Kita Butuh Fiqh Keindonesiaan

Kita Butuh Fiqh Keindonesiaan

Pada suatu malam, saya menerima seorang mantan mahasiswa Fakultas Syari’ah bersama adik dan anaknya yang baru berumur 5 tahun. Wajah dan performance ketika menjadi mahasiswa masih tampak dengan jelas dalam kerut wajah hitam dan rambut panjang yang menutupi bahunya. Performance “pemberontak” yang tidak saya sukai itu belakangan memang sering datang untuk berdiskusi ngalor-ngidul, mulai dari perkembangan kampus, organisasi, hingga terkadang masalah sosial dan ilmu pengetahuan.

Semakin sering, kian senang saya dengan kehadirannya, karena suatu ketika ada pandangan sang penberontak ini menarik perhatian yang terkesan dekonstruktif dan nakal. Di antara hal yang menarik perhatian, segera saya catat setelah kepergiannya, kemudian saya renungkan dan dicarikan jawabannya. Di antara yang saya catat itu, saya temukan cara pandang dia tentang keluarga yang cukup unik dan menarik. Misalnya, sebagai seorang anak yang terlahir dan dibesarkan di lingkungan santri, sang pemberontak mempunyai pemikiran yang berbeda dengan kebanyakan santri lainnya. Dalam pemilihan jodoh, dia tidak memilih istri dari kalangan santri yang kuat agamanya, sebaliknya dia memilih seorang gadis “muallaf”. Dalam memelihara keimanan anaknya, dia memilih cara menelantarkan iman anaknya, misalnya anak yang baru berusia 5 tahun itu dilatih mengkonsumsi miras dan sering di bawa ke dugem. Sungguh cara pandang santri yang bisa jadi dianggap keluar dari ril-ril kepesantrenan!!!

Mendengar itu, saya mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya mengapa Sang Pemberontak berpikiran seperti itu? Apa yang dia pikirkan tentang sebuah pernikahan? Bukankah di kampus dia sudah di-dulangi dengan seperangkat konsep keislaman yang kuat? Apakah ilmu pengetahuan yang dia pelajari dengan baik tidak bisa bermanfaat dalam kehidupannya sendiri pun?

Pertanyaan-pertanyaan itu, dan segerobak pertanyaan lainnya, sering menggangu hingga akhirnya saya sampaikan juga padanya dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Sekalipun seadainya saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan, begitu pikir saya saat itu, setidaknya jawabannya dapat membuat saya tenang dan mengurangi buruk sangka pada orang lain.

Sambil menghirup kopi panas lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, dia mulai menjelaskan bahwa pernikahan bagi dia tak lain untuk melanjutkan generasi kemanusiaannya. “Terlalu egois rasanya,” katanya lebih lanjut, “kalau kemudian setiap santri menikah dengan orang yang sudah jelas agamanya. Bagi saya, berkeluarga merupakan sebuah perjuangan hidup, karenanya dasar kasih, cinta, kepercayaan dan dorongan seorang istri untuk meneruskan hidup ini menjadi pilihan utama dalam menentukan pasangan hidup.”

“Berkeluarga itu,” katanya lebih lanjut sambil mengepulkan asap rokoknya jauh-jauh hingga suaranya terdengar agak mendesah, “tujuannya ya untuk memberikan makna bagi kehidupan. Tapi bagaimana bisa menemukan makna kalau semuanya sudah sama? Bukankah makna itu dapat ditemukan ketika ada perbedaan? Bukankah kemajuan itu, kata bapak dulu ketika mengajar saya, bisa ditemukan setelah adanya perjuangan? Lha, dalam rumah tangga yang sudah sama pikiran, akidah dan pandangan hidupnya, apa bisa maju keluarga itu, pak?”

“Lalu mengapa dalam mendidik dan menjaga keimanan anak justeru diberi jalan kegelapan?” saya balik bertanya dan tidak berusaha menjawab pertanyaannya yang memang tidak butuh dijawab itu. Sebelum menjawab pertanyaan ini, dia tersenyum sambil melihat pada anak jagoannya itu.

“Anak saya ini laki-laki, pak! Dia perlu mempunyai pengalaman gelap sejak kecil agar mengerti bahwa hidup ini pahit dan gelap. Dia perlu memahami dunia ini fana dan tempat bermain-main…,” dia berhenti berbicara karena membuang ingus anaknya yang pilek karena masuk angin dan batuk-batuk setelah dibonceng vespa tahun 70-annya dari jarak yang cukup jauh.

“Kalau anak kita dibiarkan manja dengan kenyamanan dan ketenangan, kalau anak kita hanya tahu masjid dan mushalla, kalau anak kita hanya tahu rumah dan halamannya, bagaimana bisa dia mengerti nasib orang lain? Bagaimana mungkin muncul rasa kemanusiaan dan solidaritas terhadap orang miskin? Bagaimana bisa dia mengerti bahwa dunia gelap tidak baik? Bukankah dia akan mengerti bahwa khamr itu tidak baik setelah dia merasakannya? Bukankah pengetahuan orang yang merasakan lebih benar daripada orang yang tidak pernah merasakan?…” begitu penjelasannya sambil terus menerus menggunakan kalimat tanya, seperti menirukan pola pengajaran dalam kelas logika dan filsafat yang acapkali saya terapkan…!

“Untuk membuat ketenangan yang sejati sebagaimana tujuan pernikahan, bagi saya harus mengalami konflik dalam keluarga lebih dulu. Agar terjadi konflik, kita harus memilih pasangan yang tidak sepadan, karena kalau sepadan tidak akan terjadi konflik, dong pak! Untuk membuat anak kita mempunyai iman yang dalam, kita harus memberikan pengalaman dan membuat anak kita mengerti bagaimana kehidupan tidak beriman itu tidak nyaman bagi kehidupannya…” begitu terus dia menjelaskan sampai-sanpai saya tidak mengerti apa yang dia maui, tetapi jelas dia terpengaruh oleh paradigma positivistik.

Setelah mendapatkan penjelasan dari sang pemberontak, saya mencoba mencari-cari akar pengetahuan yang melatarbelakangi pemeikirannya itu. Saya mulai dari definisi pernikahan yang sering dibaca dan menjadi rujukan mahasiswa, terutama Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan pelajaran wajib di Fakultas Syari’ah. Setelah saya amati dengan seksama, term nikah, yang di Indonesia biasa disebut dengan perkawinan, yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), diartikan sebagai sebuah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[1]

Definisi ini hanya memberikan pengetahuan bahwa nikah merupakan sebuah transaksi (akad) yang bersifat idabah (ubudiyyah). Pengetahuan ini tentu tidak memberikan pemahaman yang banyak kepada pembacanya tentang apa yang yang dimaksudkan dengan pernikahan. Tidak menemukan jawaban di KHI, saya kemudian merambah ke dalam beberapa literatur lain yang ditulis pemikir muslim Indonesia.

Dari hasil pencarian beberapa literatur, saya tertarik pada definsi yang menyatakan bahwa perkawinan sebagai suatu akad yang mempunyi arti pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan kata inkah (menikahkan) atau tazwij (mengawinkan), atau akad antara calon suami isteri untuk memenuhi hajat biologis sesuai dengan ketentuan syari’at Islam. Dua pengertian ini sangat mungkin dipengaruhi analisis terhadap asal kata nikah yang secara hakiki berarti akad dan secara majazi berarti bersenggama.[2]

Pemberian pengertian tersebut, bisa ditemukan juga dalam beberapa definisi nikah yang terdapat beberapa kitab fiqh. Pengertian nikah dalam pandangan ulama’salaf dapat dirangkumkan sebagai berikut:

“Nikah ialah akad dengan mengunakan lafaz inkah bermakna tazwij yang dapat memberikan akibat hukum halalnya laki-laki mengambil manfaat bersenang-senang atau melakukan istimta’ (bersetubuh) dengan seorang wanita, atau sebaliknya, saling tolong-menolong, dan menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.”[3]

 

Beberapa kata yang saya garis bawahi dalam beberapa definisi tersebut, menjadi perhatian khusus saya untuk mencari rujukan kata  “untuk melanjutkan generasi kemanusiaan” yang dimaksudkan oleh Sang Pemberontak. Saya pikir kata-kata “untuk melanjutkan generasi kemanusiaan” tidak termuat dalam kata-kata “pembolehan melakukan persetubuhan, memenuhi hajat biologis, atau memberikan akibat hukum halalnya laki-laki mengambil manfaat bersenang-senang atau melakukan istimta’ (bersetubuh) dengan seorang wanita, atau sebaliknya,” yang terdapat dalam beberapa definisi yang disebutkan tadi.

Dalam kata “generasi kemanusiaan” tidak hanya menunjukkan pada dilahirkannya seorang anak manusia yang disebabkan oleh hubungan biologis yang disahkan secara hukum, sebab perkawinan dalam agama lain pun juga akan berdampak dan menghasilkan yang sama, yakni sebuah hubungan biologis yang dibenarkan oleh lingkungan dan diterima oleh masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini saya memunyai pengalaman yang baik untuk dapat menjelaskan bahwa agama yang lain juga berdampak penerimaan masyarakat terhadap sebuah pasangan.

Di tempat dimana saya tinggal sekarang, di sebalah kiri rumah saya hidup dengan tenang pasangan suami-istri dari agama Katolik. Pasangan tersebut mempunyai seorang anak laki-laki yang kini berusia sekitar 15 tahun dan sedang duduk di tingkat SLTP sebuah sekolah katolik. Dengan dua sepeda motor yang dimiliki keluarga ini, mereka mempunyai rutinitas kehidupan yang sama dengan keluarga lain. Pada pagi hari sang suami pergi ke kantor dan sang istri pergi ke pasar, sedangkan sang anak pergi ke sekolah. Pada siang hari, mereka berkumpul di rumah sambil sesekali saya lihat sang anak pergi keluar untuk belajar atau berolah raga. Sejak saya tinggal di rumah kreditan sejak 2 tahun silam, saya belum pernah mendengar suami-istri ini bertengkar, hanya sesekali saya mendengar suara sang istri agak keras untuk mengingatkan pada anak laki-lakinya yang sudah menjelas puber itu.

Di depan rumah saya sebelah kanan, hidup sepasang suami-istri dari agama Kristen Protestan yang juga tampak bahagia dan harmoni. Saya sering melihat pasangan tersebut berkebun dan membersihkan halaman rumahnya. Sekali-kali tampak beberapa orang masuk dan keluar sambil bersenda gurau dengan sang istri yang sedang hamil itu. Sama dengan keluarga sebelah kiri rumah, dalam keluarga ini tampak bahagia dan tidak pernah terdengar pertengkeran sejak mereka ngontrak rumah 6 bulan yang lalu.

Berbeda dengan dua keluarga itu, di depan sebelah kiri rumah saya, ada beberapa mahasiswa (semuanya laki-laki) yang mengkontrak satu rumah. Kehidupan mereka sebagai mahasiswa terkesan mewah, karena di samping sepeda motor yang dimilikinya, mereka sering saya lihat makan mewah dan acap kali menelpon dengan menggunakan HPnya yang seharga Rp. 2.500.000,-. Ketika anak kost ini sering menerima teman perempuannya menginap di rumah itu, entah apa yang mereka lakukan di dalam, masyarakat langsung protes sama Ketua RT dan meminta untuk membuat peraturan dilarang menginap bagi anak-nak perempuan di rumah kost-nya.

Dari pengalaman ini, saya berpikir bahwa masyarakat muslim pun mau menerima dan tidak pernah melarang hubungan model keluarga dari ajaran agama lain. Kalau begitu, apa bedanya antara pernikahan yang disahkan oleh agama Islam dan agama yang lain? Kalau hanya karena disahkannya hubungan biologis, bukahkah kedua keluarga itu diterima oleh masyarakat, bahkan yang beragama Islam juga? Kalau dipahami dari pengetahuan definitif yang saya sebutkan di atas, tampaknya pernikahan dalam Islam tidak mempunyai perbedaan yang jelas dari agama yang lain, bahkan mungkin sama juga dengan perkawinan adat yang tidak mempunyai aturan agama samawi sekalipun.

Apakah perbedaan itu terletak pada nilai ritual dan spritualnya sehingga memberikan kesenangan dan ketenangan pada mereka yang mengerjakan? Saya pikir kok juga bukan, sebab sebagaimana tergambar pada beberapa kasus pada bagian sebelum ini, nilai-nilai ritual, spritual, kesenangan dan ketenangan diperoleh masyarakat bukan hanya melalui ajaran agamanya, tetapi juga melalui ketentuan dan norma susila yang mereka buat sendiri, dimana kita meyhebutnya hukum adat atau norma susila tak tertulis. Apakah kemungkinan perbedaan itu dapat ditemukan pada tujuan pernikahannya, bukan pada pengetahuan definitifnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya melihat pada tujuan perkawinan, sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam, dimana disebutkan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[4]  Ada bebeapa kata kunci pada tujuan ini, (1) mewujudkan kehidupan rumah tangga; (2) sakinah; dan (3) mawaddah dan rahmah.

Jika mewujudkan kehidupan rumah tangga menjadi tujuan dalam pernikahan dalam Islam, saya pikir, tujuan ini juga bisa dipenuhi oleh agama lain. Tata cara perkawinan adat yang juga mempunyai tujuan ialah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan (patrilinial), keibuan (matrilinial), atau keibu-bapakan untuk kebahagiaan rumah tangga, sehingga dapat memperoleh nilai-nilai adat budaya, kedamaian, dan mempertahankan kewarisan sesuai dengan masing-masing daerah. [5]

Dengan kalimat “mempertahankan dan meneruskan keturunan” maka perkawinan menurut hukum adat juga mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan pernikahan dalam Islam. Apalagi tujuan ini terus dapat dipertahankan hingga sekarang, kecuali pada masyarakat yang bersifat parental, dimana ikatan kekerabatannya sudah lemah seperti yang kita temukan dalam hubungan kekerabatan Jawa dan keluarga yang melakukan perkawinan campuran antara suku bangsa atau agama yang berbeda, semakin menunjukkan bahwa adat dapat membentuk kehidupan rumah tangga.

Kata “sakinah, mawaddah dan rahmah” tersirat pengertian bahwa tujuan perkawinan ialah untuk membina rumah tangga yang damai dan teratur sehingga mendapatkan keturunan yang dapat menegakkan agama Islam.[6] Saya kembali bertanya-tanya, apakah perkawinan dalam agama lain juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan kedamaian dan mendapatkan keturunan yang dapat menegakkan agamanya?

Kalau memang demikian adanya, maka tujuan dalam agama Islam sama dengan ketentuan lain pada umumnya yang bergantung pada masing-masing individu pelakunya, karena perkawinan di samping bermuatan spritual, ritual, dan kultural, tapi juga bersifat subjektif keberagamaan atau kepatuhan masyarakat yang mengikuti sebuah tata aturan (syari’at). Oleh sebab itu, tujuan pernikahan secara umum memang diinginkan untuk memperoleh kebahagian dan kesejahteraan lahir dan batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.[7]

Memperhatikan berbagai analisis terhadap beberapa pemikiran hukum Islam (fiqh) keindonesiaan di atas, saya belum menemukan perbedaan pernikahan Islam kecuali subjektifitas dan kolektifitas konsep yang utuh (kaffah). Berdasarkan atas pemikiran ini, maka saya kira untuk memahami konsep pernikahan dalam Islam perlu analisis yang lebih konprehensif. Analisis komprehensif dimaksudkan untuk dapat menemukan berbagai pandangan dan kultur masyarakat muslim yang dapat menunjukkan kepada kita tentang bagaimana konsep onogis, epistemologis, dan aksiologis pekawinan dalam Islam. Untuk itu, saya pikir kita mmerlukan sebuah gerakan fiqh keindonesiaan agar dapat menemukan konsep pernikahan antara keislaman dan keindoensiaan.

Term fiqh keindonesiaan, sekalipun bukan term baru yang digunakan dalam buku ini, konotasi makna yang dimaksudkan fiqh keindonesiaan di sini merujuk pada pola fikir (manhaj al-fikr) dan produk pemikiran yang dihasilkannya. Hingga saat ini memang belum satu pun tokoh agama (ulama’) dan pakar hukum Islam Indonesia yang berani mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid,[8] namun berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia telah mampu diselesaikan melalui pemikiran ulama Indonesia juga.

Hasil pemikirian tersebut, telah memberikan ketenangan dan membuat masyarakat muslim Indoensia yakin berada pada jalur hukum yang benar. Hal ini tentu telah mengisi kekosongan dan kejumudan pemikiran hukum Islam yang juga dirasakan di Indoensia dan oleh karenanya para pemikir Islam Indonesia juga mempunyai status yang sama dengan mujtahid dalam memberikan ketenangan dan keyakinan terhadap kebenaran hukum.

Sekalipun demikian, perubahan hukum Islam, terutama yang tertulis, terlihat bersifat responsif terhadap permasalahan dan perubahan masyarakat, sehingga terkesan tertinggal dan terlambat. Dengan kata lain, hukum tertulis yang momennya diciptakan setelah terjadinya banyak kasus di masyarakat, mengakibatkan hukum Islam dikesankan tertinggal dari perkembangan masyarakatnya. Untuk itu, dalam pembuatan hukum badan-badan yang terkait, yakni badan pembentuk hukum, badan penegak hukum, dan badan pelaksana hukum,[9] dituntut untuk peka terhadap sejarah dan dinamika masyarakat pengguna hukum.

Interpretasi, sebagai salah satu metode penemuan hukum yang mampu memberikan penjelasan mengenai teks undang-undang, juga diharapkan dapat menciptakan penemuan hukum yang memberikan jaminan fleksibelitas hukum tertulis.[10] Di sisi lain, penggunaan metode ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran hukum Islam khas Indonesia yang sementara ini terkesan merupakan “duplikasi” dari pemikiran ulama’ salaf.


[1]Ditjen Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam Indonesia. (Jakarta: Depag RI, 2001), 14

[2]Lihat penjelasan ini dalam Neng. Lubis Djubaedah, Sulaikin dan Prihatini Farida. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: PT Heca Mitra Utama, 2005), 33; ; dan Syazali Musthofa. Pengatar dan Azaz-Azas Hukum Islam Indonesia ( Solo: Ramadhani, 1990), 71.

[3]Baca beberapa definisi tentang nikah dalam Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Islam dari Fikih, UU No 1 Tahun 1974 sampai KHI. (Jakarta: Prenada Media, 2004), 38-39.

[4]Ditjen Badan Peradilan Agama Islam, Op.Cit., 14 .

[5]Baca misalnya dalam Slamet Abidin dan Aminuddin. Fiqih Munakahat I untuk Fakultas Syari`ah Komponen MKDK. (Bandung: Pustaka Setia 2003), 12 -18.

[6]Baca tujuan ini dalam Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang-undangan Hukum Adat dan Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2003), 22-28.

[7]Baca misalnya dalam Slamet Abidin dan Aminuddin. Ibid.

[8]Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad, sedangkan term ijtihad sendiri terambil dari akar kata j-h-d, yang artinya bersungguh-sungguh, sama dengan akar kata al-juhd (الجُهد), yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan, dan kekuatan), atau dari kata al-jahd (الجَهد) yang berarti al-masyaqah (kesulitan atau kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengertian kebahasaan bermakna “pengerahan daya dan kemampuan” atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktifitas-aktifitas yang sangat berat”. Baca tentang hal ini dalam Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani (Ciputat; PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 73; dan bandingkan dengan Abdul Majid asy-Syarafi, Ijtihad Kolektif, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Syamsuddin (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), 9-10.

[9]Baca tentang peran dan fungsi masing-masing lembaga ini dalam Soerjono Soekanto,  Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta; Rajawali Pers, 1980), 100.

[10]Baca mengenai hal ini dalam Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (tt.; Citra Aditya Bakti, 1993), 13.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *