุง ู…ู† ุฃู…ูˆุงู„ู‡ู… yakni nafkah yang diberikan pada perempuan. Apakah kalian tidak mengetahui seandainya laki-laki menuduhnya (berzina) maka saya akan menyiksanya, tetapi seandainya perempuan menuduh laki-laki maka perempuan itu dikenai sangsi jilid.

 

Sementara itu, dalam tafsir al-Thabary, tafsir yang ditulis Abu Ja’far Muhammad bin al-Jarir al-Thabariy, dikenal dengan Imam al-Thabary,[5] memberikan penafsiran terhadap surat al-Nisa’ (4):34 dengan menggunakan pendekatan tafshiliy dan metode riwayat. Dalam hal ini al-Thabariy memberikan penafsiran ayat di atas dengan cara mengambil potongan ayat tertentu, kemudian dijelaskan secara tekstual yang didasarkan pada pendapat seorang ulama’, misalnya:

ู‚ุงู„ ุฃุจูˆ ุฌุนูุฑ : ูŠุนู†ูŠ ุจู‚ูˆู„ู‡ ุฌู„ ุซู†ุงุคู‡ : { ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก } ุงู„ุฑุฌุงู„ ุฃู‡ู„ ู‚ูŠุงู… ุนู„ู‰ ู†ุณุงุฆู‡ู… ููŠ ุชุฃุฏูŠุจู‡ู† ูˆุงู„ุฃุฎุฐ ุนู„ู‰ ุฃูŠุฏูŠู‡ู† ููŠู…ุง ูŠุฌุจ ุนู„ูŠู‡ู† ู„ู„ู‡ ูˆู„ุฃู†ูุณู‡ู… { ุจู…ุง ูุถู„ ุงู„ู„ู‡ ุจุนุถู‡ู… ุนู„ู‰ ุจุนุถ } ูŠุนู†ูŠ : ุจู…ุง ูุถู„ ุงู„ู„ู‡ ุจู‡ ุงู„ุฑุฌุงู„ ุนู„ู‰ ุฃุฒูˆุงุฌู‡ู… : ู…ู† ุณูˆู‚ู‡ู… ุฅู„ูŠู‡ู† ู…ู‡ูˆุฑู‡ู† ูˆุฅู†ูุงู‚ู‡ู… ุนู„ูŠู‡ู† ุฃู…ูˆุงู„ู‡ู… ูˆูƒูุงูŠุชู‡ู… ุฅูŠุงู‡ู† ู…ุคู†ู‡ู† ูˆุฐู„ูƒ ุชูุถูŠู„ ุงู„ู„ุฉ ุชุจุงุฑูƒ ูˆุชุนุงู„ู‰ ุฅูŠุงู‡ู… ุนู„ูŠู‡ู† ูˆู„ุฐู„ูƒ ุตุงุฑูˆุง ู‚ูˆุงู…ุง ุนู„ูŠู‡ู† ู†ุงูุฐูŠ ุงู„ุฃู…ุฑ ุนู„ูŠู‡ู† ููŠู…ุง ุฌุนู„ ุงู„ู„ู‡ ุฅู„ูŠู‡ู… ู…ู† ุฃู…ูˆุฑู‡ู†

 

Berdasarkan atas pandangan tersebut, al-Thabariy selanjutnya memberikan penafsiran ayat dengan menggunakan pendekatan normatif, atau pendekatan tafsir bi al-ma’tsur atau tafsir riwayat, dalam hal ini al-Thabari banyak memberikan tafsir ayat dengan hadits. Setelah melakukan analisis ayat dengan pendekatan tekstual, dalam hal ini menggunakan pendapat ulama’ (bi’alra’yi) yang diperkuat dengan penjelasa riwayat (bi al-ma’tsur), al-Thabary melanjutkan dengan pendekatan kontekstual dengan jalan memperhatikan dalam kondisi dan kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut (asbab al-nuzul) dengan menggunakan beberapa riwayat. Analisisnya kemudian diakhiri dengan analisis pendekatan bi al-ra’yi dan analisis kebahasaan dengan merujuk pada pendapat ulama.

Demikianlah secara bergantian metode tersebut diterapkan hingga pada akhir ayat. Barangkali karena pendekatan dan metode yang demikian ini, al-Suyuthiy menilai kitab ini sebagai kitab tafsir yang paling luas cakupan bahasannya dan analisisnya. Oleh karenanya, kitab ini mempunyai nilai lebih daripada beberapa kitab tafsir yang ada sebelumnya, bahkan kitab yang juga disebut dengan Tafsir Ibn al-Jarir ini dinilai oleh Imam al-Nawawi sebagai tafsir yang hingga masa al-Nawawi belum ada yang menandinginya.[6] Pandangan dan metode yang komprehensif tersebut didukung oleh pengetahuan yang tampak pada karya selain kitab tafsir, seperti kitab sejarah Islam yang sangat  terkenal dan menjadi rujukan hampir semua karya sejarah Islam setelahnya, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, kitab fiqh, tasawuf (Akhlaq), sastra, dan hadits.[7]

Hasil analisis terhadap kitab tafsir al-Thabariy ini, mendukung terhadap hasil penelitian Muhammad Bakar Isma’il, Mahmud al-Syarif, dan Muhammad Fadlil ibn Asyur yang menyimpulkan bahwa secara metodologis Tafsir al-Thabariy tampak komprehensif, menggunakan analisis kebahasaan (lughawiy), menggunakan riwayat yang dipilihnya secara hati-hati, dan menngunakan metode bi al-ra’y (analisis filosofis).[8] Sekalipun banyak penilaian positif terhadap kitab ini, namun menurut Ali al-Shabuni terdapat beberapa kelemahan metodologis dalam penggunaan riwayahnya, bahkan terdapat banyak riwayat isra’iliyah di dalamnya.[9]

Berhubungan dengan substansi tafsir al-Thabari terhadap ayat ini tampak sekali bahwa al-Thabari tergolong dalam pola pikir yang dikembangkan dengan menggunakan paradigma salaf yang ekstrem patriarkhi-sentris. Hal ini terlihat ketika al-Thabariy menafsiri ayat { ุงู„ุฑุฌุงู„ ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก } dengan bahasa yang seakan-akan menegasikan potensi perempuan sehingga memberikan hak pendidikan perempuan pada laki-laki ุงู„ุฑุฌุงู„ ุฃู‡ู„ ู‚ูŠุงู… ุนู„ู‰ ู†ุณุงุฆู‡ู… ููŠ ุชุฃุฏูŠุจู‡ู†, bahkan al-Thabariy hampir-hampir saja menghilangkan sifat kemanusiaan perempuan ketika menyatakan  ูˆุงู„ุฃุฎุฐ ุนู„ู‰ ุฃูŠุฏูŠู‡ู† ููŠู…ุง ูŠุฌุจ ุนู„ูŠู‡ู† ู„ู„ู‡ ูˆู„ุฃู†ูุณู‡ู… . Dalam hal ini, al-Thabariy memberikan kesempatan pada laki-laki untuk melakukan eksploitasi terhadap perempuan, karena posisi laki-laki dalam keluarga setingkat di bawah Allah swt., yang berhak mendapatkan pelayanan sepenuhnya dari perempuan. Oleh sebab itu, al-Thabari menafsiri ayat  { ูุงู„ุตุงู„ุญุงุช }  dengan ุงู„ู…ุณุชู‚ูŠู…ุงุช ุงู„ุฏูŠู† ุงู„ุนุงู…ู„ุงุช ุจุงู„ุฎูŠุฑ  yang berarti   ูŠุนู…ู„ู† ุจุงู„ุฎูŠุฑuntuk mendapatkan predikat perempuan yangู‚ุงู†ุชุงุช  dalam artian perempuan-perempuan yang taat pada Allah swt. Dan pada suaminya ู…ุทูŠุนุงุช ู„ู„ู‡ ูˆู„ุฃุฒูˆุงุฌู‡ู† .

Berdasarkan cara pandang yang demikian, al-Thabariy mengartikan kata         { ุญุงูุธุงุช ู„ู„ุบูŠุจ } dengan memberikan kewajibanb pada perempuan untuk menjaga diri dan harta suaminya ketika suaminya sedang tidak di rumah hingga suaminya kembali { ุญุงูุธุงุช ู„ุฃู†ูุณู‡ู† ุนู†ุฏ ุบูŠุจุฉ ุฃุฒูˆุงุฌู‡ู† ุนู†ู‡ู† ููŠ ูุฑูˆุฌู‡ู† ูˆุฃู…ูˆุงู„ู‡ู…atau dalam bahasa yang lain ุชุญูุธ ุนู„ู‰ ุฒูˆุฌู‡ุง ู…ุงู„ู‡ ูˆูุฑุฌู‡ุง ุญุชู‰ ูŠุฑุฌุน ูƒู…ุง ุฃู…ุฑู‡ุง ุงู„ู„ู‡ .

Sampai di sini dapat dikatakan bahwa tafsir al-Thabariy mendudukkan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga yang berhak mengatur, mendidik, dan mendapatkan pelayanan dari perempuan disebabkan keistimewaan yang diberikan oleh Allah swt. kepada laki-laki.

Terakhir, dalam kitab Fath al-Qadir, selengkapnya berjudul Fath al-Qadir: al-Jami’ Bayn Fannay al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir[10] memberikan penjelasan makna potongan ayat secara rasional dengan menggunakan analisis kebahasaan (nahwu dan sharraf), kemudian menjustifikasikan hasil penafsirannya dengan hadits, ayat dan pendapat para ulama’ sebelumnya. Pola penafsiran seperti ini dilakukan secara konsisten hingga pada akhir ayat.

Setelah menyelesaikan penafsirannya sendiri, al-Syaukaniy kemudian memberikan penjelasan makna ayat dengan menggunakan metode analisis bi al-ma’tsur dan sebab turun ayat serta pandangan ulama’. Melihat realitas demikian, Kitab Fath al-Qadir secara metodologis terlihat menggabungkan antara metode riwayah dan dirayah. Sekalipun metode analisis gabungan ini juga tampak dalam Tafsir al-Thabariy yang hadir jauh sebelumnya, namun kitab ini, seperti ditegaskan sediri oleh pengarangnya, memiliki keistimewaan dalam menyelesaikan hadits-hadits yang digunakan.[11]

Dalam kaitannya dengan substansi penafsiran terhadap ayat tersebut, al-Syaukaniy, sekalipun sudah tergolong ulama’ modern, masih tetap mempertahankan pola pikir dengan paradigma salaf yang patriarkhi-sentris. Sekalipun demikian, pola penafsirannya yang menggunakan analisis struktural dan kebahasaan telah membuka cakrawala pemikiran moderat dengan pola pikir sebab akibat. Hal ini terlihat ketika al-Syaukaniy memberikan penafsiran terhadap potongan ayat ุงู„ุฑุฌุงู„} ู‚ูˆุงู…ูˆู† ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก ุจู…ุง ูุถู„ ุงู„ู„ู‡ ุจุนุถู‡ู… ุนู„ู‰ ุจุนุถ  { dengan terlebih dahulu menjelaskan bahwa hak kepemimpinan laki-laki dalam keluarga merupakan hak tambahan {ุงู„ุนู„ุฉ ุงู„ุชูŠ ุงุณุชุญู‚ ุจู‡ุง ุงู„ุฑุฌุงู„ ุงู„ุฒูŠุงุฏุฉ } yang hanya diberikan padanya {ุงุณุชุญู‚ ุงู„ุฑุฌุงู„ ู…ุง ุงุณุชุญู‚ูˆุง ู…ู…ุง ู„ู… ุชุดุงุฑูƒู‡ู… ููŠู‡ ุงู„ู†ุณุงุก  } dikarena perempuan selalu membutuhkan laki-laki dalam mencari nafkah keluarga, kebutuhan sandang dan papan { ุฃูŠุถุง ูŠู‚ูˆู…ูˆู† ู…ุง ูŠุญุชุฌู† ุฅู„ูŠู‡ ู…ู† ุงู„ู†ูู‚ุฉ ูˆุงู„ูƒุณูˆุฉ ูˆุงู„ู…ุณูƒู† }.

Penafsiran yang moderat juga terlihat dalam penafsiran { ุจู…ุง ูุถู„ ุงู„ู„ู‡ ุจุนุถู‡ู… ุนู„ู‰ ุจุนุถ  { yang dinyatakan bukan hanya untuk laki-laki, melainkan juga perempuan }  ู„ู„ุฑุฌุงู„ ูˆุงู„ู†ุณุงุก }. Sekalipun demikian, al-Syaukaniy memberikan alas an bahwa kepemimpinan keluarga dikarenakan keistimeawaan laki-laki yang menjadi khalifah, raja, hakim, pemerintah, tentara perang, dan beberapa permaslahan social yang lain {ุฃูŠ ุฅู†ู…ุง ุงุณุชุญู‚ูˆุง ู‡ุฐู‡ ุงู„ู…ุฒูŠุฉ ู„ุชูุถูŠู„ ุงู„ู„ู‡ ู„ู„ุฑุฌุงู„ ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุณุงุก ุจู…ุง ูุถู„ู‡ู… ุจู‡ ู…ู† ูƒูˆู† ููŠู‡ู… ุงู„ุฎู„ูุงุก ูˆุงู„ุณู„ุงุทูŠู† ูˆุงู„ุญูƒุงู… ูˆุงู„ุฃู…ุฑุงุก ูˆุงู„ุบุฒุงุฉ ูˆุบูŠุฑ ุฐู„ูƒ ู…ู† ุงู„ุฃู…ูˆุฑ }.

Hingga di sini dapat diketahui bahwa dalam konteks kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, bagi al-Syaukaniy,  dihubungkan dengan sturktur sosial yang dengannya dapat dinilai pola tafsir yang relatif moderat dibandingkan dengan al-Thabariy dan Ibn Katsir. Sekalipun demikian, pola pikir dengan paradigma salaf yang patriarkhi-sentris masih tetap dikembangkan dalam menafsirkan ayat yang sedang dikaji ini sehingga memberikan porsi kepemimpinan laki-laki dalam keluarga secara mutlak.


[1]Baca selengkapnya dalam Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz XIV (Bairut: Dar al-Kutub al’Ilmiyah, t.th.),  22; Ahmad Muhammad Syakir, al-Ba’its al-Hatsits: Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits li al-Hafidh Ibn Katsir (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.),  12.

[2]Tafsir Tahlili adalah metode penafsiran al-Qur’an dengan mengikuti kronologis mushaf ‘utsmaniy. Metode ini oleh al-Shadr disebut dengan metode tajzi’iy. Lihat Muhammad Baqr al-Shadr, al-Tafsir al-Maudlu’iy wa al-Tafsir al-Tajzi’iy fi al-Qur’an al-Karim (Bairut: Dar al-Ta’rif li al-Mathbu’at, 1980),  10.

[3]Lihat Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siaysah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an (Jakarta: RajaGrafindo, 1994),  11.

[4]al-Imam Abi al-Fida’ al-Hafidh Ibn Katsir al-Damasyqiy, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz I (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), 542.

[5]Baca biografinya dalam Yaqut al-Hamawiy, Mu’jam al-Udaba, Jilid XVIII (Kairo: al-Halabiy, 1936),  39; Bandingkan dengan Andrew Reppin, Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford.: Clerendan Oxford Press, 1988),  47; Lihat juga William Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973),  296-297.

[6]Jalal al-Din al-Suyuthiy, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid II (T.tp: Dar al-Fikr, t.th.),  190-1.

[7]Selanjutnya baca Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an

[8]Beberapa pandangan metodologis ini dapat dilihat dalam Muhammad Bakar Isma’il, Ibn Jarir al-Thabariy wa Manhajuh fi al-Tafsir (Kairo: Dar al-Manar, 1991),  48; Mahmud al-Syarif, al-Thabariy wa Manhajuh fi al-Tafsir (Jeddah: Dar Ukaz, 1984),  210; Muhammad Fadlil ibn Asyur, Al-Tafsir wa Rijaluh (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, 1970),  17.

[9]Subhi al-Shalih, op. cit.,  291.

[10]Kitab ini ditulis oleh seorang ahli tafsir mutaakhkhirin yang mempunyai banyak predikat, Muhammad ibn ‘Aliy ibn Muhammad ibn ‘Abdillah al-Syaukaniy al-Shan’aniy al-Imam al-‘Allamah al-Rabbaniy al-Suhailiy, dikenal dengan nama al-Syaukaniy. Ia dilahirkan di Hijrah, Syaukan, Yaman pada hari Senin 28 Dzulqa’dah 1173 H. dan meninggal dalam usianya yang ke-77 (27 Jumadil Akhir 1250 H.., di Bahrain). Dalam bidang fiqh, al-Syaukaniy menganut paham Syi’ah Zaydiyah dan mengikuti mazhab salafiyah dalam bidang teologi. Baca Ali Musthafa al-Ghuraby, al-Firaq al-Islamiyyat wa Nasy’at al-‘Ilm al-Kalam ‘ind al-Muslimin (Mesir: t.p., t.th.),  289. Aliran ini, menurut penjelasan al-Syahrastaniy, adalah aliran syiah yang paling moderat. Aliran ini masih mengakui kekhalifahan Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, hanya saja ‘Aliy bin Abi Thalib lebih utama dari mereka yang disebutkan sebelumnya. Selengkapnya lihat dalam Ahmad al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal, Jilid I (Bairut: Dar al-Ma’arif, t.th.),  154; Mazhab salaf adalah aliran kalam yang memegang al-Qur’an dan Hadits, lebih mendahulukan riwayah daripada dirayah (kajian). Diantara tokohnya ‘Abd Allah bin ‘Abbas (w. 66 H. / 688 M.), ‘Abd Allah bin ‘Umar (w. 74 H./694 M), ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (w. 101 H/720 M), dan Ja’far al-Shadiq (w. 148 H/765 M). Baca Ibrahim Madkour, “Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhaj wa Tathbiquh, al-Juz al-Tsani,” diterjemahkan Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),  36-37.

[11]al-Syaukaniy, Fath al-Qadir, juz I (Mesir: Dar al-Fikr, 1973),  12.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *