TEOLOGI SEKSUAL: Menelisik Akar-akar Seksualitas Dalam Tradisi Agama-agama

TEOLOGI SEKSUAL: Menelisik Akar-akar Seksualitas Dalam Tradisi Agama-agama[1]

Oleh : Umi Sumbulah[2]

 

Buku yang ditulis Geoffrey Parrinder dengan judul Telogi Seksual ini, berangkat dari kegelisahan akademik penulis bahwa :1)telah terjadi disparitas antara seks dan agama sebagai dualitas yang berbeda dan terpisah, padahal keduanya ada, diajarkan dan memiliki basis telogis dalam setiap agama. Buku ini banyak mengungkap akar-akar seksualitas, baik yang bersumber dari teks-teks keagamaan an sich (normativitas) maupun yang berasal dari tradisi yang telah dipraktikkan turun-temurun (historisitias). Agama memang terdiri dari dua dimensi itu.

Seks dan agama diyakini sebagai dua entitas yang menempati ruang yang berbeda. Seks diasumsikan bersifat fisis dan agama berdimensi spiritual, padahal keduanya sesungguhnya sama ekali tidak berada di luar eksistensi manusia. Anak manusia terlahir juga karena peristiwa seksual. Ia bertahan, berkembang dan lestari karena peristiwa tersebut. Namun, manusia tidak cukup hanya dengan kebutuhan fisik-biologis ini, ia juga membutuhkan “makanan” spiritual yang lazim didapatkan dari agama. namun, karena seks bukanlah sesuatu yang sama sekali lain dari agama, maka teks-teks keagamaan tentang seks juga inhern dengan eksistensi agama itu sendiri.Agama yang diturunkan untuk manusia, tentu juga mengatur dimensi-dimensi kemanusiaan, termasuk seks yang menjadi salah satu dimensi kemanusiaan yang naturalistik.

Seks dalam pengertian luas sesungguhnya mencakup semua peran laki-laki dan perempuan sebagai manusia, namun kemudian makna ini tereduksi  sebagai sejumlah perbedaan dalam organ reproduksi  yang membedakan antara mahluk laki-laki dan perempuan, bahkan lebih reduktif lagi seks diartikan sebagai  penyatuan fisik laki-laki dan perempuan atau persetubuhan (2). Namun seks dalam pengertian luas itulah yang dimaksud dalam buku ini.

Dalam tradisi agama-agama di India, yang bisa dilihat pada berbagai karya epos diyakini bahwa eksistensi sesembahan, seperti dewi diilustrasikan sebagai simbol kesuburan dan kesehatan anak (9). Demikian juga  dewa Siwa yang dijadikan simbol seks sekaligus lambang asketisme, sebagaimana disimbolkan dalam diri Syiwa-Parwati dan Wisnu-Laksmi, Krisna-Radha. Untuk itu, seks sebenarnya bukan untuk ditekan, tetapi diatur dan dikembangkan  dengan menghindari ekstrimitas pengekangan dan pengumbaran, yang dalam tradisi Hinduisme diyakini memiliki pijakan teologis sebagaimana disebut Baghawad Gita  bahwa “aku adalah tuhan tempat cinta berasal(18). Namun, yang patut dicatat adalah cinta akan sangat bernilai ketika diperjuangkan dan dipertahankan dengan penuh pengorbanan seperti terlihat pada pasangan Nala-Damayanti. Cinta juga mengkonsekusneikan kesetiaan dan ketaatan mutlak terutama dari pihak istri.

Ajaran Weda juga menggambarkan betapa seks, cinta dan perkawinan  merupakan persembahan dan laki-laki yang tidak menikah disebut sebagai orang yang tanpa persembahan. Kendati Hinduisme tidak menafikan anjuran selibat bagi para pertapa, namun hal itu tidak harus dilakukan seumur hidup, yang berarti boleh menikah, baik dari kalangan pendeta maupun orang awam(25). Sperma yang diyakini memiliki kekuatan magis dan vitalitas laki-laki harus dijaga dan karenanya –seperti pada kebanyakan masyarakat yang patriarkhis– dominasi seksual terletak pada kekuatan laki-laki, karena ia tidak hanya dimaknai semata-mata kontak fisik namun juga mengandung nilai ritual keagamaan yang mempersiapkan jalan bagi perkembangan lebih lanjut yang dieknal dengan sebutan Tantra. Adanya pandangan sakramental pada seks, maka penyatuan fisik laki-laki dan perempuan diyakini sebagai tempat Pencipta meneruskan karya kemanusiaannya. Perempuan juga tidak diberi kebebasan sebenarnya, ketika kanak-kanak berada di bawah kendali ayahnya, ketika menikah dikendalikan suaminya dan ketika renta diatur anak-anaknya (41). Aturan Hinduisme tentang seksual agak rigid, terutama terkait dengan bagaimana seks yang benar, yakni larangan oral, perzinaan dan terutama dengan perempuan dari kelas/kasta  di bawahnya.

Dalam tradisi Budhisme, diyakini bahwa sang Budha adalah manusia istimewa yang lahir dengan sejumlah keajaiban, tidak ternoda sedikitpun serta memiliki 32 tanda orang besar. Ia juga menikahi Yasodhara, namun ia adalah sosok asketis yang sangat sederhana dengan meninggalkan kemewahan istananya, juga keluarganya. Namun demikian, Budhisme mengenal selibat karena perempuan dianggap sebagai penggoda, yang karenanya tidak boleh dilihat, diajak bicara  dan harus menjaga jarak dengannya (75). Selebacy diyakini akan membuat biksu hidup sederhana dan meraih kebebasan dalam memperoleh ketenangan. Karena seks bisa menjadi pesaing ketenangan dan kedamaian yang dicari para biksu dengan melakukan penolakan diri terhadap seksualitas yang ditakuti  dan dipandang jijik, karena pemuasan seksual akan melemahkan kekuatan spiritual (80). Pikiran yang tercerahkan akan terhindar dari kemabukan terhadap sensualitas, daya tarik, khayalan dan kebodohan. Namun, teologi ini terus berkembang dan dari tahun 500 M, para biksu juga banyak yang menikah. Posisi perempuan dalam tradisi budhisme diangap rendah dan beban yang tidak diharapkan, sehingga ia harus memiliki kepatuhan dn ketaatan total kepada suaminya dengan melakukan tugas-tugasnya, perempuan adalah milik laki-laki dan tidak pernah pantas untuk mandiri  (hal. 93).

Tradisi Jainisme juga menyatakan bahwa perempuan adalah mahluk yang berbahaya. Karenanya, laki-laki yang telah melakukan hubungan seksual tidak lebih baik dari kepala rumah tangga tetapi bukan para biksu. Mereka yang mampu menolak kesukaan alamiah terhadap perempuan, akan dengan mudah melakukan tugas-tugas kebiksuan. Perempuan adalah setan perempuan, tempat dada tumbuh menjadi dua gumpal daging, pikirannya terus berubah-rubah, dan menggoda laki-laki (109).

Dalam tradsisi Sikhisme,  kendati terdapat mitostentang kesetiaan dan ketaatan isteri terhadap suaminya hingga seorang istri harus membakar diri bersama mayat suaminya, namun sikhisme memperingatkan bahwa perempuan adalah lobang neraka,kobra hitam, buah yang beracun dan api yang menyala  (113).

Tradisi Persia, kendati juga menyerap adapt perakwinan India, namun menolak mitologi seksual Syiwa-Parwati, atau Krisna-Radha.dalam pemikiran Zoroaster, bahwa wujud primordial manusia berasal dari tumbuhan sejenis kelembak yang bersatu lalu memisahkan diri  dalam bentuk laki-laki dan perempuan. Agama Parsi ini lebih menghargi laki-laki yang memiliki isteri daripada yang bujangan, laki-laki yang punya anak daripada yang tidak dsb, menolak selebacy, kehidupan biara,  puasa dan aib daging (122). Sebagaimana dalam Islam dan Hinduisme, agama Parsi melarang perzinaan dan pelacuran, karena ia bertentangan dengan semangat kebaikan dan menghambat kemajuan dunia. Namun, agama ini memandang menstruasi sebagai sesuatu yang kotor di bawah pengaruh dewa kejahatan (Ahriman) dan karenanya harus diisolasi.

Dalam mitologi China, perempuan dan laki-laki diillustrasikan dengan relasi Yin (gelap, dalam dan menerima) dan Yang (terang, tinggi, menembus), yang keduanya saling melengkapi, tidak untuk dibedakan karena harmoni merupakan basis kebahagiaan seksual, yang diyakini tidak menyurutkan usia namun justru meningkatkan tenaga dan memperpanjang usia. Di samping itu, juga karena semua Yin mengandung Yang dan semua Yang mengandung Yin, dimana  interaksi keduanya  disebut Tao yang ditafsirkan sebagai  satu pertemuan dan satu laki-laki (138).

Pada tradisi Shinto di Jepang, terdapat mitologi Izanagi (pria yang mengundang)-Izanami (perempuan yang mengundang) sebagai dua nenek moyang semua mahluk. Terdapat kehidupan perempuan yang berbeda-beda sesuai dengan latarnya. Perempuan samurai misalnya kurang memiliki kebebasan seperti kelas terhormat di atas mereka atau kelas pedagang dan petani di bawahnya. Stereotyping terhadap istilah perempuan yang identik dengan “keributan”, juga dipakai untuk laki-laki yang lamban dan bodoh (203). Demikian juga para perempuan yang sedang menstruasi atau melahirkan, harus diisolasi, sebagaimana dalam tradisi Yahudi dan Persia. Para geisha (pelacur) dari kelas tinggi maupun rendah, diatur untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan laki-laki sebelum ada kontrak terhadapnya (217).

Tradisi Afrika, Tuhan dianggap laki-laki dan ayah meski di beberapa tempat lebih memuja dewa perempuan. Seksualitas disimbolkan dalam penciptaan kosmos. Amma, dewa tertingi ketika menciptakan berposisi berbaring seperti dalam posisi senggama, dengan vulva dari sarang semut dan klitoris dari sarang rayap. Karena kesalahan teknis ahirnya persetubuhan tidak bisa dilakukan karena klitoris menegang seperti penis Amma dan akhirnya klitoris tersebut dikhitan (klitoridektomi). Tampaknya, menjamurnya tradisi dorsumsisi  atau khitan perempuan di Afrika, didasarkan pada basis teologis ini (226). Hal ini dilakukan untuk memudahkan penetrasi seksual laki-laki, serta menghegemoni, mendominasi, menghilangkan perlawanan dari pihak perempuan. Namun demikian, dalam tradisi agama Afrika juga terdapat larangan-larangan, yakni melakukan hubungan seksual ketika menstruasi, hamil dan setelah melahirkan serta seks inses, baik terhadap kerabat maupun klan yang sama.

Dalam tradisi Islam, diyakini bahwa agama ini tidak memgajarkan kerahiban (la ruhbaniyyata fi al-Islam), karena dianggap menyalahi kodrat dan fitrah  mausia. Muhammad yang disoroti karena memilik isteri banyak, dinilai bukan sebagai orang yang seks maniak untuk konteks zamannya, bahkan diakui bahwa perkawinannya semua bernuansa politis untuk  kepentingan tugas-tugas profetiknya. Ini terbukti perkawinan monogami yang dilakukannya selama 25 tahun dengan seorang janda, baru 3 tahun setelah meninggal isteri pertamanya, Nabi melakukan poligami, di saat usianya lanjut dan dalam waktu 8 bulan dengan 9 isteri. Perkawinan  bagi umatnya, juga telah banyak diisyaratkan tuntunannya, mulai dari memilih jodoh, peminangan, bagaimana menikmati hubungan seksual dengan memperlakukan istri demikian berharga dengan prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf.

Status perempuan yang diangkat dengan harga tingi era nabi, di era pra Islam memiliki citra demikian buruk, yang terlihat pada; 1) fenomena penguburan anak perempuan dan perlakuan perempuan seperti harta yang mati; 2)di era nabi ada fenomena jilbab, yang sesungguhnya tasyri’-nya muncl karena  untuk membedakan para perempuan merdeka (hurrah) dari perempuan budak (‘amat) yang biasanya digoda oleh para laki-laki; 3) fenomena harem.

Dalam tradisi Yahudi, seks dianggap sebagai sesuatu yang naturalistik dan religius yang diterima dan diyakini ciptaan Tuhan, dimana seksualitas ditujukan sebagai media prokreasi dan meneruskan ciptaan Tuhan. Laki-laki dan perempuan diciptakan dalam citra Tuhan, namun diyakini bahwa perempuan (Eva) terbuat dari tulang rusuk Adam serta meyakini pada diri perempuanlah asal muasal dosa dan karena perempuan kita semua mati ((321). Hukum Yahudi juga melarang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, pelacuran dan homoseksualitas, poligami, kendati pada awalnya dibolehkan seperti Solomon yang memiliki 700 istri dan 300 selir, namun kemudian sejak abad XI dilarang namun juga penuh perdebatan. Darah menstruasi dianggap kotor, dan karenanya perempuan yang sedang menstruasi dan setelah melahirkan dilarang menyentuh benda-benda keramat dan menjauhi tempat ibadah (327).

Tradisi Kritiani menekankan monogami sejak awal, apa yang telah disatukan Tuhan dilarang dipisahkan manusia,. Namun demikian, kendati kerasnya larangan perceraian, namun dibolehkan karena perzinaan. Cinta yang menjadi konsep sentral dalam Perjanjian Baru, bahkan kedekatan hamba dengan Tuhan juga disimbolkan dalam cinta. Dalam agama ini pula, celibacy dikenal sebagai pilihan hidup untuk melayani Tuhan, juga para biarawati ketika diambl sumpahnya, ia bagaikan bidadari dan pengantin perempuan bagi Tuhannya.

Dalam tradisi Baha’i, persoalan seksual diatur seperti dalam tradisi agama semitis, namun bahai tidak mengenal dosa asal, selibat, dan menghargai kesucian sebelum dan selama pernikahan, karena ia dianggap sebagai media prokreasi yang tepat. Perceraian juga dibolehkan hanya dalam kondisi-kondisi tertentu.

Dari berbagai tradisi agama di atas, dapat disimpulkan bahwa agama sesungguhnya bukanlah murni tasyri’ baru, namun ia sesungguhnya –di saming otoritas wahyu—juga merupakan hasil dialektika dengan tradisi dari agama-agama sebelumnya. Karena itu, banyaknya kemiripan ajaran dalam agama-agama, semakin memperkuat keyakinan kita bahwa munculya agama baru, bisa jadi merupakan pengembangan atau protes terhadap kebekuan agama lama, seperti munculnya agama Budha memprotes hinduisme, munculnya shintoisme karena kebekuan agama China, atau kehadiran Islam tidak untuk mengabrogasi agama-agama sebelumnya namun untuk memperkuat, menyempurnakan dan membenarkan atau mengoreksi beberapa hal dari sistimatika ajaran agama sebelumnya itu.

Wa Allah  a’lam bi al-shawab

 


[1] Catatan kecil disampaikan dalam Forum Bedah Buku yang diselenggarakan oleh PMII Rayon Condrodimuko Komisariat Sunan Ampel UIN Malang, tanggal 26 Mei 2005

[2] Penulis kini adalah Dosen Pascasarjana dan Pembantu Dekan Bidang Akademik fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *