MERETAS TALI BELENGGU DOKTRIN

MERETAS TALI BELENGGU DOKTRIN

PEMILIHAN PASANGAN HIDUP

 

Ya Allah, Betapa Sulinya Mencari Pasangan!

Pada malam 19 Ramadlan 1428 H., empat orang gadis datang ke rumah saya untuk berbuka puasa bersama, suatu tradisi non akademik tetapi menjadi seperti budaya di dunia akademik. Salah seorang di antaranya adalah seorang gadis yang tidak asing bagi saya karena sering bertemu dan berkonsultasi. Empat cewek belum mempunyai pasangan, kecuali seorang yang akrab dengan saya itu. Setelah diskusi dan berbuka bersama, saya menanyakan mengapa ketiga gadis yang lain belum mempunyai calon pasangan.

Si Kom, sebut saja begitu namanya, mengatakan bahwa mencari pasangan tidak semudah yang dibayangkannya, karena memilih pasangan harus memenuhi banyak keinginan, baik keinginan sendiri maupun keinginan keluarganya. Saya menyadari bahwa dia sebagai seorang perempuan bisa berpandangan demikian tidak mudahnya dalam menentukan pilihan, karena di samping harus memenuhi kriteria dan standarnya sendiri, dia juga harus menyesuaikan dengan pesan sponsor ayahanda dan ibunda tersayang. Jika pemilihan hanya dapat memenuhi standarnya sendiri dengan tidak dapat memperhatikan keperluan yang lain, maka akan dinilai sebagai anak durhaka, atau dikeluarkan dari keluarga.

Kondisi budaya ini hingga kini masih tetap dipertahankan oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia, terutama di pedesaan, karena diyakini merupakan ketentuan fiqh syafi’iyyah.[1] Dalam kehidupan kaum santri, keyakinan ini lebih parah daripada yang dirasakan gadis itu, karena di samping keinginan sang gadis dan disesuaikan dengan kriteria ayahanda dan bunda, terkadang juga harus menyesuaikan dengan keinginan keluarga kyai, seperti yang dialami oleh banyak teman saya.

Dua minggu menjelang Ramadlan 1428 H., saya mengikuti prosesi pernikahan dadakan, suatu prosesi akad nikah super kilat yang hanya membutuhkan waktu persiapan kurang dari 1 bulan. Satu waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses yang dibutuhkan secara wajar dalam sebuah prosesi pernikahan dalam tradisi Jawa dan Madura. Pernikahan itu dinilai oleh masyarakat sekitarnya bukan hanya aneh (strange) dari sisi waktunya, tetapi juga tidak lumrah (uncommon) dalam komunitas keluarga kyai di kedua desa santri tersebut.[2]

Pernikahan yang dianggap tidak wajar itu dilaksanakan antara pasangan ‘Abid dan Luluk, keduanya bukan nama sebenarnya. ‘Abid adalah seorang keturunan kyai, dan calon putra mahkota pesantrennya, di sebuah desa di Kabupaten Bangkalan, sedangkan Luluk, guru sebuah lembaga pendidikan kanak-kanak, adalah anak seorang petani di sebuah desa di Kabupaten Malang. Berdasarkan beberapa informasi, diketahui bahwa pernikahan itu merupakan pernikahan pasra bengkotan, yakni proses pernikahan yang diserahkan sepenuhnya kepada keluarga kyai yang memimpin lembaga pendidikan dimana Luluk mengajar.

Ayah Luluk yang merupakan alumni dari suatu pesantren salaf terhormat di daerah Jawa Timur, telah menyerahkan sepenuhnya prosesi pernikahan tersebut kepada keluarga Kyai Achmad, yang menawarkan dan memastikan terjadinya pelaksanaan pernikahan tersebut. Luluk mungkin mau menolak, tetapi dua kekuatan besar dalam doktrin pesantren, yaitu ayah-bunda dan keluarga kyai, telah menentukan jalan hidupnya. Dia pasrah dan menerima takdir itu dengan tetesan air mata! Dalam kondisi seperti demikian, Si Kom dan Luluk tidak dapat menentukan pilihan calon pasangannya untuk berkeluarga, karena harus menyesuaikan diri dengan keinginan banyak pihak.

Memahami Makna Doktrin

Dalam menentukan calon pasangannya, mayoritas masyarakat muslim Indonesia biasanya berpedoman pada sebuah hadits yang berbunyi:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Musaddad menceritakan kepada kami, Yahya bercerita kepada Musaddad, dari ‘Ubaidillah berkata, Sa’id bin Abi Sa’id bercerita kepada saya yang diperoleh dari ayahnya, dari Abi Hurairah Ra., dari Nabi saw. bersabda: Perempuan dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka berpeganglah pada keberagamaannya agar kamu memperoleh kebahagiaan.

 

Hadits tersebut diriwayatkan Imam Bukhari pada hadits ke 4700. Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim pada hadits ke 2661 teks haditsnya berbunyi:

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

 

Dalam hadits Bukhariy berbunyi تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا   فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ, sedangkan dalam hadits Muslim berbunyi َ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. Dalam kedua teks tersebut tampak tidak ada perbedaan redaksional kecuali kalimat “وَجَمَالِهَا” dalam hadits Imam al-Bukhariy disebutkan dengan redkasi “وَلِجَمَالِهَا” dalam hadits Muslim. Hal ini menunjukkan tingkat keshahehan yang tinggi karena kesamaan redaksi yang digunakan.[3] Oleh sebab itu, tidak musykil mengapa hadits ini sering dikutip dalam literatur Islam, panduan pernikahan, dan terutama dalam mau’idhah hasanah pada sebuah acara walimatul ‘arus.

Kalau diperhatikan dalam kitab Syarah Fathul Bariy karya Imam Nawawi dijelaskan maksud hadits tersebut bahwa yang dimaksud dengan kalimat atau frase (تنكح المرأة لأربع) artinya karena empat maksud atau tujuan, sedangkan yang dimaksudkan dengan (ولحسبها) maksudnya ialah keturunan atau perbuatan baik. Kata ( وجمالها ) mempunyai arti kecantikan biologis, psikologis, dan kecantikan agama, akan tetapi apabila terjadi pilihan yang sama, maka kecenderungan masyarakat memilih kecantikan biologis. Memperhatikan kebiasaan tersebut, maka  ( فاظفر بذات الدين )dalam sabda Nabi saw merupakan suatu perintah untuk mempertahankan tujuan akhir dari pernikahan.[4]

Doktrin ini yang kemudian menyisakan banyak ketentuan, berbagai tradisi, dan pandangan tentang pasangan yang ideal. Orang Madura menyebut pasangan ideal dengan bucoh empak, maksudnya mempunyai empat sisi, sogi (kaya), raddin (cantik), begus katoronan (keturunan baik-baik), begus agemanah (mempunyai kekuatan spritualitas). Orang Jawa menyebutnya dengan bibit, bebet, dan bobot. Doktrin ini secara turun temurun cukup efektif untuk mempengaruhi kondisi psikologis dan budaya masyarakat muslim Indonesia dan membentuk perilaku sosial yang terkadang “aneh.”

 

Bagaimana Memahami Hadits

Saya mempunyai seorang kawan akrab, sebut saja namanya Umar, yang hingga usia setengah senjanya, sekitar umur 40 tahun, belum bisa menemukan permata hati yang dicarinya. Sekalipun kawan saya tersebut sudah tidak dibingungkan dengan keinginan-keinginan orang lain, karena semua keluarganya sudah menyerahkan kepadanya, tetapi dia belum dapat memastikan tipe gadis yang sesuai dengan keinginannya. Kriteria gadis yang selaras dengan stratifikasi sosial keluarganya dan tipe pasangan yang cocok dengan posisinya yang telah terlanjur menduduki jabatan terhormat ditempat kerjanya sekarang.

Suatu hari saya mendengar Umar sudah menentukan pilihannya pada salah seorang gadis yang juga aktif dalam kegiatan organisasi yang sama dengannya. Gadis berparas ayu itu berasal dari sebuah desa di Kabupaten Jombang. Gadis itu sudah masuk dalam beberapa kriteria yang dimaksud, kecuali asal usul keturunannya. Untuk mengetahui sisa kriteria itu, Umar membutuhkan waktu yang cukup lama karena harus melakukan pedekate yang cukup intens. Sayangnya, sebelum dapat diketahui, sang gadis sudah lebih dulu bertunangan dengan anak seorang pengusaha dari Kediri!

Dengan sisa semangat menikah dan untuk memenuhi tuntutan banyak orang, atau setidaknya menghargai teman-teman yang mendukungnya, 2 tahun kemudian Umar berkenalan lagi dengan seorang gadis dari sebuah desa di bagian Utara Kabupaten Malang. Gadis yang menjadi guru bahasa Asing di sebuah lembaga pendidikan ternama di Kota Malang itu, dia kenal melalui prakarsa hubungan luar negeri, dimana Umar menjabat sebagai Ketua sebuah Pusat Studi Bahasa dan Budaya (PSBB). Sebagai seorang pengajar bahasa di lembaga pendidikan, gadis itu mudah ditemui oleh Umar, bahkan juga pernah melakukan kerjasama untuk melaksanakan satu kegiatan kursus relreatif di suatu lokasi rekreasi, Kota Batu.

Witing tresno jalaran songko kulino, begitu pepatah Jawa yang artinya kurang lebih “awal mula cinta bisa terjadi karena sering bertemu,” Umar pun mulai mengenal dengan baik, watak, watuk dan wahing sang guru. Agar dapat bertemu sang Umar membuat prinsip dan progam kerja “tiada hari tanpa kursus.” Jika Umar tidak punya waktu kursus, maka dia tetap saja datang untuk menemani sang guru. “Maklum Ketua PSBB,” begitu alasannya. Dari beberapa kali pertemuan, semakin kenal Umar dengan sang gadis pujaan hati itu. “Tinggal satu lagi yang harus ku ketahui dengan jelas, keturunan dan lingkungan keluarganya,” begitu Umar berkata pada dirinya sambil memandangi buku-buku dalam rak kantornya.

Untuk mendapakan jawaban tentang latar belakang tersebut, Umar mengangkat teman akrabnya sebagai peneliti, ya tentu juga sekaligus petete, agar dapat mencermati dan melihat secara langsung ke rumah sang guru pujaan hati. Sudah dua bulan penelitian lingkungan dan nasab belum juga diketahui dengan jelas, kata sang petete. Tiga bulan, empat bulan, lima bulan, juga belum diberikan jawabannya. Di luar dari dugaan Umar yang berpikir tidak akan ada anjing yang memakan hidangan tuannya, sang petete tanpaknya juga terkena sabdo witing tresno jalaran songko kulino. Dalam bulan ketujuh penelitiannya, sang guru sudah berhasil diseret pada perjanjian pertunangan dengan sang petete. Sungguh remuk redam hati  Umar mendengarnya! Terkejut laksana disambar petir, Umar pun menunda “perburuan” berikutnya hingga waktu yang tidak ditentukan.

Begitulah, doktrin dalam hadits yang secara serampangan dipahami sebagai pasangan yang ideal dan mengakibatkan sebagian masyarakat menentukan calon pilihannya seperti yang diidealkan itu. Jika diamati dalam beberapa kitab tafsir, dapat diketahui bahwa hadits تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا   ini digunakan oleh sebagian mufassir untuk menafsiri ayat yang berbunyi:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

 

Dalam sebagian tafsirannya, dalam Juz 2, halaman 217, Imam al-Alusiy memberikan penafsiran ayat tersebut sebagai berikut:

 …”{ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ } لجمالها ومالها وسائر ما يوجب الرغبة فيها، أخرج سعيد بن منصور وابن ماجه عن ابن عمر رضي الله تعالى عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” لا تنكحوا النساء لحسنهن ، فعسى حسنهنّ أن يرديهن ، ولا تنكحوهن على أموالهن فعسى أموالهنّ أن تطغيهن ، وانكحوهنّ على الدين فلأمة سوداء خرماء ذات دين أفضل ” وأخرج الشيخان عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” تنكح المرأة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك “

Menurut Imam al-Alusiy, frase {وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ} maksudnya sekalipun membuat takjub pada kalian karena kecantikan, harta, dan beberapa hal yang dapat mengakibatkan ketakjuban padanya. Sa’íd ibn Manshur dan Ibn Majah telah melakukan penelitian dari jalur Ibn ‘Umar ra bahwa Nabi saw bersabda: “jangan kalian menikahi perempuan karena kecantikan (tampang)nya, karena kecantikannya terkadang menjatuhkannya, dan jangan kalian menikahi perempuan karena hartanya, karena terkadang hartanya itu membuatnya bertindak sewenang-wenang, tetapi nikahilah perempuan berasarkan atas agamanya. (Ketahuilah), sesungguh-nya budak perempuan yang hitam legam dan berbulu lebat tetapi memiliki agama, jau lebih baik (bagi kalian untuk dinikahi).” Begitu juga, Imam Bukhari-Muslim telah melakukan penelitian dari jalur Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw telah bersabda: “perempuan (biasanya) dinikahi karena empat (alasan), karena harta, jalur keturunan, kecantikan, dan agamanya, maka pertahankanlah kalian untuk memilih perempuan yang memiliki agama, (agar) kamu bahagia.”

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Imam al-Alusiy menggunakan hadits yang dianggap sesuatu yang ideal tersebut justeru sebaliknya menginformasikan pentingnya memperhatikan agama dengan bukan harus mempertahankan pencarian terhadap pasangan yang ideal. Pandangan seperti ini juga dapat ditemukan dalam kitab Tafsir al-Wasith, Juz I, halaman 391, dimana Syeikh Sayyid Thanthawiy memebrikan penafsiran terhadap ayat tersebut sebagai berikut:

…” وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم أتباعه أن يجعلوا الدين أساس رغبتهم في الزواج ، فقد أخرج الشيخان عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ” تنكح المرأة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين ترتب يداك ” . وعن عبد الله بن عمرو – رضي الله عنهما – قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” لا تتزوجوا النساء لحسنهن فعسى حسنهن أن يرديهن ، ولا تتزوجوهن لأموالهن فعسى أموالهن أن تطغيهن ، ولكن تزوجوهن على الدين ، ولأمة سوداء ذات دين أفضل “

 

Dan Nabi saw, kata Syeikh Sayyid Thanthawiy, memerintahkan kepada para penganutnya untuk menjadikan agama sebagai dasar kecintaan mereka dalam menentukan pasangan. Imam Bukhari-Muslim telah melakukan penelitian dari jalur Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw telah bersabda: “perempuan (biasanya) dinikahi karena empat (alasan), karena harta, jalur keturunan, kecantikan, dan agamanya, maka pertahankanlah kalian untuk memilih perempuan yang memiliki agama, (agar) kamu bahagia.” Dan dari Abdullah bin Umar ra beliau mengatakan bahwa Nabi saw telah bersabda: Janganlah kalian memilih pasangan karena kecantikan (wajah)nya, karena terkadang kecantikan mereka …, dan jangan kalian memilih pasangan karena harta (yang dimiliki)nya, karena harta mereka terkadang …, tetapi pilihlah pasangan karena (memperhatikan dengan sungguh-sungguh) atas keberagamaannya, dan (sesungguhnya) budak perempuan yang hitam legam (tetapi) memiliki agama lebih baik (untuk dipilih sebagai pasangan).”

Sementara itu, dalam Tafsir al-Wasith, Juz I, halaman 1183, Syeikh Sayyid Thanthawiy, menggunakan hadits tersebut sebagai penafsira terhadap ayat “الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ”. Dimana dalam memberikan penafsiran terhadap ayat tersebut, Sayyid Thanthawiy mengatakan sebagai berikut:

هذا ، ومن الأحكام التي أخذها العلماء من الآية الكريمة .

1 – إباحة التمتع بالطيبات التي أنعم بها – سبحانه – على عباده ، ولم يرد نص بحرمتها .

2 – إباحة الأكل من ذبائح أهل الكتاب وإباحة إطعامهم من طعامنا .

3 – الترغيب في نكاح المرأة المحصنة أي التي أحصنت نفسها عن الفواحش

وقد وردت أحاديث كثيرة في هذا المعنى ، ومن ذلك ما رواه الشيخان وغيرهما عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ” لا تنكح المرأة لأربع : لمالها ، ولحسبها ، ولجمالها ، ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك ” ..

Berikut ini, kata Sayyid Thanthawiy, adalah sebagian dari hukum yang diambil oleh para ulama’ dari ayat tersebut; (1) Diperbolehkannya bersenang-senang dengan macam makanan yang baik yang telah diberikan Allah kepada para hambaNya, dan tidak ada nash (teks) yang mengharamkannya; (2) Diperbolehkannya memakan hewan yang disebelih oleh ahli kitab dan kebolehan memberikan makan ahli kitab; (3) Menyenangi perempuan muhshanat dalam pernikahan, yakni perempuan yang telah menjaga dirinya untuk tidak berbuat kejelekan… Dan telah sampai beberapa hadits dalam konteks ini, yang di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, dan rawi yang lainnya, dari jalur Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “perempuan (biasanya) dinikahi karena empat (alasan), karena harta, jalur keturunan, kecantikan, dan agamanya, maka pertahankanlah kalian untuk memilih perempuan yang memiliki agama, (agar) kamu bahagia.”

Begitulah penggunaan hadits yang kita bahas dalam beberapa kitab tafsir, sedangkan Ibn ‘Arabiy dalam kitab Ahkamul Qur’an, Bab Mas’alat al-Kafa’ah fi al-Ahsab, Juz VI, halaman 360, menggunakan hadits tersebut untuk memberikan penafsiran terhadap ayat yang berbunyi “وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمْ الْخِيرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا.” Dalam memberikan penafsiran terhadap ayat ini, Ibn ‘Arabiy menjelaskan sebagai berikut:

 فِيهَا مَسْأَلَتَانِ : الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى : فِي سَبَبِ نُزُولِهَا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ : فِي هَذَا نَصٌّ عَلَى أَنَّهُ لَا تُعْتَبَرُ الْكَفَاءَةُ فِي الْأَحْسَابِ ، وَإِنَّمَا تُعْتَبَرُ فِي الْأَدْيَانِ  ، وَذَلِكَ أَنَّ الْمَوَالِيَ تَزَوَّجَتْ فِي قُرَيْشٍ وَتَزَوَّجَ زَيْدٌ بِزَيْنَبِ ، وَتَزَوَّجَ الْمِقْدَادُ بْنُ الْأَسْوَدِ ضُبَاعَةَ بِنْتَ الزُّبَيْرِ ، وَزَوَّجَ أَبُو حَنِيفَةَ سَالِمًا مِنْ هِنْدَ بِنْتِ الْوَلِيدِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ ، وَهُوَ مَوْلًى لِامْرَأَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ . وَفِي الصَّحِيحِ وَغَيْرِهِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : {تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ ؛ لِمَالِهَا ، وَلِدِينِهَا ، وَلِحَسَبِهَا ، وَجَمَالِهَا ؛ فَعَلَيْك بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاك}

Ibn ‘Arabiy mengatakan bahwa dalam ayat yang sedang ditafsiri terdapat dua masalah: Pertama, berkaitan dengan sebab turunnya ayat. … Masalah yang kedua bahwa dalam teks ini menyatakan bahwa sesungguhnya kafa’ah (kesesuaian dalam menentukan pasangan) tidak dipertimbangkan dari sisi keturunan, melainkan dari sisi keberagamaan …, dan hal tersebut ditunjukkan dengan beberapa budak yang kawin dengan bangsa Quraisy, Zayd dengan Zaynab, Miqdad bin al-Aswad dengan Dluba’ah putri al-Zubayr, Abu Hanifah dengan Hindun putri Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah, yakni budak dari seoang istri dari sahabat anshar. Dan dalam kitab shahih, juga yang lain, dari Abu Hurairah, sedangkan lafalnya diambil dari Imam Bukhariy, Nabi saw telah bersabda: } تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ ؛ لِمَالِهَا ، وَلِدِينِهَا ، وَلِحَسَبِهَا ، وَجَمَالِهَا ؛ فَعَلَيْك بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاك {.

Memperhatikan berbagai pandangan para mufassir (ahli tafsir al-Qur’an) terhadap hadits تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ ؛ لِمَالِهَا ، وَلِدِينِهَا ، وَلِحَسَبِهَا ، وَجَمَالِهَا ؛ فَعَلَيْك بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاك dapat disimpulkan bahwa sabda Nabi saw in merupakan dekonstruksi terhadap budaya masyarakat yang memandang bahwa calon pasangan yang ideal adalah yang memiliki harta, cantik, dan keturunan tehormat. Tegasnya, hadits tersebut seakan-akan mengatakan kepada kita agar jangan memandang calon dari pasangan yang ideal seperti orang-orang jahiliyyah yang memilih pasangannya dengan menitikberatkan pada kekayaan, kecantikan dan keturunannya, melainkan perhatikan keberagamaannya, sebab pada keberagamaan seorang pasangan keluarga sakinah dapat tercapai.

 

Doktrin Islam tentang Penentuan Calon

Selain memperhatikan keberagamaannya, dalam menentukan calon pasangan juga harus memperhatikan ketentuan syari’at, tentang yang boleh dijadikan sebagai pasangan dan yang tidak boleh dijadikan pasangan. Helman Fajry[5] menyebutkan beberapa konsep yang berhubungan dengan ketentuan hukum Islam tentang bentuk perkawinan yang dilarang (diharamkan) ialah sebagai berikut:

1.      Nikah Syighar (Pertukaran)

Kata-kata syighar yang berasal dari bahasa Arab secara arti kata berarti mengangkat kaki dalam konotasi yang tidak baik, seperti anjing mengangkat kakinya waktu kencing. Bila dihubungkan kepada kata “nikah” dan disebut nikah syighar maka mengandung arti yang tidak baik, sebagaimana tidak baiknya pandangan terhadap anjing yang mengangkat kakinya waktu kencing itu. Dalam arti definitif ditemukan dalam hadis Nabi dari Nafi’ bin Ibnu Umar muttafaq alaih yang dikutip al-Shan’aniy dalam kitabnya Subul al-Salam: “seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan ketentuan laki-laki lain itu mengawinkan pula anak perempuannya kepadanya dan tidak ada di antara keduanya mahar.[6]

Dalam kitab “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa Fuqaha sependapat bahwasanya nikah syighar ialah apabila seorang laki-laki mengawinkan orang perempuan yang dibawah kekuasaannya (anaknya) pada seorang laki-laki lain dengan syarat bahwa laki-laki lain ini juga mengawinkan orang perempuan yang dibawah kekuasaan (anak)nya dengan laki-laki pertama, tanpa ada maskawin (mahar) pada kedua perkawinan tersebut. Maskawinnya hanya alat kelamin perempuan tersebut menjadi imbalan bagi alat kelamin perempuan lainnya. Fuqaha telah sependapat pula bahwa pernikahan syighar ini tidak diperbolehkan, karena larangan yang berkenaan dengan pernikahan tersebut  diriwayatkan dalam hadis shahih.[7] Diantaranya  sebagaimana hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوْسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلًّى اللهُ عَلَيـْهِ وَسَلَّمَ نـَهَى عَنِ الشِّغَـارِ وَالشِّغَـارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ اِبْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَـهُ الآخَرُ اِبْنَتَهُ لَيْسَ بَيْنَهُمَـا صَـدَاقٌ (رواه البخاري)

ِ”…dari Nafi’ dari Ibnu Umar r.a, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah saw telah melarang perbuatan syighar, (kemudian dijelaskan dengan perkataannya) dan syighar ialah seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan imbalan dia dikawinkan kepada anak perempuan dari laki-laki yang mengawini anaknya tersebut, dan keduanya tanpa memberikan maskawin” (H.R. Bukhari).[8]

 

2.      Nikah Mut’ah

Kata mut’ah adalah term bahasa Arab berasal dari kata ma-ta-‘a yang secara etimologis mengandung beberapa arti, diantaranya ialah: kesenangan, alat perlengkapan, dan pemberian. Sedangkan dalam istilah hukum, nikah ini biasa disebut dengan “pernikahan untuk masa tertentu”, dalam arti pada waktu akad dinyatakan berlaku ikatan perkawinan sampai masa tertentu yang bila masa itu telah datang, perkawinan terputus dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian. Nikah mut’ah ini disebut juga dengan nikah munqati’.[9]

Salah seorang ulama terkemuka, Ibnu Hazm, menyebutkan bahwa nikah mut’ah adalah nikah dengan batasan waktu tertentu dan dilarang dalam agama. Nikah ini pernah diperbolehkan pada masa Rasulullah Saw, namun kemudian Allah SWT menghapus atau melarangnya.[10] Seperti yang tertera dalam sebuah hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا أَبُوْ بَـكْرٍ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرٌ بْنُ حَرْبٍ جَمِيْعـًا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَـالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُـفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْـرِي عَنِ الْحَسَنِ وَعَبْـدِ اللهِ ابْنَيْ مُحَمَّـدٍ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيْهِمَـا عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْـهِ وَسَلَّمَ نَـهَى عَنْ نِـكَاحِ الْـمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُـحُوْمِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّـة (رواه مسلم)

”…dari Zuhri dari Hasan dan Abdillah bin Muhammad bin Ali dari ayahnya dari Ali r.a, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah SAW telah melarang nikah mut’ah dan makan daging khimar (keledai) pada zaman khaibar.”[11]

 

3.      Nikah Tahlil

Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya haram. Kalau dikaitkan kepada perkawinan, nikah tahlil berarti perbuatan yang menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan perkawinan menjadi boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain melakukan perkawinan itu disebut muhallil, sedangkan orang yang telah halal melakukan perkawinan disebabkan oleh perkawinan yang dilakukan muhallil disebut muhallal lah. Dengan demikian, nikah tahlil adalah perkawinan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada istrinya dengan nikah baru.[12]

Nikah tahlil ini hukumnya haram dan termasuk dosa besar apabila maksudnya untuk menghalalkan perkawinan seseorang dengan bekas istrinya yang telah di talak tiga, baik dengan persetujuan bekas suaminya ataupun tidak, sebab semua perbuatan itu dinilai menurut niatnya. Apabila diniatkan untuk menghalalkan, maka kawinnya haram dan batil karena maksud perkawinan yang sebenarnya adalah untuk pergaulan abadi, untuk memperoleh keturunan, mengasuh anak dan membina rumah tangga yang sejahtera, sedangkan perkawinan/nikah tahlil ini meskipun namanya perkawinan tetapi dusta, penipuan yang tidak diajarkan Allah dan dilarang bagi siapapun. Dalam perkawinan ini ada unsur-unsur yang merusak dan bahaya.[13] Rasulullah SAW bersabda:

حَدَّثَنَا مَحْمُوْدٌ بْنُ غَيْـلاَنَ حَدَّثَنَا أَبُوْ أَحْمَـدَ اَلزُّبَيْرِيْ حَدَّثَنَا سُـفْيَانُ عَنْ أَبِيْ قَيْسٍ عَنْ هُزَيْلٍ بْنِ شَرْحَبِيْلَ عَنْ عَبْـدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَـالَ : لَـعَنَ رَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْـهِ وَسَلَّمَ اَلْمُـحِلَّ وَاْلمُـحَلَّلَ لَهُ  (رواه الترمـذي)

 

…dari Abi Qais dari Huzail bin Syarhabil dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata: Rasulullah SAW melaknat muhilla dan muhallal lahu.”[14]

 

Menurut hukum Islam seorang isteri yang telah ditalak tiga oleh suaminya, tidak diperbolehkan kawin kembali dengan bekas suaminya kecuali setelah memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:[15]

a.       Sudah habis masa iddah sang perempuan dari suami yang mentalaknya.

b.      Perempuan itu sudah kawin lagi dengan laki-laki selain suami yang mentalaknya dengan perkawinan yang sah.

c.       Perempuan itu sudah melakukan hubungan suami-istri dengan suami yang baru.

d.      Perempuan itu sudah ditalak bain oleh suaminya yang baru.

e.       Telah habis masa iddah perempuan itu dari suaminya yang baru.

Selain larangan karena bentuknya, larangan perkawinan juga ada yang dikarenakan aliran nasab atau karena hubungan kekeluargaan. Dalam hal ini Allah swt berfimrna dalam QS. Al-Nisa’: 22-23 berikut:

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23)

Ayat diatas memberikan informasi bahwa erempuan yang dilarang untuk dinikahi ialah: (1) seorang perempuan yang pernah dinikahi oleh bapaknya, (2) ibu kandung, (3) anak perempuan, (4) saudara perempuan, (5) bibi dari jalur bapak, (6) bibi dari jalur ibu, (7-8) keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan, (9) ibu yang menyusui, (10) saudara perempuan yang sama-sama menyusu pada ibu yang sama, (11) mertua perempuan, (12) anak tiri (Jawa: anak gawan) yang ibunya sudah pernah dinikahi dan berhubungan bilogis, (13) istri atau mantan isteri anak-anak kandung, dan (14) mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara dalam satu pernikahan.

Termasuk dalam larangan karena nasab, adalah larangan karena hubungan susuan, sebagaimana sabda Nabi saw.: و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَ عَمِّي مِنْ الرَّضَاعَةِ يَسْتَأْذِنُ عَلَيَّ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ حَتَّى أَسْتَأْمِرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ إِنَّ عَمِّي مِنْ الرَّضَاعَةِ اسْتَأْذَنَ عَلَيَّ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْيَلِجْ عَلَيْكِ عَمُّكِ قُلْتُ إِنَّمَا أَرْضَعَتْنِي الْمَرْأَةُ وَلَمْ يُرْضِعْنِي الرَّجُلُ قَالَ إِنَّهُ عَمُّكِ فَلْيَلِجْ عَلَيْكِ [16]

 


 

[1]Konsepsi fiqh yang saya maksudkan ialah tentang tentang wali mujbir, yaitu suatu konsep fiqh yang menyatakan bahwa anak perempuan yang masih gadis hak penentuan calon pilihan pasangannya berada pada sang wali.

 

[2]Setiap masyarakat menentukan cara dan kriteria pemilihan calon secara berbeda-beda karena tidak bisa terlepas dari doktrin yang diajarkan dan juga budaya yang melingkupinya. Kedua hal tersebut saling pengaruh mempengaruhi dalam membentuk suatu sistem tata nilai budaya yang efektif untuk membentuk akar psikologis dan alam pikiran masyarakatnya. Baca mengenai hal ini dalam Muhammad Damami, Makna Agama dalam masyarakat Jawa (Yogyakarta: LESF, 2002), 7.

 

[3]Ada beberapa tingkatan hadits, dari sisi banyaknya perawi dibagi pada hadits mutawatir, masyhur, dan ahad, sedangkan dari sisi kesambungan sanad dibagi pada hadits muttashil (sampai kepada Rasulullah), mawquf (sampai pada sahabat), dan munqathi’ (hanya sampai pada tabiín). Hadits Ahad, yakni hadits yang diriwayatkan oleh jumlah sahabat yang tidak sampai pada tingkatan masyhur, ada yang shahih (jelas datang dari Nabi saw dan harus diamalkan) dan dla’if (jelas tidak datang dari Nabi saw dan tidak diamalkan kecuali dalam fadlail al-a’mal).

 

[4]Perhatikan sebagian potongan syarahnya berikut ini:

حديث أبي هريرة . قوله ( تنكح المرأة لأربع ) أي لأجل أربع . قوله ( لمالها ولحسبها ) , والحسب في الأصل الشرف بالآباء وبالأقارب , مأخوذ من الحساب , لأنهم كانوا إذا تفاخروا عدوا مناقبهم ومآثر آبائهم وقومهم وحسبوها فيحكم لمن زاد عدده على غيره . وقيل المراد بالحسب هنا الفعال الحسنة  , ويؤخذ منه أن الشريف النسيب يستحب له أن يتزوج نسيبة إلا إن تعارض نسيبة غير دينة وغير نسيبة دينة فتقدم ذات الدين , وهكذا في كل الصفات . قوله ( وجمالها ) يؤخذ منه استحباب تزوج الجميلة إلا إن تعارض الجميلة الغير دينة والغير جميلة الدينة , نعم لو تساوتا في الدين فالجميلة أولى , ويلتحق بالحسنة الذات الحسنة الصفات , ومن ذلك أن تكون خفيفة الصداق . قولهفي حديث جابر ” فعليك بذات الدين ” والمعنى أن اللائق بذي الدين والمروءة أن يكون الدين مطمح نظره في كل شيء لا سيما فيما تطول صحبته فأمره النبي صلى الله عليه وسلم بتحصيل صاحبة الدين الذي هو غاية البغية

 

[5]Helman Fajry, Salēp Tarjhâ: Antara Realitas, Normatifitas, Dan Mitos, Skripsi (Malang: Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2007), 18-22.

 

[6]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2006), 107.

 

[7]Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid”, diterjemahkan Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid (Cet. II; Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 528.

 

[8]Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah, Shahih al-Bukhari, Hadis 4720.

 

[9]Amir Syarifuddin, Op. Cit., 100.

 

[10]Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka setia, 2000), 32.

 

[11]Muslim bin al-Hujjaj bin Muslim bin Warad, Shahih Muslim, Hadis 2511.

 

[12]Amir Syarifuddin, Op. Cit., 103.

 

[13]H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 47.

 

[14]Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa ad-Dhahak, Sunan at-Tirmidzi, Hadis 1039.

 

[15]Muhammad bin Qasim al-Ghazzi as-Syafi’i, “Fathul Qarib”, diterjemahkan Imron Abu Umar, Fathul Qarib (Cet. I; Kudus: Menara Kudus, 1983), 69-70.

 

[16]Diriwayatkan dalam Imam Muslim, hadits ke 2619.