Perkembangan Tradisi dalam Perubahan Masyarakat

Kemungkinan Perkembangan Tradisi dalam Perubahan Masyarakat


Berdasarkan atas perbedaan-perbedaan tersebut dan sebagiannya menunjukkan pada akulturasi, maka dengan jelas dapat dilihat dengan jelas bahwa dalam berbagai hal telah terjadi perubahan dan modifikasi simbol yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, sebagaimana juga pada masyarakat Madura, dalam mempertahankan atau melaksanakan mitos, sebagian di antaranya telah meninggalkan mitos sama sekali. Mengapa terjadi perubahan dalam kehidupan masyarakat yang berdampak pada perubahan konsepsi terhadap mitos?

Menjawab hal ini, saya melihat bahwa kehidupan manusia yang berkembang dari waktu ke waktu, sebagaimana diungkapan Ishomuddin,[1] baik cepat atau lambat akan mengalami perubahan. Pertumbuhan demografi, akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan aspek kehidupan manusia lainnya. Pertumbuhan dan pertambahan penduduk, akan mendorong pertumbuhan kebutuhannya. Manusia lahir ke permukaan bumi bersama-sama dengan segala kebutuhannya, terutama kebutuhan ekonominya. Cara manusia memenuhi kebutuhan ekonomi ini dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan dan perkembangan dan sudah pasti diikuti oleh perubahan-perubahan lainnya, termasuk perubahan nilai dan norma.

Dalam memahami perubahan sosial kita dapat membedakan berdasarkan sudut pandang aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya, sebab sebuah keadaan sistem dalam masyarakat tidak berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen. Beberapa komponen yang mungkin saling berpengaruh satu dengan lainnya ialah:

a)      Unsur-unsur pokok (misalnya, jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka);

b)      Hubungan antar unsur (misalnya, ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan antar individu, integrasi);

c)      Fungsi unsur-unsur di dalam sistem (misalnya, peran pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial);

d)     Pemeliharaan batas (misalnya, kriteria untuk menentukan siapa saja yang termasuk anggota sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, dan sebagainya)

e)      Subsistem (misalnya, jumlah dan jenis seksi atau segmen)

f)       Lingkungan (misalnya, keadaan alam atau lokasi geo politik)[2] 

Dalam berbagai literatur, term perubahan dipakai silih berganti dengan evolusi (evolution), perkembangan (development), atau kemajuan (progress), yang kesemuanya sama-sama memperlihatkan suatu perjalanan dari suatu keadaan tertentu yang relatif sederhana, seragam, atau homogen menuju keadaan tertentu lainnya yang lebih kompleks, beragam dan heterogen. Dalam perspektif sosiologi, perubahan sosial lazim dikonsepsikan sebagai suatu perubahan struktur sosial, yang didalamnya terendap pola hubungan antarorang ( patterns of sosial action and interaction). Dalam perubahan sosial terjadi perubahan struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial antara lain sistem status hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem politik dan kekuasaan serta sistem penyebaran penduduk. 

Menurut Soerjono Soekanto,[3] faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan adalah [1] kontak dengan kebudayaan lain, [2] sistem pendidikan formal yang maju, [3] sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju, [4] toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang bukan merupakan delik, [5] sistem terbuka masyarakat (open stratification), [6] penduduk yang heterogen, [7] ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, [8] orientasi ke masa depan, dan [9] nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.

Berkenaan dengan hal ini, saya ingin mengungkapkan kembali pandangan tentang perubahan masyarakat Islam yang sudah sering saya tulis dan disampaikan diberbagai pertemuan dan karya saya, yaitu pandangan Ibn Khaldun, Ali Syari’ati dan Sayyid Murtadla Muthahhari. Ibn Khaldun memandang bahwa sebuah negara tidak berbeda dengan makhluk hidup, ia mempunyai unsur yang sama, lahir, tumbuh berkembang dan mati. Perkembangan sebuah negara, kata Ibn Khaldun, dapat berbeda berdasarkan waktu dan tempat astronomis. Akan tetapi, secara umum, perjalanan sebuah negara membutuhkan tiga generasi untuk mencapai titik kesempurnaannya.[4]

Generasi pertama merupakan generasi primitif yang penuh dengan kekerasan dan ketidakberadaban, hidup dalam pengembaraan dan penuh dengan keinginan untuk mendapatkan kehormatan. Dalam kehidupan generasi pertama ini, ashabiyah (premordialisme) menjadi penentu kekuatan yang dapat menyatukan masyarakat.[5] Ciri-ciri generasi pertama yang dimaksudkan Ibn Khaldun ini mempunyai kesamaan dengan ciri-ciri yang diberikannya pada masyarakat desa.

Masyarakat desa secara umum dicirikan sebagai masyarakat yang mengeksploitasi tenaganya untuk kepentingan pertanian, termasuk peternakan, sehingga terpaksa mereka selalu mencari lahan untuk kepentingan pertanian dan peternakan tersebut dan muncullah masyarakat nomad (Jawa: mboro), pindah dari satu desa ke desa yang lain. Mengahdapi kondisi alam yang selalu berbeda dankemungkinan terjadinya bahaya pada mereka memunculkan sifat berani dan nriman (menerima apa adanya; Arab: qana’ah). Sekalipun tampaknya mereka menyenangi pekerjaannya, akan tetapi hal tersebut tidak menunjukkan pada sifat eksploitatif masyarakat desa terhadap alam, karena mereka selalu membatasi pekerjaannya itu hanya pada keperluan hidupnya, bukan untuk bersenang-senang atau bermewah-mewahan.[6]

Sedangkan generasi kedua merupakan generasi yang sudah mempunyai tempat tinggal, menetap dalam suatu wilayah. Generasi ini, berbeda dengan generasi sebelumnya, justeru melenturkan ikatan premordialisme dan memberikan kesempatan lebih luas pada setiap anggota masyarakat untuk mengekspresikan dan mengaktulisasikan diri. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat pada dasarnya diatur oleh seorang yang memerintah dan menentukan perjalanan hidup masyarakat.[7]

Generasi ketiga ialah generasi yang sama sekali telah melupakan premordialisme sehingga mereka melupakan pentingnya sebuah kekuatan untuk mempertahankan diri. Hal yang disebutkan terakhir ini, menurut Ibn Khaldun, merupakan konsekwensi dari kemudah-mudahan yang diperoleh generasi ketiga untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangannya sendiri. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat banyak dikelabui oleh gemerlap kedudukan, jabatan, dan kesenangan material. Dari sinilah muncul generas-generasi pengecut, yang lebih pengecutnya dari kaum perempuan yang sementara itu tidak diperhatikannya.[8]

Masyarakat yang terakhir dicirikan Ibn Khaldun ini pada tempat yang lain ditemukan juga pada ciri-ciri masyarakat kota. Yakni, suatu komunitas sosial yang relatif mempunyai keteraturan dan kemewahan hidup dalam masak-memasak, memilih pakaian, membangun gedung-gedung untuk tempat tinggal, kator dan industri. Masyarakat sepertri ini cara berekonominya tidakmelalui pertanian melainkan industri dan perdagangan. Mereka memperoleh kemewahan duniawi yang mengakibatkan mereka lupa pada moralitas sosial. Mereka mendapatkan keamanan yang membuat mereka menjadi penakut dan pengecut. Mereka dilindungi oleh tembok-tembok gedung tebal yang dijaga oleh tentara dan mengakibatkan mereka lupa pentingnya mempelajari dan menggunakan senjata dan strategi perang.[9]

Sementara itu, Ali Syari’ati memandang bahwa telah terjadi perubahan dalam masyarakat Syi’ah, yaitu dari masyarakat Syi’ah Ali yang indeterministik ke Masyarakat Syi’ah Safawiyah yang deterministik. Masyarakat Syi’ah Ali, menurut Syari’ati, adalah masyarakat yang dinamis dan revolusioner,[10] sedangkan masyarakat Syi’ah Safawi adalah masyarakat Syi’ah yang pasif dan stagnan. Perubahan masyarakat Syi’ah dari dinamis menjadi pasif ini disebabkan adanya pola orientasi politik Dinasti Safawiyah sebelum kepemimpinan Pahlevi yang telah menjadikan Syi’ah sebagai agama negara. Pola orientasi ini pada akhirnya berdampak pada kekuasaan kaum ulama (ruhaniyyun) yang sangat kuat dan mempengaruhi perilaku masyarakat Syi’ah.[11]

Berangkat dari sini, Ali Syari’ati  membagi tipologi masyarakat Syi’ah pada Syi’ah Asli (Pure Syi’ism) dan Syi’ah Palsu (Replication Syi’ism). Abu Dzar al-Ghifari dan  Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, menurut Syari’ati, merupakan simbol perubahan dinamis masyarakat Pure Syi’ism yang mengambil posisi sebagai oposan dari para penguasa yang lalim dan diktator.[12] Sedangkan komunitas ulama yang mendukung kepemimpinan Safawi merupakan tipologi komunitas Syi’ah yang berfungsi sebagai “penjinak” masyarakat tertindas.[13]

Melihat realitas masyarakat Syi’ah pada masanya, Syari’ati menyimpulkan bahwa sentral penggerak masyarakat bukan berada pada tangan atau kekuasaan ulama (ruhaniyyun) melainkan para cendekia dan intelektual Syi’ah yang mempunyai kepedulian terhadap ketidakadilan sosial dan mampu merubah serta menggerakkan masyarat menuju Syi’ah ideal yang sebenarnya dan menghasilkan kebudyaan baru.[14] Oleh sebab itu, untuk mencapai gerakan yang dinamis, masyarakat Syi’ah harus melakukan dua revolusi, yaitu revolusi politik dan revolusi sosial. Revolusi politik berfungsi untuk menghilangkan dominasi Barat terhadap negara-negara Dunia Ketiga dan sekaligus merevitalisasi kebudayaan dan identitas negara Dunia Ketiga. Sedangkan revolusi sosial berfungsi untuk menghilangkan seluruh bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil, dinamis dan tanpa kelas sosial (menghilangkan rasisme).[15]

Melihat bagaimana Syari’ati menganalisis perkembangan masyarakat Syi’ah dan Ibn Khaldun memperhatikan perkembangan masyarakat, tampak bahwa keduanya mengikuti filsafat sosial yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai wataknya sendiri dan progresif, tidak pasif. Oleh karenanya, saya berasumsi bahwa pandangan Syari’ati dan Ibn Khaldun dalam masalah ini berdekatan dengan paradigma Galilean yang bertolak dari anggapan aksiomatik yang berbeda dan berseberangan dengan paham paradigmatik yang Aristotelian (atau Lebnizian).

Seluruh alam semesta ini, menurut Galilean, pada hakikatnya dipahami sebagai suatu himpunan fragmen yang berhubung-hubungan secara interaktif dalam suatu jaringan kausalitas yang berlangsung tanpa henti dan tanpa mengenal titik henti, di tengah alam objektif (yang karena itu tunduk kepada imperativa alami yang berlaku universal serta berada di luar rencana dan kehendak siapapun).[16]

Hal ini setidaknya tampak dalam pandangan Syari’ati dan Ibn Khaldun yang menghubung-hubungkan beberapa fenomena dan historisitas masyarakat.[17] Oleh sebab itu, filsafat sosial Syari’ati yang dapat digolongkan dalam pendekatan fenomenologis-historis ini mempunyai persamaan, tentu juga mempunyai perbedaan dengan, filsafat negara Ibn Khaldun yang juga menggunakan pendekatan yang sama.

Filsafat sosial dengan menggunakan pendekatan fenomenologis-historis ini berbeda dengan filsafat sosial Murtadla Muthahhari yang menggunakan pendekatan normatif, filsafat sosial yang didasarkan atas ayat-ayat al-Qur’an.[18] Menurut Muthahhari, meski al-Qur’an menisbahkan watak, kepribadian, realitas, kekuatan, kehidupan, kematian, kesadaran, kepatuhan dan ketidakpatuhan kepada masyarakat, namun al-Qur’an juga mengakui, secara tersurat, kemungkinan pelanggaran hukum-hukum kemasyarakatan oleh individu dan kepemimpinan kolektif dalam masyarakat.

Berangkat dari pandangan ini, Muthahhari berpendapat bahwa dari sudut pandang filosofis segala bentuk sistesis tidak dapat dipandang sama. Mineral dan wujud-wujud non-organik yang, dalam pengertian filosofis, diatur oleh suatu kekuatan ‘tunggal’, dan ditafsirkan oleh para filsuf sebagai bertindak menurut hukum tunggal, tersintesiskan sedemikian rupa, sehingga mereka sepenuhnya saling melebur dan kehilangan kedirian mereka sepenuhnya salin melebur dan kehilangan kedirian mereka dalam keseluruhan itu. Akan tetapi, pada tingkat sintesis lebih tinggi, bagian-bagiannya biasanya relatif tetap beridir sendiri sehubungan dengan keseluruhannya. Sejenis kebinekaan dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam kebinekaan mewujudkan diri dalam bentuk keberadaan lebih tinggi.[19]

Berbeda dengan perubahan sosial tersebut, perubahan kultural lebih menunjuk pada perubahan berbagai fenomena kultural, seperti; pengetahuan (knowledge), ide-ide atau gagasan-gagasan, seni atau pemahaman doktrin keagamaan. Dengan kata lain, perubahan kebudayaan ialah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau oleh sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, antara lain aturan-aturan, norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan, juga teknologi, selera, rasa keindahan (kesenian) dan bahasa. Meskipun demikian, kedua bentuk perubahan tersebut saling berkaitan tersebut saling berkaitan satu sama lain, perubahan sosial berkaitan dengan perubahan kultural (dan demikian pula sebaliknya). Bukti-bukti empirik memperlihatkan bahwa di satu pihak kaitan antara perubahan sosial dan perubahan kultural sangat erat.[20]

Oleh sebab itu, kebudayaan akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, yang lambat atau cepatnya perubahan itu tergantung dari dinamika masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, berubah adalah sifat utama dari sebuah kebudayaan untuk selalu menyesuaikan diri dengan munculnya gagasan baru pada masyarakat pendukung kebudayaan itu. Munculnya perubahan kebudayaan dapat terjadi akibat pengaruh faktor-faktor internal yang muncul dari dinamika yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri, atau akibat pengaruh yang berasal dari luar masyarakat.[21]

Dengan demikian, tradisi yang dalam arti sempit merupakan kumpulan benda material dan gagasan yang diberi makna khusus dan berasal dari masa lalu juga mengalami perubahan. Tradisi lahir di saat tertentu ketika orang menetapkan fragmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi dan akan berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan mengabaikan fragmen yang lain. Dengan demikian, sebuah tradisi dapat bertahan dalam jangka waktu tertentu, tetapi juga mungkin lenyap bila benda materialnya dibuang atau gagasannya di tolak dan dilupakan oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Tradisi mungkin pula hidup dan muncul kembali setelah lama terpendam akibat terjadinya perubahan dan pergeseran sikap aktif terhadap masa lalu. Bahkan sesungguhnya, begitu sebuah tradisi terbentuk, tradisi sudah mengalami berbagai perubahan. Perubahan kuantitatifnya terlihat dalam jumlah penganut atau pendukungnya, sedangkan perubahan kualitatifnya tampak dalam perubahan kadar tradisi, gagasan, simbol, dan nilai tertentu ditambahkan sementara yang lainnya dibuang.[22]

Pada sisi lain, perubahan tradisi juga dapat terjadi karena kualitas psikologi pikiran manusia yang tanpa kenal lelah terus berjuang untuk mendapatkan kesenangan baru dan keaslian, mewujudkan kreatifitas, semangat pembaharuan dan imajinasi. Tak ada yang dapat terlepas dari pengaruh kecenderungan semacam itu, termasuk tradisi, yang oleh karenanya cepat atau lambat setiap tradisi mulai dipertanyakan, diragukan, diteliti ulang dan bersamaan dengan itu fragmen-fragmen masa lalu ditemukan dan disahkan sebagai tradisi. Persoalan khusus timbul bila tradisi dilandasi oleh fakta baru, bila berbenturan dengan realitas dan ditunjukkan sebagai sesuatu yang tak benar atau tak berguna.

Perubahan tradisi juga disebabkan banyaknya tradisi dan bentrokan antara tradisi (clash of tradition) yang satu dengan lainnya, yakni antara tradisi masyarakat tertentu dengan yang berbeda dalam masyarakat lainnya. Akibat benturan itu, hampir tanpa terkecuali, tradisi pribumi dipengaruhi, dibentuk ulang atau disapu bersih. Namun demikian, perbedaan atau kemajemukan tradisi tidak selalu mengakibatkan baku hantam, tetapi dapat pula mengambil pola saling memberi dukungan, tergantung pada kekuatan relatif tradisi yang bersaing itu.[23]


[1]Ishomuddin, Sosiologi Perpspektif Islam (Malang: UMM Press, 2005), 127

[2]Peater Szompak, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media, 2007), 3-4.

[3]Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Rajawali Pers; Jakarta. Cetakan ketigapuluh tiga. 2002), 326-329.

[4]‘Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah (Bairut: al-Mathba’ah al-Adabiyah, 1886), 148.

[5]Ibid., 149.

[6]Ibid., 107.

[7]Ibid., 149.

[8]Ibid.

[9]Ibid., 105, 109.

[10]Afif Muhammad, Ummah dan Imamah (Jakarta:Pustaka Hidayah, 1989), 15.

[11]John L. Esposito, Identitas Islam pada Perubahan Sosial Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 159.

[12]Saya berasumsi bahwa pandangan ini mempunyai kesamaan dengan Jamal Abd al-Nashr yang mencoba menghilangkan ketidaksamaan kesempatan bagi masyarakat untukmemperoleh harta benda dan mengakibatkan ketidakadilan. Lihat misalnya John. J. Donohue dan John L.Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ennsiklopedi Masalah-masalah, terjemahan Machnun Hudein (Jakarta: Rajawali, 1989), 230.

[13]Ibid., 78.

[14]John L. Esposito, “Identitas”, loc. cit.

[15]Azyu Mardi Azra, Pergolakan Pemkiran Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 71.

[16]Soetandyo Wignjosoebroto, “Dua Paradigma Klasik Untuk Memahami Dan/Atau Menjelaskan Hakikat Ketertiban Dalam Kehidupan Bermasyarakat Manusia”, Handout Filsafat Sosial 02, 2003, 1.

[17]Suatu pembacaan terhadap fenomena ini disebut dengan pendekatan fonomelogis. Pendekatan Fenomenologis merupakan sebuah metode untuk memahami agama yang secara tidak langsung menyatakan dasar-dasar umum dalam personalitas manusia dalam hal pengalaman keberagamaan dan sebuah kesamaan fundamental dari reaksi keberagamaan antara semua orang, tidak jadi masalah terpisahnya waktu atau bagaimana perbedaan ekspresi budaya.  Pencapaian yang paling penting dari ahli fenomenologi ialah bahwa norma dalam semua studi agama adalah pengalaman penganut (agama) itu sendiri. Oleh sebab itu, dasar terpenting dalam pendekatan fenomenologis ialah pengalaman keberagamaan apa yang dirasakan, dikatakan dan dikerjakan oleh penganut itu sendiri, di atas segalanya apa maksud pengalaman itu bagi penganut itu sendiri, bagaimana dia mempresentasikan perasaan keberagamaannya. Kebenaran bagi studi fenomenologis ialah menjelasan makna, agar lebih jelas mengandung arti apa tata cara dan upacara, doktrin, reaksi sosial bagi actor pelaku agama. Sebagai alat pelengkap untuk memperoleh data, fenomenologi menggunakan berbagai disiplin ilmu seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi literer, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Sedangkan, pendekatan historis, bukanlah merupakan bagian dari ilmu sosial. Perbedaan yang paling utama antara keduanya, terletak pada titik tekan studinya, dimana para sosiolog menitik beratkan pada segmen aktifitas manusia, dan mencari serta mengembangkan metode secara khusus pada studi segmen ini, sedangkan sejarawan mempunyai tujuan-tujuan yang lebih luas dan menggunakan metode-metode yang berbeda. Mengenai hal ini baca Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition” dalam  Leonard Binder (ed.), The Study of the Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences (New York: John Wiley & Sons, 1976), 44, 49-51.

[18]Pemikiran Muslim pada abad ke-20, seperti juga Murtadla Muthahhari, banyak menggunakan pendekatan normatif yang oleh karenanya sebagian ahli studi agama menilai pemikiran Islam abad ini mempunyai karakteristik yang apologis sebagai respon dari mentalitas Muslim untuk situasi masyarakat Islam di era modern. Tema-tema yang diangkat oleh apologis modern ialah mempertahankan esensi rasionalitas Islam, hubungannya dengan ilmu pengetahuan, dorongan progresifnya, pandangan kebebasannya, dan sejarah dari pemberian keuntungan bagi umat manusia. Baca dalam ibid., 36-7

[19]Lihat Murtadha Muthahhari, Masyarat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, (Bandung: Mizan, 1996), 35-8.

[20]Ishomuddin, Op.Cit, 123-124

[21]Safri Syairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, (Jakarta

[22]Piotr Sztompka, Op.Cit, 71-72

[23]Ibid., 73-74

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *