TELAAH ONTOLOGIS & EPISTEMOLOGIS TERHADAP AL-QUR’AN: Sebuah Kajian Awal

TELAAH ONTOLOGIS & EPISTEMOLOGIS TERHADAP AL-QUR’AN: Sebuah Kajian Awal [1]

Oleh : Umi Sumbulah[2]

 

Pengertian dan Problematika

Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama  ajaran Islam, memiliki prinsip-prinsip ajaran yang sempurna sekaligus bersifat universal dan eternal. Karenanya, konsekuensi logis dari pengakuan tersebut, pesan-pesan suci ini berlaku  untuk dan relevan dengan  segala zaman. Dalam rangka kontekstualisasi al-Qur’an, diperlukan pemahaman tentang hakikat al-Qur’an, bagaimana diturunkan dan bagaimana memahaminya.

Secara etimologis, terma al-Qur’an merupakan bentuk masdar dan sinonim dengan kata “qira’ah” yang berarti bacaan, yang kemudian dimaknakan  sebagai isim maf’ul “maqru’  yang berarti yang dibaca. Pemaknaan ini disarikan dari QS. al-‘Alaq yang tema sentral surat tersebut adalah perintah kepada manusia untuk membaca (iqra’).

Dari sisi terminologisnya, al-Qu’an didefinisikan  sebagai kalamullah yang mu’jiz, dirurunkan kepada Nabi SAW melalui perantaraan Jibril, dengan lafadz arab, tertulis dalam mashahif, diriwayatkan secara mutawatir, membacanya sebagai ibadah, diawali dengan Surat al-Fatihah dan diakhiri dengan Surat al-Nas (Al-Zuhaily,1991:13). Keterangan dibawah ini adalah jabaran dari butir-butir definisi terminologis tersebut :

Kalamullah.

Al-Qur’an merupakan formulasi kalam nafsi Tuhan ke dalam kalam lafdzi dan menempatkannya di Lauh Mahfudz (QS. Al-Buruj:22). Setelah itu, Allah mewahyukan al-Qur’an kepada Jibril untuk diturunkan ke Langit Dunia (Baitul ‘Izzah). Penurunan al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah ini terjadi secara sekaligus, barulah Jibril menurunkannya kepada Muhammad SAW. secara berangsur-angsur. Dengan demikian proses penurunan al-Qur’an hingga Nabi Muhammad telah melewati 2 tahap: pertama, penurunan dari Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah secara sekaligus ; 2) Penurunan al-Qur’an dari Langit Dunia kepada Muhammad SAW secara berangsur-angsur.

 

Al-Mu’jiz.

Terma al-mu’jiz biasa diterjemahkan  sebagai sesuatu yang melemahkan. Selanjutnya istilah mu’jizat diartikan sebagai sesuatu yang  luar biasa, yang diperlihatkan oleh Allah melalui para nabi dan Rasul-Nya sebagai bukti kebenaran risalah mereka. Kemu’jizatan al-Qur’an bersifat ‘aqliyah  yang  hanya bisa didekati dan dipahami lewat pendekatan yang aqliyah pula. Karena sifatnya yang aqliyah ini pulalah, maka kemu’jizatan al-Qur’an berbeda dengan kemu’jizatan yang pernah diberikan Allah kepada nabi-nabi sebelumnya yang bersifat hissiyah (dapat dicerna/diamati  dengan pancaindera).

Segi-segi kemu’jizatan al-Qur’an terdapat pada 3 hal : 1) I’jaz lughawi yang menekankan pada keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya; 2) pemberitaan-pemberitaan yang ghaib: 3) Isyarat-isyarat ilmiahnya (Quraish Shihab, 1994:29-32). Manna’ al-Qaththan menambahkan i’jaz tasyri’i dari formulasi yang dimajukan Quraish Shihab di atas.

Adapun bukti-bukti kemu’jizatan al-Qur’an, adalah :

1.   Kegagalan bangsa arab  menjawab tantangan al-Qur’an, padahal saat itu mereka bersentuhan langsung dengan proses turunnya al-Qur’an dan pada saat yang sama  mereka mencapai puncak kejayaan linguistik. Adapun tantangan tersebut adalah :

a. Seluruh al-Qur’an (QS. 17:88 dan QS.52:34)

b. Sepuluh Surat dari 114 surat dalam al-Qur’an (QS. 11:13)

c. Satu surat (QS.10:38)

2.  Terkuaknya satu persatu kebenaran futurologi al-Qur’an

3. Bersesuaiannya isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an dengan penemuan ilmu  pengetahuan yang telah mapan

4.  Persesuaian antara  nilai-nilai universal dan prinsip-prinsip dasar yang ingin ditegakkan al-Qur’an dengan  nilai dan prinsip yang diakui perspektif modern

5. Otentisitas dan orisinalitasnya yang telah teruji sejarah serta  justifikasi teologis jaminan Tuhan terhadap penjagaan al-Qur’an (QS. Al-Hijr: 14)

 

Diturunkan kepada Nabi  Muhammad SAW melalui Jibril.

Diutusnya Jibril sebagai penyampai wahyu kepada Muhammad SAW merupakan keistimewaan al-Qur’an. Ini menandakan bahwa proses penurunan al-Qur’an –meski Tuhan kuasa melakukannya sendiri— tetapi tetap melibatkan pihak lain. Demikian juga dengan proses penjagaannya, tidak hanya mengandalkan jaminan Tuhan tetapi juga melibatkan semua komunitas yang mengaku sebagai umat Muhammad SAW. Ini pulalah yang diisyaratkan dalam QS. Al-Hijr: 14; yang artinya : Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan al-Dzikr (al-Qur’an) dan Kami pula yang menjaganya”.  Kata Kami dalam konteks ayat ini melibatkan pihak lain selain Tuhan, baik dalam proses penurunan (dengan Jibril) maupun penjagaan orisinalitas dan otentisitasnya (manusia / umat Muhammad SAW).

 

Al-Qur’an berbahasa Arab

Mengapa al-Qur’an memilih bahasa Arab sebagai pilihan bahasa memiliki beberapa alasan: pertama, bangsa Arab merupakan representasi kebobrokan moralitas dunia, sehingga dengan menurunkan al-Qur’an dengan bahasa mereka, diharapkan mereka langsung memahaminya. Kedua, Arab adalah daerah lalu lintas perdagangan internasional yang sangat strategis bagi penyebaran Islam ke wilayah-wilayah lainnya. Ketiga, terdapat keterkaitan teologis dan historis dengan nabi-nabi yang diutus sebelumnya, yang menyerukan kepada monotheisme dan amal shalih. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa kendati al-Qur’an berbahasa arab ternyata banyak ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an yang tidak dipahami oleh orang Arab. Ini menandakan bahwa di satu sisi al-Qur’an merupakan bahasa manusia yang dipinjam Tuhan, tetapi di sisi lain al-Qur’an adalah bahasa Tuhan sendiri. Misalnya adalah huruf-huruf muqatha’at yang tidak bisa dipahami sama sekali makna hakikinya oleh manusia, seperti Ya-sin, Qaaf, Nuun, Alif Lam Mim dan sebagainya.

 

Diriwayatkan secara Mutawatir.

Proses transformasi al-Qur’an melibatkan banyak pihak (selain Tuhan). Bahkan ketika suatu suatu ayat telah turun kepada Muhammad secara lansung dikomunikasikan kepada sekelompok sahabat para penulis wahyu (kuttabal-wahyi) dan demikian seterusnya hingga dikodifikasikan secara resmi pada era pemerintahan Usman bin Affan. Yang terpenting dalam konteks periwayatan secara mutawatir di sini adalah mustahilnya / tidak adanya kesepakatan sekelompok orang  untuk melakukan kebohongan (tuhayyal al-‘adat tawatha’uhum ‘ala al-kadzib). Namun sebelum dikodifikasikan secara resmi, sebenarnya telah ada penulisan pada era Nabi (kitabah), penyusunan dalam mushaf / lembaran-lembaran di era Abubakar (tasnif)  dan pembukuan /kodifikasi  di era Usman bin Affan (tadwin).

 

Posisi dan Fungsi Al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama dalam Islam

Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, merupakan rujukan sentral dalam pemahaman ajarannya. Karena itu, jika terjadi pertentangan antara hadis dan al-Qur’an, maka al-Qur’an yang lebih kuat dan hadis yang secara lahir bertentangan tersebut, bisa ditinggalkan atau dicari pemaknaan lain yang selaras dengan makna al-Qur’an. Misalnya dalam sebuah teks hadis nabi terdapat riwayat :” perlakukanlah perempuan dengan baik karena ia tercipta dari tulang rusuk yang bengkok”. Karena al-Qur’an tidak ada yang menyatakan demikian, maka validitas  sanad (transformer hadis) dan matn (makna/isi teks hadis) tersebut bisa dikritisi ulang.

Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk kesejahteraan dunia dan kebahagiaan di akhirat

Al-Quran menegaskan bahwa manusia adalah mahluk monodualisme, yang terdiri dari jasmani-rohani, berdimensi material-immaterial, individual-sosial, dunia-akhirat. Oleh karenanya, diharuskan setiap manusia menyeimbangkan dua aspek kehidupannya, seperti yang diisyartakan dalam QS. Al-Qashash :

Sebagai Petunjuk dan pedoman hidup manusia

Sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia, seperti dimajukan Quraish Shihab (1998:   )al-Qur’an mengandung berbagai pokok persoalan kehidupan menyangkut:

Petunjuk akidah dan kepercayaan yang tersimpul dalam  keimanan akan keesaan Tuhan dan  kepercayaan akan adanya hari pembalasan

Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia baik secara individual maupun kolektif

Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan  menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.

 

Bagaimana Memahami al-Qur’an

Al-Qur’an bukanlah buku petunjuk praktis mengenai kehidupan manusia, tetapi ia hanya merupakan sekumpulan aturan prinsipil dan fundamental yang menuntut untuk dipahami, sehingga universalitas dan eternalitasnya terbukti. Untuk itu diperlukan seperangkat metodologi pemahaman, yang dalam konteks al-Qur’an lazim dikenal dengan sebutan tafsir.

Perspektif Asbab al-Nuzul

Pengembagan studi keislaman yang berkaitan dengan al-Qur’an dapat ditempuh di antaranya dengan pendekatan yang oleh Mukti Ali (1987:323) sering disebut sebagai pendekatan Sosio-historis. Aplikasi pendekatan tersebut memungkinkan  penemuan nilai-nilai dan makna substansial dalam al-Qur’an yang terangkum dalam asbab al-nuzul, yakni sesuatu yang disebabkan olehnya  diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung peristiwa, atau menerangkan hukumnya pada saat terjadinya peristiwa itu (Subhi al-Shalih, 1988:132).

Dalam konteks ini, Dawud al-Attar membagi ayat-ayat al-Qur’an dalam dua kategori : pertama, ayat yang turun  dengan adanya sebab; kedua, ayat yang turun tanpa sebab atau peristiwa yang melatarinya, seperti ayat-ayat yang  menceritakan umat terdahulu, berita-berita alam ghaib, gambaran alam barzakh, persaksian alam kebagkitan, keadaan hari kiamat dan sebagaimnya.Kategori ayat yang disebut terakhir ini turun sebagai i’tibar dan bahan pelajaran bagi umat Muhammad dalam menapaki kehidupan ini.

Dengan demikian indikasi asbab al-nuzul adalah: pertama, Adanya sebab/peristiwa yang dengan sebab itu ayat diturunkan, seperti diilustrasikan al-Zarqani: a) Karena kondisi pertikaian satu suku dengan suku lainnya sehingga turun ayat tentang persatuan (QS.3:1000-103 ); b)Kesalahan serius yang diperbuat seseorang seperti salah seorang sahabat yang mabuk ketika shalat dan terdapat kesalahan fatal dalam membaca al-Qur’an sehingga turun ayat4:43; c)Adanya keinginan yang dicita-citakan seseorang misalnya Umar bin Khathab  ingin shalat di maqam Ibrahim lalu turun QS.2:125 dsb.

Kedua, menjawab pertanyaan, baik pertanyaan tentang masa lalu seperti  tentang dzul Qarnain, pertanyaan masa turun al-Qur’an seperti tentang hilal, ruh, haidh,anfal dan sebagainya maupun tentang masa datang seperti tentang hari kiamat dsb; ketiga, memberikan hukum peristiwa yang diangkat sehingga perlu penjelasan ayat yang saat itu diturunkan

 

2.  Pentingnya Asbab al-Nuzul dalam memahami al-Qur’an

Asbab al-nuzul sangat terkait dengan pendekatan sosio-historis, yang mengharuskan pengambilan konklusi dengan memperhatikan kenyataan yang memiliki kaitan dan kesatuan dengan waktu, tempat, setting sosio-kultural, pelaku, golongan dan atau kelompok saat terjadinya peristiwa. Oleh karenanya, pemahaman al-Qur’an dalam konteks ini tidak hanya  terbatas pada periwayatan naqliyah, tetapi bisa dengan periwayatan ‘aqliyah yang dalam hal ini bisa digunakan qiyas/logika kekhususan sebab. Karena logika ini, yang akan dapat mengacu kepada  al-maslahat al-mursalah. Illustrasi tentang tahap pengharaman khamr di bawah ini dapat memberikan pemahanan tentang hal tersebut :

Tahap pertama berupa peringatan bahwa bahaya minum khamr itu lebih banyak daripada manfaatnya (QS.al-Baqarah:219)

Tahap kedua berupa pembatasan, keharamana khamr jika mendekati waktu shalat karena dimungkinkan akan terjadi banyak kekeliruan bila shalat dalam keadaan mabuk (QS. 4:143)

Tahap ketiga adalah vonis keharaman khamr (QS. Al-Maidah: 90)

Hirarki hukum di atas,  memiliki pertimbangan-pertimbangan berikut :

Masyarakat (khususnya  Makkah) belum siap menerima beban yang terlalu berat dengan mengubah kebiasaan/tradisi mereka yang sudah berurat-berakar sedemikian kuat

Perubahan secara perlahan  dalam pelaksanaan hukum Islam justru akan membekas  dan mempermudah pelakasanaan hukum tersebut.

Al-Qur’an turun untuk kemaslahatan manusia, dan karenanya prosesnya juga sangat manusiawi

 

Metodologi Tafsir al-Qur’an

Pada Masa Rasulullah SAW.

Upaya memahami al-Qur’an telah terjadi sejak Rasulullah SAW. masih hidup, karena beliau adalah mubayyin al-Qur’an / al-mufassir al-awwal ((QS. Ibrahim: 4). Sepeninggal Rasulullah, para sahabat juga menafsirkan al-Qur’an

 

Tafsir Masa Sahabat

Sumber tafsir era sahabat adalah : al-Qur’an al-Karim; Sunnah rasulullah, Ijtihad dan riwayat-riwayat ahl al-Kitab baik dari Yahudi maupun Nasrani (al-Dzahabi, Juz I:36).

Tafsir Era Tabiin.

Pada era ini bermuncul berbagai perguruan tafsir, al: Perguruan Ibn Abbas di Makkah, Ubay ibn Ka’ab di Madinah, Ibn Mas’ud di Irak yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh ahl al-ra’yi (kelompok rasionalis).

Tafsir di era Pembukuan (Kodifikasi hadis pada masa pemerintahan Umar ibn Abd al-Aziz 99-101 H.) atau disebut periode II

Tafsir di Era penyusunan Kitab-kitab Tafsir (periode III).  Pada ,asa ini corak dan sumber tafsir tidak hanya bi al-ma’tsur tetapi juga bi al-ra’yi., yang secara umum,  diklasifikasikan pada 4  metode:

Tafsir tahlily : metode tafsir yang mengkaji ayat-ayat al-Qur’an  dari berbagai segi dan maknanya, ayat demi ayat, surat demi surat mengikuti kronologi mushaf Usmani, misalnya : Tafsir al-Baidhawy, al-Alusy dsb.

Tafsir Ijmaly : metode penafsiran al-Qur’an  secara singkat dan

global,   sebatas arti yang dikehendaki dengan menggunakan uraian

bahasa yang   mudah difahami. Misalnya : Tafsir Jalalain, Tafsir al-Qur’an al-Karim  karya Farid Wajdi dsb.

3)   Tafsir Muqaran  : metode penafsiran dengan cara  mengambil sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat tersebut serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Termasuk dalam bahasan metode ini adalah membandingkan ayat dengan ayat atau dengan sunnah Nabi SAW. Misalnya : Dzurrah al-Tanzil wa Ghurrah al-ta’wil dsb.

4)   Tafsir Maudhu’iy:  metode penafsiran dengan cara menghimpun

seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang  berbicara tentang satu masalah/tema (mawdhu’) serta mengarah kepada satu tema atau tujuan, sekalipun tempat dan waktu turunnya ayat-ayat tersebut berbeda-beda. Misalnya :

al-Mar’ah fi al-Qur’an karya Abbas al-Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya al-Mawdudi dsb.

5)  Tafsir al-Maqashidy (tawaran al-Jursy) : tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan maksud dan nilai universal al-Qur’an, tidak menitikfokuskan perhatian melulu  pada  nilai-nilai situasional,partikular dan lokal (Jawa Pos, 9 Pebruari 2003). Adapun cara kerja tafsir  ini  hampir sama dengan tafsir mawdhui, hanyasaja tafsir ini berangkat dari :

Mengidentifikasi persoalan-persoalan kekinian yang mendesak

Upayakan instrumen penafsiran yang mampu membongkar kesalahan dalam menilai realitas kekinian, dengan pendekatan-pendekatan modern-kontemporer semisal hermeunetika, filologi, sosio-historis dsb.

Menghimpun rujukan-rujukan tekstual

Dari sekian metodologi tafsiran al-Qur’an di atas, mungkin yang paling cocokl untuk kondisi sekarang adalah dua poit yang disebut terakhir, karena masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan, serta bisa diberlakukan pada konteks subyek yang berbeda-beda pula. Namun yang lebih penting diperhatikan adalah, ketika persyaratan  individual mufassir kurang terpenuhi, maka siapapun bisa melakukan penafsiran secara kolektif, dengan pihak-pihak yang expert di bidang masing-masing, sehingga diperoleh penafsiran yang holistik dan komprehensif mengenai suatu masalah.

Dengan semakin berkembangnya isu global dan isu kemanusiaan, agaknya metode-metode  tafsir kontemporer semisal hermeneutika, sosilologi, antropologi dan pendekatan historis layak untuk dikembangkan, guna mewujudkan jargon bahwa al-Qur’an selalu dapat berdialog dengan situasiu dan kondisi apapun (shalihun likulli zaman wa al-makan)

Wa Allah a’lam bi al-shawab

 

 

DAFTAR RUJUKAN

Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1996

———-, Wawasan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1998

al- Munawwar, Sayyid Aqiel,  I’jaz  al-Qur’an dan Problematika Tafsir, Dimas, Solo, 1995

Hadna, Said dan Masykur Hasyim, Problematika Tafsir al-Qur’an, Dimas, Solo, 1995

 

 


[1] Makalah singkat ini pernah disampaikan dalam Forum Studi Intensif Kristen-Islam (SIKI) yang diiukti oleh pemuka agama Kristen dan Islam se-Indonesia di IPTh Balewiyata Malang, tanggal 17-18 Februari 2003.

[2] Penulis kini adalah Dosen dan Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Syariah UIN Maliki Malang, dan Sekretaris Lembaga Kerjasama Lintas Agama “Toleransi” Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *