Walimat al-’Arus

Walimat al-’Arus

Pada suatu hari Nyik (panggilan bagi ibu saya) pergi seharian, entah kemana perginya karena sampai menjelang maghrib belum juga datang. Sebagai seorang yang banyak mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat, Nyik sering pergi, tetapi hari ini agak berbeda dengan yang biasanya. Sampai adzan maghrib dikumandangkan, Nyik belum juga datang. Saya agak was-was dibuatnya dan akan segera mencarinya entah kemana. Namun sebelum mobil DX tua kesangan saya itu meluncur, tiba-tiba Nyik datang dengan wajah yang agak kusut, tampak lelah dan kesal, dengan membawa oleh-oleh untuk cucu-cucunya tercinta.

“Kasihan Dur Rahman,” tiba-tiba Nyik menggerutu sebelum sempat tanyakan datang dari mana. Seperti biasanya, dalam kondisi begini saya biarkans aja beliau menyelesaikan kalimatnya agar bisa mengeluarkan uneg-uneg yang ingin disampaikan. Sambil merebahkan dirinya di atas karpet biru tua di serambi tengah, Nyik kemudian melanjutkan ceritanya bahwa dia baru datang dari rumah Dur Rahman. Tapi mengapa kasihan, apakah elah terjadi sesuatu pada suami dari salah seorang alumni yang berpofesi sebagai tukang foto itu? Begitu batin bertanya-tanya.

Sejak tadi pagi, begitu cerita Nyik, beliau membantu di rumah Dur Rahman karena ada acara resepsi pernikahan putrinya. Pernikahannya dengan seorang almuni dari Sidogiri, rupanya tidak mendapatkan respon dari kalangan kyai. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai pembuat gambar kenangan bagi hampir setiap kegiatan di desanya, Dur Rahman telah mempersiapkan acara resepsi perikahan putrinya itu lumayan besar, bahkan menurut Nyik, terkesan berlebihan kalau dilihat dari kelas ekonominya. Para kyai desa itu tidak banyak yang hadir, begitu juga dengan tetangga yang berada di sekitar. Sebagian kyai yang berkenan dan bisa datang tidak saat resepsi pernikahan, tetapi datang pada pagi hari karena banyak kegiatan yang sama di daerah yang lain.

Ketidakhadiran para kyai dan masyarakat pada acara resepsi pernikahan itu, masih menurut cerita Nyik, mengakibatkan acara resepsi kurang sakral dan banyak songgong (dalam bahasa Madura berarti bawaan oleh-oleh yang biasa diberikan seusai acara pernikahan) tidak habis terbagi, apalagi pengantar kemanten putra hanya 2 mobil yang berisikan sekitar 15 orang. Dari 150 songgong yang dipersiapkan, hanya separo yang habis terbagi. “Itu pun karena diantarkan ke rumah-rumah para kyai dan beberapa kolega yang tidak smpat hadi saat itu,” begitu menurut Nyik selanjutnya. Mengapa Nyik mengatakan kasihan?

Selain dari masalah songgong yang konsumtif itu, Nyik pasti membandingkan dengan acara resepsi yang biasanya dilaksanakan oleh orang-orang terhormat, keluarga kyai atau orang-orang kaya. Pelaksanaan resepsi yang dilaksanakan oleh dua keluarga terhrmat itu selalu mendapatkan respon besar dari masyarakat.

Satu ketika, saya pernah berpapasan dengan rombongan mobil yang jumlah hingga mencapai 20 mobil dari berbagai merk yang disebut masyarakat desa mobil mewah. Rombongan itu berjajar dengan rapi, tapi dengan “angkuhnya” menyingkirkan para pengguna jalan lainnya, termasuk saya. Setelah sebuah mobil Innova melewati mobil DX tua saya yang sedang parkir, saya melihat seseorang yang sudah kenal dengan akrab. “Mau kemana?,” begitu saya bertanya pada orang itu. “Mau ngantarkan anak Haji Hadratul ke Putat Lor untuk resepsi,” begitu jawabnya sambil menghentikan mobilnya dan segera melanjutkan karena mobil yang di belakangnya selalu membunykan kelaksonnya.

Peristiwa seperti itu tidak asing lagi bagi saya, karena keluarga orang sekelas Haji Hadlratul memang selalu melaksanakan acara resepsi pernikahan anaknya dengan sangat meriah dan mewah. Bahkan semakin dekat jarak yang ditempuh, seperti ke Putat Lor yang hanya berjarak 3 Km dari desa saya, kian banyak pula yang berkenan untuk mengantarkan. Masyarakat pun kemudian menilai dan atau merasakan resepsi pernikahan model orang terhormat lebih sakral dan meriah. Bagi keluarga kyai, kesakralan dan kemewahan resepsi pernikahan anaknya kian disebut lebih sakral karena dihadiri oleh banyak kyai dan orang-orang kaya yang juga terhormat di mata masyarakat.

Pada suatu hari, saya pernah menghadiri undangan Gus Muttaqien, anak salah seorang kyai di Bululawang. Gus Muttaqien adalah seorang alumni sebuah pesantren terkenal di Jawa Timur dan diambil menantu oleh Sang Pengasuh, karena kedekatan dan kecerdesannya. Sekalipun kedatangan sang penganten sudah terlambat lebih dari 3 jam, tidak seorang pun yang meninggalkan tempatnya karena suguhan dan nada-nada Qashidah yang mengalunkan lagu-lagu shalawat. Ditambah lagi dengan keindahan, keluasan, kesejukan dan tata ruangan resepsi, serta kemewahan podium kehormatan yang panjang mencapai 5 meter dan tinggi 3 meter, dengan hiasan lampu dan air mancur yang serasi, membuat para undangan merasa senang dan tidak jenuh, sekalipun duduk menunggu hingga berjam-jam lamanya.

Menjelang adzan shalat Ashar, berarti sudah 3,5 jam para undangan menunggu, tiba-tiba terdengar aba-aba para undangan dimohon untuk berdiri dilanjutkan dengan shalawat. Para undangan beridiri dengan khusyu’ sambil sekali-kali menoleh ke arah pintu utama kehadiran sang kemanten. Dari kejauhan terdengar suara sekelompok rebana pengantar saling bersautan dengan suara rombongan rebana penerimanya.

Dari kejauhan, saya melihat Gus Muttaqien bergandengan dengan sang istri. Jas hitam yang dipakainya terlihat menambah ketampanan dan kewibawaan Gus Muttaqien. Sang penganten putri terlihat menggunakan pakaian kemanten berindai warna keemasan, tampak serasi dengan kecantikan gadis yang memakainya. Dua gadis cantik dengan pakaian mewah, sibuk mengatur juntaian baju kemanten putri yang mencapai hingga 2 meter ke belakang. Sungguh suatu resepsi pernikahan yang terkesan sangat mewah hingga membuat para undangan tidak khusyu’ lagi karena sibuk berdecak atau bercerita keserasian dan keindahan pakaian kemanten berdua.

Setelah kemanten duduk di atas pelaminan kehormatan, para undangan dipersilahkan untuk duduk kembali. Para kyai terlihat duduk di barisan paling depan. Pola dan warna serban yang dipakai para kyai, menambah kekaguman para undangan karena masing-masing mejadi simbol kehormatan para beliau. Sebagian kyai menggunakan serban di kepala dan di pundaknya, sebagian yang lain memakai serban dengan pola dan gaya Raja Fahd menjuntai hingga ke dadanya, sedangkan yang lain lagi memakainya dengan gaya yang lain. Warna dan pola itu seakan memberikan inspirasi riual dan cahaya spritual sehingga dapat menambah kesakralan acara resepsi pernikahan itu. Sungguh kondisi ini pasti berbeda dengan sauasana pesta pernikahan yang diceritakan Nyik tadi!

Bagaimana sesungguhnya norma atau doktrin pelaksanaan resepsi pernikahan yang dalam Islam disebut dengan walimat al-‘arus? Resespi pernikahan dalam Islam disebut dengan walimah karena berasal dari kata al-walmu (berarti berkumpul), karena acara tersebut merupakan acara berkumpulnya suami dan istri. Oleh sebab itu, walimatul ‘arus biasa dilaksanakan ketika telah terjadi hubugan biologis antara suami dan istri, atau pada saat perkawinan atay akad nikah,[1] sebagai wujud rasa syukur dan do’a atas terlaksananya sebuah pernikahan.[2]

Pelaksanaan resepsi pernikahan diantaranya didasakan atas sabda Rasulullah saw. أعْْلِنُوْا هَذَا النِكاحِ وَاجْعَلُوْهُ فِى اْلمَسَاجِدِ (Umumkanlah perkawinan, selenggarakanlah di masjid dan bunyikanlah rebana),”[3] dan sabda Rasulullah Saw. فَصَْل مَا بَيْنَ اْلحَلآ لُ الدَّ فُ وَالصََََََََََّوْتُ (Perbedaan antara yang halal (kawin) dengan yang haram (zina) ialah adanya rebana dan bunyi-bunyian).”[4] Sekalipun secara tekstual hadits tersebu menyiratkan walimah diperbolehkan, bahkan dianjurkan, para ulama’ fiqh berbeda pendapat mengenai hukum pelaksanaan walimah ini.

Sebagian ulama’ memandang bahwa melaksanakan resepsi pernikahan hukumnya wajib, karena berdasarkan atas sabda Nabi saw kepada Abdurrahman:  أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَا ةِِ (adakanlah pesta walau hanya dengan seekor kambing.” (HR.           Muslim),[5] tetapi berdasarkan atas sabda Nabi saw. لَيْسَ فِى اْلمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَكَا ةِ (tidak ada kewajiban (hak) pada harta kecuali zakat)”[6] maka sebagian ulama’ menganggap bahwa pelaksanaan walimah hukumnya sunat.[7] Sementara itu, mayoritas ulama’ ahlis sunnah berpendapat bahwa hal itu sunnah muakkadah  (sangat dianjurkan), berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Ahmad dari Abdurrahman bin Auf, Anas, dan Buraidah.[8]

Terlepas dari kontradiksi pandangan tersebut, dalam melaksanakan atau menghadiri sebuah walimah penting diingat  dan diperhatikan hal-hal berikut: [9]

a.         Hendaklah walimah diselenggarakan sesuai dengan kemampuan, jangan berlebih-lebihan  dan jangan memboroskan hal-hal yang dipandang tidak perlu.

b.         Menyelenggarakan walimah harus dengan ikhlas, jangan mengharap sumbangan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.

c.         Tamu-tamu harus disambut dengan rasa hormat dan terima kasih, jangan membedakan antara yang membawa sumbangan atau tidak, ataupun antara yang kaya dan yang miskin.

d.        Menyelenggarakan hiburan diperbolehkan, asal tidak bertentangan dengan ajaran agama.

e.         Para tamu jangan sampai menolak hidangan yang disuguhkan, kalau senang dimakan, kalu tidak senang dibiarkan.

f.          Sebaiknya menyelenggarakan walimah diadakan sekali saja.

Begitu para ulama’ memandang penting sebuah resepsi pernikahan, karena tujuan dari resepsi pernikahan itu ialah untuk mengumumkan sebuah perkawinan, menampakkan kegembiraan pada sebuah peristiwa yang dihalalkan, dan mendorong yang belum nikah supaya berani mengikuti jejaknya.[10] Cara mengumumkan sebuah perkawinan diperknankan menyesuaikan dengan adat dan tradisi setempat, selama tidak ada perbuatan maksiat, seperti menyediakan minuman keras, pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan.[11] Sekalipun demikian, pelaksanaan sebuah walimah sebaiknya diadakan secara sederhana dan dalam batas-batas yang dibenarkan oleh syariat Islam. Tegasnya, sebuah walimah tidak boleh diadakan secara berlebihan, bertujuan untuk memamerkan kekayaan, dan tidak boleh berhutang yang memberatkan diri. Dalam acara resepsi juga dibenarkan dengan jalan gotong royong yang bertujuan membantu sebuah pelaksanaan resepsi walimah.[12] Di samping tujuan tersebut, sebuah pesta pernikahan juga terdapat beberapa hikmah, seperti mengumumkan akad nikah, melaksanakan perintah Rasulullah saw. dan meneladani perbuatan beliau, memberi makan fakir miskin, terwujutnya silaturahimi, menampakkan dan mensyukuri allah SWT atas limpahan nikmat.[13]

Karena besarnya hikmah dari sebuah resepsi pernikahan, maka menghadiri undangan sebuah walimah pernikahan hukumnya wajib,[14]  dengan berdasarkan pada sebuah hadits إذَا دُعِيَ آحَدُ كُمْ إلَى وَ لِيْمَةٍ فَلْيَأْ تِهَا   (Jika salah seorang diantaramu diundang resepsi walimah hendaklah ia datangi),[15] dan hadits وَ مَنْ تََرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَ رَسُوْلُهُ   (Barang siapa meninggalkan undangan, sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya…”, serta hadits Abu Hurairah yang berbunyi لَوْ دُعِيْتُ إلىَ كُرَاعٍ لآ جَبْتُ وَ لَوْ اُهْدِيَ إلَيَّ ذِرَاعُ لَقَبِلْتُ   (Andaikata aku diundang untuk makan kaki kambing, niscaya saya datangi. dan andaikata aku dihadiahi kaki depan kambing niscaya saya terima).[16]

Sekalipun demikian, kita juga perlu memperhatikan sebuah riwayat yang menjelaskan peristiwa berikut:

 قَالَ أَنَسَ تَزَّوَجَ الَنبِيُ (ص) فَدَخَلَ بِأَهْلِهِ فَصَنَعَتْ اُمِّى امّ سُليْمٍ حَيْساً فَجَعَلتْهُ فىِ تَوْرٍ فَقَالَتْ يَا اَخِى إذْهَبْ بِهِ إلَى رَسُوْل (ص)  فَذَهَبْتُ بِهِ فَقَالَ ضَعْهُ  ثُمّ قَالَ : اُدْعُ فُلآ ناً وَ فُلآ ناً وَ مَنْ  لَقَبِْتَ فَدََعَوْتُ مَنْ  سَمَّ وَ مَنْ لَقِيْتُ

            Anas berkata: Nabi saw. kawin lalu masuk kepada istrinya, kemudian ibuku membuatkan kue untuk Ummu Sulaim, lalu ditempatkan pada bejana dan berkata: ”Wahai saudaraku, bawalah ini kepada Rasulullah Saw…lalu aku bawa kepada beliau. Rasulullah kemudian bersabda: “Letakkanlah, dan undanglah si anu, si anu, dan orang-orang yang kau temui.” Saya kemudian mengundang orang-orang yang disebutkan dan yang temui.[17]

 

Berdasarkan ini, undangan walimah bersifat umum, bukan tertuju pada orang-orang tertentu, maka mendatangi undangan tersebut tidak wajib.[18] Lebih tegasnya, sebagaimana disampaikan Imam al-Baghawi, para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menghadiri undangan sebuah walimah. Sebagian diantaranya memandang bahwa menghadiri walima pernikahan sunnah, sedangkan ulama lain mewajibkannya, bahkan menganggap berdosa bagi yang tidak menghadirinya tanpa alasan yang dibenarkan syara’. Pandangan ini berdasarkan atas sebuah riwayat Abu Hurairah ra. Yang menyaakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda: شُرَّ طَعَامِ اْلوَلِيْمَةََِ يُمَنَعُهَا مَنْ يَأْ تِهَا ويُدْعا إلْيهَا مَنْ يَأ بَا هَا وَمَنْ لَمْ يُجِبْ الدَّعْوَ ةَ فقَدْ عَصَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ (Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, dimana orang yang mau mendatanginya dilarang mengambilnya, sedang orang yang diundang menolaknya. dan barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya).”[19]

Sebagian ulama berpandangan bahwa menghadiri undangan walimah hukumnya wajib kifayah dan sebagian yang lain memebrikan hukum sunnah.        Sementara sebagian golongan syafi’iyah berpendapat wajib, Ibnu Hazm menyangkal pandangan karena hadits-hadits di atas memberi pengertian wajibnya menghadiri setiap undangan baik undangan perkawinan atau lain-lain.[20] Sekalipun menghadiri undangan dihukumi wajib, menurut Imam al-Baghawai, tetapi memakan hidangan yang disediakan dalam sebuah resepsi pernikahan tidak diwajibkan, melainkan disunnahkan, jika tidak sedang berpuasa.[21]

Terlepas dari kontradiksi pandangan hukum menghadiri sebuah walimah, maka perlu kta perhatikan bahwa bagi ulama’ yang mewajibakan masih mempunyai syarat, seperti yang mengundang harus beragama Islam dan datang sendiri (atau yang mewakilinya), undangan tidak bersifat deksreminatif (semua keluarga, tetangga, orang-orang yang kaya dan miskin turut serta diundang), tidak terjadi kedhaliman dan pekerjaan munkar dalam acara.[22] Oleh sebab itu, apabila apabila undangan hanya dikhususkan bagi kaum hartawan, tidak mencakup kaum fakir miskin, kedatangannya semata-mata karena menginginkan sesuatu dari pengundang, atau karena takut kepadanya, telah menerima undangan dari orang lain sebelumnya, jarak menuju ke tempat undangan terlalu jauh dan tidak ada kendaraan yang memadai, biaya yang harus dikeluarkan cukup memberatkan, atau perjalanan ke sana amat melelahkan atau kurang aman, maka diada kewajiban bagi orang yang diundang.[23]


[1]Baca misalnya dalam Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulus Salam III (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), 552; bandingkan dengan Muhammad Thalib, 25 Tuntunan Upacara Perkawinan Islami (Yogyakarta: Ma’alimul Usroh, 2006), 60, dimana dia berpandangan bahwa walimat berbeda dengan resepsi perkawinan. Dalam acara walimah yang diutamakan adalah makan bersama yang biasanya diadakan setelah akad nikah, sedangkan resepsi perkawinan merupakan keramaian yang diadakan untuk memeriahkan perkawinan dan pelaksanaannya bergantung pada keinginan.

[2]Soemiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty,1982), 60.

[3]al-Turmudzi, Sunan al-Tirmidzi, Juz II (Beriut, Libanon: 1983), 247.

[4]Jalaluddin Abu Bakar Al Syuyuthi, Al Jami’ al-Shaghir Fi Ahadits al-Basyir al-Nadzir, Juz II (Surabaya: Al Hidayah,1995),75.

[5]Imam Muhammad bin Ismail al Kahlani, Subulus Salam (Bandung: Dahlan, 1995), 154.

[6]Abi Abdillah Muhammad, Sunan Ibnu Majah Juz I (Bairut, Libanon: Darul Fakri, 1995), 597.

[7]Moh. Rifa’i dan Moh. Zuhri, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar (Semarang: Toha Putra, 1978), 297.    

[8]Baca mengenai hal ini dalam Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam Untuk MencapaiKeluarga Sakinah (Bandung: Al Bayan 1996), 210.

[9]Soemiyati, Op. Cit., 62.

[10]H.S.A. al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), 59- 60.

[11]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 7 (Bandung:Al Ma’arif, 1986), 84.

[12]Muhammad Thalib, 25 Tuntunan Upacara Perkawinan Islami (Yogyakarta: Ma’alimul Usroh, 2006), 63.              

[13]Kholid bin Ibrahim al-Shaq’abi, Hukum-Hukum Walimah (Solo: al-Qowam, 2005), 6.

[14]Lihat dalam Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7 (Bandung: Al Ma’arif, 1993), 163.

[15]Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Matn Al Bukhari J uz III (Beirut, Libanon: tth.), 255

[16]Idris Ahmad,  Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta: Karya Indah, 1986), 162.

[17]Abi Abdillah, Op, Cit.,159.

[18]Baca Sayyid Sabiq, Op, Cit., 168.

[19]Malik bin Anas, al-Muwattha’, Juz II (Bairut: Darul al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), 546.

[20]Ibid., 101.

[21]Syaikh Hasan Ayyub, ”Fiqhul Usrati Al Muslimati” , diterjemahkan M. Abdul Ghaffar, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al Kaustar, 1999), 100.

[22]Moh. Rifa’i dan Moh. Zuhri, Terjemah Khulashah Khulashah Kifayatul Akhyar (Semarang: Toha Putra, 1978), 298-9.

[23]Muhammad Bagir al-Hibsyi, Fiqih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), 74.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *