PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI BAITUL MAL WAT TAMWIL (BMT) USAHA GABUNGAN TERPADU (UGT) SIDOGIRI KEC. KLAMPIS BANGKALAN

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI BAITUL MAL WAT TAMWIL (BMT) USAHA GABUNGAN TERPADU (UGT) SIDOGIRI KEC. KLAMPIS BANGKALAN

 

Irwanto

NIM 08220061

Jurusan Hukum Bisnis Syariah, Fakultas Syariah

UIN Malang Malik Ibrahin Malang

Email: irwan_radiq@yahoo.com

 

Asbtrak

Kontrak atau perjanjian merupakan intrumen penting dalam kehidupan manusia untuk mengawal segala kegiatan bisnisnya tak terkecuali dalam pembiayaan mudharabah. Seiring dengan perkembangan bisnis semakin meningkat sehingga menuntut pihak lembaga keuangan syariah (BMT UGT Sidogiri Klampis) menggunaan model kontrak yang simple, efisien, dan mampu menampung kepentingan para pelaku bisnis melalui kontrak baku (standard contract). Adanya kontrak baku ini seolah-olah bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena dalam kontrak baku ini dibuat secara sepihak.

Penelitian ini bertujuan untuk  mengetahui tentang pandangan pihak BMT UGT Sidogiri Kec. Klampis Bangkalan dan nasabahnya tentang asas kebebasan berkontrak dalam melakukan perjanjian pembiayaan mudharabah dan untuk mengetahui tentang penerapan asas kebebasan berkontrak dalam melakukan perjanjian pembiayaan mudharabah di BMT  UGT Sidogiri Kec. Klampis Bangkalan. Dengan harapan dari penelitian ini dapat memperluas khasanah keilmuan dan dapat menjadi bahan atau refrensi dalam menyikapi permasalahan penerapan asas kebebasan berkontrak

Penelitian ini, menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang dapat diklasifikasikan pada jenis penelitian field reseach (penelitian lapangan). Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan observasi, dokumentasi dan wawancara bebas terpimpin. Dimana lokasi penelitian dilakukan di BMT UGT Sidogiri Klampis Kab. Bangkalan. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder serta data tersier. Kemudian untuk mengetahui tafsiran dari data yang diperoleh dengan menggunakan tehnik pengolahan Editing, Classifaying, Analisis Data dan Concluding (kesimpulan).

Hasil penelitian ini adalah, pertama dari segi pengetahuan dalam memahami seluk-beluk perjanjian antara nasabah dengan pihak BMT terdapat perbedaan yang signifikan. Kendati demikian, pihak BMT UGT Sidogiri Klampis telah memberikan penjelasan pada nasabah mengenai kontrak atau perjanjian pembiayaan mudharabah. Kedua kontrak atau perjanjian pembiayaan mudharabah yang sudah ditentukan secara sepihak oleh pihak BMT UGT Sidogiri Klampis tidak bisa dikatagorikan sebagai kontrak baku. Hal tersebut dikarenakan pihak BMT masih memberikan kebebasan pada nasabah untuk negosiasi terhadap opsi yang ditawarkan. Sehingga perjanjian terjanjian tersebut tetap mengadung asas kebebasan berkontrak yang sama-sama mencapai kesepakatan selah melakukan tawar-menawar atau negosiasi.

A.     Latar Belakang Masalah

Salah satu kegiatan penting yang senantiasa dilakukan dalam dunia bisnis (usaha) adalah membuat beraneka ragam perjanjian (kontrak). Untuk itulah, di dalam menjalankan bisnis betapa pentingnya kontrak yang harus dibuat sebelum bisnis itu sendiri berjalan dikemudian hari.[1] Eksistensi perjanjian atau kontrak bernilai urgen bagi kehidupan manusia karena dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan manusia yang tidak mampu dipenuhi sendiri tanpa bantuan orang lain. Aturan main dalam pemenuhan kebutuhan dengan melibatkan orang lain haruslah jelas dan dewasa ini perlu dituangkan dalam suatu kontrak yang dapat melindungi kepentingan masing-masing pihak. Sehingga dapatlah dipahami apabila kontrak dikatakan sebagai sarana sosial dalam peradaban manusia untuk mendukung kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.[2] Hal itu sesuai dengan pendapat Apeldoorn yang menyatakan bahwa perjanjian adalah salah satu faktor yang membantu pembentukan hukum.[3]

 Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian atau persetujuan diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.[4] Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa perjanjian yang terdapat dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata tidak lengkap, dan terlalu luas. Hal itu disebabkan karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.[5] Padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.

 Adanya asas kebebasan berkontrak yang memperbolehkan  kedua pihak bebas menentukan apa yang boleh dan tidak boleh di dalam menentukan isi perjanjian asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Artinya kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Ada sejumlah pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUHPerdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUHPerdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar sehingga menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat perjanjian tidak sama kuat kedudukannya atau tidak mempunyai barganing position yang sama.[6]

Melihat kian luas dan beragamnya pola bisnis berbasis perekonomian syariah, maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam akad atau kontrak di Lembaga Keuangan Syari’ah khususnya Baitul Maal Wat Tanwil (BMT) menjadi penting diupayakan implementasinya. Dalam penerapan pola hubungan akad inilah sudah seharusnya tidak terdapat penyimpangan-penyimpangan dari kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak karena masing-masing menyadari akan pertanggungjawaban dari akad tersebut. Tetapi dalam koridor masyarakat yang kurang sadar hukum, tidak dapat dihindari munculnya perilaku saling mengeksploitasi satu sama lain. Sehingga kuantitas dan kompleksitas perkara terutama perkara-perkara bisnis akan sangat tinggi dan beragam.

Secara definitif Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah yaitu, baitul maal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non-profit, seperti, zakat, infaq, dan shadaqah. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dana dan penyaluran dana komersial. Usaha-usaha tersebut tidak bisa dipisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syari’ah. sehingga, keberadaan BMT diharapkan mampu mengatasi masalah ini lewat kebutuhan-kebutuhan masyarakat.[7]

BMT sebagai salah satu lembaga keuangan syari’ah non bank yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan produktifitas masyarakat dengan menawarkan berbagai macam produk pembiayaan dengan prinsip bagi hasil baik secara mudharabah maupun musyarakah kepada masyarakat. Namun dalam penelitian  ini, peniliti hanya memfokuskan pada pembiayaan mudharabah sebagai bentuk perjanjian kerjasama Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) UGT Sidogiri Kec Klampis Bangkalan dengan Nasabahnya.

Umumnya model perjanjian pembiayaan yang dipakai oleh pihak Baitul Maal Wa Tanwil (BMT) dewasa ini adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya. Artinya, perjanjian di dalam transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainya untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainya untuk melakukan negosiasi syarat-syarat yang disodorkan.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dan Penelitian ini juga menggunakan liberary research (literatur), yang diorientasikan untuk mengungkap dan mendiskripsi kanpenerapan Asas-Asas Kebebasan Berkontrakdalam Perjanjian Pembiayaan mudharabah  di Baitul Mal WatTmwil (BMT) Usaha Gabungan Terpadu (UGT) Sidogiri Kec. Klampis Kabupaten Bangkalan.

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan kualitatif mengantarkan peneliti mendapatkan data yang akurat dan otentik dengan cara peneliti bertemu dan berhadapan langsung dengan subjek penelitian/informan untuk wawancara dan berdialog dengan subjek penelitian. Sedangkan sumber Data penelitian ini dikatagorikan menjadi tiga bagian, diantaranya; Data primer, data sekunder dan data tersier. Adapun beberapa instrument yang digunakan sebagai perangkat dalam pengumpulan data, diantaranya: Observasi, dokumentasi dan wawancara.

Tehnik Pengolahan Data

Pengolahan data adalah tahapan-tahapan peneliti mengolah dan mendiskripsikan dengan tujuan memudahkan dalam memahami pokok masalah yang diteliti. Adapun langkah-langkah tersebut diantaranya dengan cara Editing, classifaying (pengelompokan) dan langkah terakhir adalah concluding yaitu pengambilan kesimpulan dari data-data yang telahdi olah untuk mendapatkan suatu jawaban.[8] Pada tahap ini membuat kesimpulan-kesimpulan/menarik poin-poin penting yang kemudian menghasilkan gambaran secararingkas, jelas dan mudah dipahami tentang pandangan pihak BMT dan Nasabah BMT UGT Sidogiri Kec. Kelampis di Bangkalan.

Hasil dan Pembahasan

Pandangan pihak BMT UGT Sidogiri Kec Klampis dan nasabahnya tentang Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Melakukan Perjanjian Pembiayaan Mudharabah.

Melihat kian luas dan beragamnya pola bisnis berbasis perekonomian syariah, maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam akad atau kontrak di Lembaga Keuangan Syari’ah khususnya BMT menjadi penting untuk diimplementasikan. Dalam hal implementasi, para pelaku dan pengguna ekonomi syariah harus menjalankan kegiatannya berdasarkan syariah. Pola hubungan yang didasarkan pada keinginan untuk menegakkan sistem syariah diyakini sebagai pola hubungan yang kokoh antara BMT dan nasabah. Pola hubungan antara pihak yang terlibat dalam Lembaga Keuangan Syariah tersebut ditentukan dengan hubungan akad.

Menurut pihak BMT bahwa dalam melaksanakan pembiayaan mudharabah para pihak diikat dalam suatu kontrak atau perjanjian yang sebelumnya sudah disepakati oleh kedua belah pihak serta ditandatangani sehingga dari kontrak ini bisa berfungsi sebagai bukti hukum. Kesepakatan kedua belah pihak dalam perjanjian itu yang lazim disebut kesepakatan, bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan.[9]

Pada dasarnya bagi masyarakat awam, perjanjian atau kontrak merupakan “pekerjaan tambahan” yang kadangkala dapat menjebak mereka pada tuntutan hukum. Hal ini dapat dipahami, karena umumnya masyarakat Klampis belum banyak yang memiliki pengetahuan ilmu hukum yang cukup. Namun, jika keadaan memaksa masyarakat untuk berhubungan dengan lembaga keungan baik mikro ataupun makro maka mau tidak mau menuntut masyarakat untuk mengetahui seluk-beluk mengenai persoalaan kontrak agar terhindar dari persoalan hukum yang tidak diinginkan.

Seperti yang disampaikan oleh salah satu nasabah bahwa perjanjian hanya dipahami secara bahasa yaitu janji yang harus ditepati. Janji bagi masyarakat awam mempunyai kekuatan melebihi kekuatan perjanjian yang dibuat secara tertulis. Sebab itulah, asas kebebasan berkontak tidak dipahami secara mendalam oleh nasabah.[10]

Dengan adanya informasi tersebut di atas, sudah seharusnya pihak BMT memberikan penjelasan mengenai seluk-beluk mengenai perjanjian. Hal ini seiring dengan keberadaan BMT yang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas usaha mikro, kecil menengah. BMT sebagai lembaga keuangan yang lahir dari sistem ekonomi harus berdasarkan pada tiga prinsip fundamental ajaran Islam, yaitu pertama, tauhid (keesaan Tuhan), prinsip ini sangat esensial karena dalam prinsip ini mengajarkan kepada manusia agar dalam hubungan kemanusiaanya (horizontal) sama pentingnya seperti hubungannya dengan Allah (vertikal). Artinya melakukan aktivitas ekonominya didasarkan pada keadilan sosial yang bersumber pada Al-Qur’an. Kedua khilafah (perwakilan), Untuk mendukung tugas kekhalifahan tersebut manusia dibekali dengan berbagai kemampuan dan potensi spirituak disamping disediakan sumber material yang memungkinkan pelaksanaan misi itu dapat tercapai secara efektif. Ketiga ‘adalah (keadilan), prinsip ini merupakan salah satu prinsip yang penting dalam mekanisme perekonomian Islam. Bersikap adil dalam ekonomi tidak hanya didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasul tetapi juga didasarkan pada pertimbangan hukum alam. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt surah Al-Maa’idah (5) ayat 8.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

 Berbicara tentang penjelasan dan pengarahan yang diberikan oleh pihak BMT UGT Sidogiri kepada nasabah dalam melakukan perjanjian atau pembiayaan Mudharabah, hanyalah gambaran umum. Dengan kata lain, pihak BMT tidak memberikan pehaman yang detail atau terperinci mengenai seluk-beluk perjanjian dengan alasan efisiensi dan efektifitas waktu yang diberikan terhadap nasabah. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Manager BMT UGT Sidogiri mengenai pembuatan penjelasan perjanjian kepada nasabah.

Dari jawaban yang diberikan oleh pihak BMT UGT Sidogiri mengindikasikan kelemahan atas syarat sahnya perjanjian yang ada dalam pasal 1320 KUH Perdata. Sehingga dari pasal tersebut dikhawatirkan ada unsur eksploitasi kepentingan pihak BMT pada nasabahnya.

Kendati demikian Pihak BMT sudah memberikan penjelasan secara umum mengenai perjanjian pada pihak nasabah. Namun nasabah hanya menganggap hal demikian hanya formalitas yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pembiayaan dari BMT.

Pembuatan perjanjian yang seringkali dipakai oleh lembaga keungan syari’ah dewasa ini, termasuk juga BMT UGT Sidogiri adalah dengan cara penerbitan standar kontrak. Hal ini dilakukan dalam upaya pelayanan praktis, cepat, efisien dan efektif. Disisi lain, masyarakat atau nasabah BMT yang ingin melakukan pembiayaan mudharabah tidak bisa berbuat lain kecuali menerima model kontrak standar tersebut, karena memang pada dasarnya nasabah BMT UGT Sidogiri Klampis tidak memiliki pengetahuan ilmu hukum selain masalah-masalah kepraktisan di atas, sebagaimana perjanjian dalam bentuk perjanjian baku atau standar kontrak.[11]

Kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku ini dilatar belakangi oleh keadaan, tuntutan serta perkembangan dewasa ini, terlebih dalam dunia bisnis yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek transaksi ataupun  perjanjian. Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan yang sekaligus menjadi permasalahan dalam pembahasan ini apakah perjanjian baku tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian khusus kaitannya serta hubungan dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, atau dengan kata lain apakah perjanjian baku (standard contract) bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.

Menurut nasabah, wasiah, ketika melakukan pembiayaan Mudharabah di BMT UGT Sidogiri, mereka sudah disodorkan dengan kontrak yang telah dibuat oleh pihak BMT. Bagi nasabah hal demikian tidak lagi persoalkan karena pada umumnya kemampuan meraka dalam memahami bentuk dan asas dari sebuah perjanjian tidak konprehensip. Hal ini dijelaskan oleh salah satu nasabah BMT UGT Sidogiri berkaitan dengan kontrak sudah ditentukan terlebih dahulu (kontrak baku).[12]

Dari informasi di atas dapat diketahui bahwa secara umum pandangan pihak BMT dan nasabah terhadap penerapan kebebasan berkontrak terdapat beberapa perbedaan dalam memahami asas kebebasan berkontrak. Pertama pihak BMT selaku lembaga keuangan syariah (LKS) non-bank menganggap bahwa perjanjian itu sangat penting untuk mengikat nasabah dan serta sebagai pedoman kerjasama nasabah dalam melakukan pembiayaan mudharabah. Sedangkan asas kebebasan berkontrak dipahami sebagai bentuk atau asas dari perjanjian dalam memberikan kebebasan pada nasabah atas opsi yang ditawarkan oleh pihak BMT, walaupun kontrak yang dilakukan oleh pihak BMT UGT Sidogiri dengan nasabahnya sudah terlebih dahulu dibuat secara sepihak oleh pihak BMT. Kendati demikian, jika pihak nasabah tidak sepakat dengan opsi yang ditawarkan BMT, nasabah boleh tidak melakukan pembiayaan mudharabah di BMT UGT Sidogiri Klampis.

Mudharabah sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi yang mempertemukan antara kedua pihak yang berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Sehingga dalam aplikasinya pembiayaan Mudharabah mempunyai beberapa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum untuk berjalannya kegiatan Mudharabah serta dalam rangka mengikat jalinan kerjasama tersebut dalam kerangka hukum.

Hal tersebut berarti bahwa untuk mengikat jalinan kerjasama antar satu dengan yang lain kontrak atau perjanjian merupakan unsur paling mendasar dalam melakukan pembiayaan Mudharabah di BMT UGT Sidogiri Klampis. Sebagaimana firman Allah SWT, dalam surat Al-Baqarah ayat 282 bahwa:


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[13]tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar….”. (Q.S Al-Baqarah (2) ayat 282).

 Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa dalam bermua’malah sangat diperlukan bukti-bukti tertulis agar meminimalisasi terhadap permasalahan yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak baik dari pihak BMT UGT Sidogiri Klampis dan Nasabahnya.

Berbicara asas kebebasan berkontrak tidak dapat dilepaskan dengan subtansi “sepakat” para pihak yang membuat perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3) suatu hal tertentu, 4) suatu sebab yang halal. Dari kemapat syarat tersebut syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif. Sedangkan syarat ketiga dan keempat syarat objektif, karena mengenai objek dari perjanjian.

 Kata sepakat mengadakan perjanjian yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak tersebut sah secara hukum maka harus memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam pasal 1321 sampai dengan pasal 1328 KUHPerdata.

Kata “ sepakat” dikatakan sah dimata hukum apabila tidak ada unsur kekhilafan, paksaaan dan penipuan. Yang dimaksud dengan kekhilafan adalah kondisi yang terjadi tanpa adanya salah satu atau masing-masing pihak untuk membuat lawan berjanji menerima atau menyepakati klausula-klausula yang ditawarkan. Artinya, kekhilafan ini murni didasarkan pada adanya ketidaktahuan akan cacat tersebut.

Paksaan dalam pasal 1324 adalah suatu perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapaat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya rencana dengan suatu kegiatan yang terang dan nyata. Sedangkan penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak melakukan tipu-musliahat. Dengan demikian, dalam penipuan ada sutu usaha tertentu yang dilakukan sehingga menimbulkan suatu kondisi pihak lawan mau menyepakati apa yang ditawarkan.

Terpenuhinya syarat perjanjian mengakibatkan bagi para pihak untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Di mana Prestasi itu meliputi perbuatan-perbuatan: Menyerahkan sesuatu, misalnya membagi hasil keuntungan pengelolaan usaha dari pembiayaan Mudharabah. Melakukan sesuatu, misalnya menjalankan dan mengelola usaha Mudharabah dengan baik. Tidak melakukan sesuatu, misalnya mengakhiri dan memutuskan kontrak tanpa ada kesepakatan dari kedua belah pihak.

Pada hakikatnya syarat sah perjanjian ini, berhubungan dengan subtansi akad atau perjanjian karena subtansi akad atau perjanjian merupakan pilar terbangunnya sebuah akad yang tujuan pokok yang ingi dicapai dengan adanya akad yang dilakukan dan berpengaruh terhadap implikasi tertentu. Subtansi akad akan berbeda untuk masing-masing akad yang berbeda.[14] Misalnya untuk jual beli, subtansi akadnya adalah pindahnya kepemilikan barang kepada pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. Begitu juga dengan pembiayaan Mudharabah, dimana pihak pertama menyerahkan modalnya kepada yang lain untuk pengelolaan usaha dengan pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.

Kata kontrak atau perjanjian di masyarakat pedesaan khususnya daerah Klampis tidak begitu dikenal, kalau perjanjian atau janji mungkin, sebab perjanjian sering dilakukan dengan tidak tertulis atau lisan. Bukti konkritnya, ketika mereka melakukan perbuatan hukum, misalnya jual beli tanah, gadai tanah, sewa rumah, dan sebagainya tidak membutuhkan kontrak. Cukup dengan lisan, maka perikatan lahir di antara mereka. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki rasa saling percaya yang sangat kuat.

Berbeda halnya dengan kondisi dewasa ini, khususnya di perkotaan yang kegiatan manusia semakin kompleks, di mana setiap tindakan didahului dengan kontrak. Tuntutan kehidupan yang memaksa manusia agar dapat bertahan hidup dengan melakukan segala cara, meskipun dengan cara menipu. Kondisi ini kemudian memunculkan asumsi dan anggapan yang universal bahwa manusia sekarang banyak yang tidak amanah, sehingga nilai kepercayaan kini telah sirna.

Sementara itu ketidakpahaman nasabah BMT UGT Sidogiri Klampis dalam memahami seluk-beluk perjanjian pembiayaan Mudharabah tidak menghalangi syarat sahnya perjanjian. Akibatnya perjanjian itu tetap sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Hal itu disebabkan KUHPerdata hanya mengkatagorikan nasabah yang paham mengenai seluk-beluk perjanjian pada seseorang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 1) orang-orang yang belum dewasa, 2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, 3) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu (pasal 1330 KUHPerdata). Dari keterangan seolah-olah terjadi ketidak seimbangan antara pihak yang sudah berpengalaman dalam urusan kontrak (pihak BMT) dengan pihak yang sama sekali tidak mengerti dalam urusan kontrak (nasabah). Sehingga tidak heran jika terjadi perselisihan yang kadangkala berujung pada proses pengadilan.

Kejujuran dan kebenaran adalah satu nilai etika yang mendasar dalam Islam. Allah Swt, berbicara benar dan memerintahkan semua muslim untuk jujur dalam segala urusan dan perkataan. Seperti firman Allah Swt, dalam surah Al-Ahzab (33) ayat 70.

 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar”.

 

Nilai kebenaran ini memberikan pengaruh pada pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melalukan pemalsuan. Oleh karena itu, pada saat pihak lemabaga keuangan syari’ah secara umum dan khususnya BMT UGT Sidogiri Klampis dalam menghadapi nasabah yang tidak mengerti tentang perjanjian harus diberikan pemahaman yang jelas agar tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman atau terjadi multi tafsir di antara para pihak tentang apa yang telah mereka sepakati di kemudian hari.

Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam malakukan Perjanjian Pembiayaan Mudharabah di BMT UGT Sidogiri  Kec Klampis.  

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan suatu pemahaman bahwa setiap orang dapat melakukan suatu kontrak dengan siapapun dan untuk hal apapun. Namun, dalam prakteknya pembuatan perjanjian sudah disediakan terlebih dahulu dalam bentuk draf (kontrak standar) oleh pihak BMT atau lembaga keuangan syari’ah lainnya. Implementasi kontrak standar biasa digunakan dimana banyak diterapkan dalam dunia bisnis (BMT) dan perdagangan dimaksudkan untuk mempermudah operasi bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos bisnis.

Di BMT UGT Sidogiri Klampis sendiri tidak ada pedoman atau aturan secara khusus dalam pembuatan kontrak pembiayaan Mudharabah. Kontrak hanya dibuat berdasarkan ketentuan prinsip-prinsip umum perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Adapun isi atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian disesuaikan dengan kepentingan para pihak asalkan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada. Hal ini dilakukan untuk mempermudah nasabah yang tidak mengerti tentang perjanjian dan atau yang terpenting ada tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan perjanjian tersebut.[15]

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan adaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselihan. Memang, untuk beberapa tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidak hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan sayat untuk adanya perjanjian itu (pasal 38 KUHD).

Dengan demikian, mencermati dari beberapa informasi di atas bahwa pembuatan kontrak pembiayaan Mudharabah dilakukan dengan cara yang sederhana. Hal tersebut dilakukan karena tidak ada pedoman secara khusus dalam pembuatan kontrak pembiayaan Mudharabah asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Selain juga dalam pembuatan kontrak pembiayaan Mudharabah lebih efisien dan efektif serta demi tercapainya kemaslahatan bersama dalam membangun sebuah kemitraan antara BMT UGT Sidogiri Klampis dengan nasabahnya.

Keberadaan kontrak dalam kehidupan manusia sangatlah penting, karena dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan manusia yang tidak mampu dipenuhi sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam pemenuhan kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial yang melibatkan orang lain dalam segala kebutuhannya khususnya dalam urusan bisnis diperlukan suatu aturan hukum yang jelas dan konkrit yaitu kontrak. Hal itu dilakukan untuk menghindari itu semua, maka kontrak memiliki peran yang urgen  dan sentral untuk mengawal segala kegiatan manusia. Dengan adanya kontrak, maka akan memberikan jaminan antara para pihak sebab setiap klausula kontrak dilindungi oleh hukum.

Seiring dengan perkembangan dunia bisnis yang semakin meningkat ternyata juga diikuti dengan tuntutan penggunaan model kontrak yang simple, efisien, dan mampu menampung kepentingan para pelaku bisnis melalui kontrak baku (standard contract). Dengan kontrak baku ini, pelaku bisnis terutama produsen dan kreditur telah menyiapkan klausula-klausula baku yang dituangkan dalam suatu kontrak tertentu. Pihak konsumen atau debitur tinggal membaca isi kontrak baku tersebut dengan pilihan take it or leave it sehingga kesempatan untuk bernegosiasi sebagai proses awal memperoleh kata sepakat sangat kecil bahkan terabaikan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian.

Menurut Mariam Darus Badruzaman, istilah standard contrac sama halnya perjanjian baku yang berarti sebagai patokan, ukuran dan acuan. Oleh karenanya jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.[16]

Melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk mengadakan “real bargaining” dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian baku ini, sehingga tidak memenuhi elemen- elemen yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata.

Untuk menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak, maka sebelum perjanjian dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak. Dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditentukan azas umum, yang merupakan pedoman, serta batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat dan pada akhirnya menjadi mengikat dan berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya.

Dalam melihat relevansi antara asas kebebasan berkontrak dengan kontrak baku, maka terdapat dua paham bahwa apakah perjanjian baku tersbut melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak. Paham pertama, walaupun secara teoritis juridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak. Disampin itu perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-undang swasta. Paham kedua, bahwa menurut pendapat Sluijter perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (jictie van wi! en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut. Dilain pihak Asser Rutten mengatakan bahwa “Setiap orang  menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditanda tanganinya”. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya”.

Maksud dari pernyataan di atas bahwa “dimana seseorang telah menandatangani perjanjian, maka pengadilan wajib untuk melaksanakan ketentuan yang disepakati para pihak dan bersifat mengikat secara mutlak”. apapun yang dikemukakan Stein, Asser sebagai alasan untuk menerima perjanjian baku, motivasinya tidak lain dari menunjukkan bahwa hukum berfungsi untuk melayani kebutuhan masyarakat dan bukan sebaliknya..[17]

Berkaitan dengan hal ini, dimana dalam proses pembuatan perjanjian pembiayan Mudharabah di BMT UGT Sidogiri Klampis sudah terlebih dahulu ditetapkan oleh pihak BMT dengan alasan efisiensi dan efektitas waktu pelayan terhadap nasabah. Namun, jika dicermati lebih mendalam atas proses yang terjadi sebelum penandatanganan akad pembiayaan Mudharabah antara pihak BMT dan nasabahnya, pihak BMT masih memberikan kebebasan kepada nasabahnya untuk melakukan negosisiasi atau tawar menawar mengenai opsi yang ditawarkan dalam kontrak. Artinya jika pihak BMT ataupun pihak nasabah tidak setuju terhadap opsi tersebut, maka tidak akan terjadi penandatangan akad pembiayaan Mudharabah.

Islam mengkategorisasikan transaksi antara transaksi yang diperbolehkan dan legal (hallal), dan transaksi yang dilarang dan illegal (haram). Kekhawatiran terhadap riba dan uncertainty (gharar), dapat dikategorikan sebagai transaksi yang harus dibatalkan.[18] Oleh karena itu, kebebasan berkontrak dalam sistem hukum Islam dilaksanakan antara dua jalur. Pertama, perbuatan kontrak sebagaimana difirmankan Allah melalui kebiasaan Nabi Muhammad. Kedua, prinsip larangan terhadap riba dan uncertainty.

 

Kesimpulan

Dari paparan yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya bahwa penelitian yang dilakukan di BMT UGT Sidogiri Klampis tentang Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Pembiayaan Mudharabah di BMT UGT Sidogiri Klampis, maka peneliti menyimpulkan, sebagaimana berikut:

1.      Pada khususnya masyarakat Klampis tidak begitu paham mengenai seluk-beluk perjanjian, sebab perjanjian sering dilakukan dengan tidak tertulis atau lisan. Berbeda halnya dengan pihak BMT sendiri, pejanjian merupakan suatu elemen penting ketika nasabah ingin melakukan pembiayaan mudharah. Artinya, dari segi pengetahuan dalam memahami seluk-beluk perjanjian antara nasabah dengan pihak BMT terdapat perbedaan yang signifikan. Kendati demikian, pihak BMT UGT Sidogiri Klampis telah memberikan penjelasan pada nasabah mengenai kontrak atau perjanjian pembiayaan mudharabah. Walaupun, pada kenyataannya pengetahuan tentang perjanjian atau kontrak antara kedua pihak berbeda, pihak nasabah mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap BMT Sidogiri Klampis karena lembaga tersebut berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan pihak BMT sendiri selalu memberikan pelayanan yang terbaik pada nasabah dengan tanpa mengabaikan peraturan yang ada.

2.      Kontrak atau perjanjian pembiayaan mudharabah yang sudah ditentukan secara sepihak oleh pihak BMT UGT Sidogiri Klampis tidak bisa dikatagorikan sebagai kontrak baku melainkan dinamakan kontrak komersial. Hal tersebut dikarenakan pihak BMT masih memberikan kebebasan pada nasabah untuk negosiasi terhadap opsi yang ditawarkan. Sehingga perjanjian terjanjian tersebut tetap mengadung asas kebebasan berkontrak yang sama-sama mencapai kesepakatan selah melakukan tawar-menawar atau negosiasi.

Saran

Alangkah lebih baiknya, pihak BMT-UGT Sidogiri Klampis tidak hanya mensosialisasikan berkaitan dengan produk layanan yang ada di BMT. Tetapi, pihak BMT juga memberikan pelatihan terhadap nasabah dalam memahami seluk-beluk perjanjian demi tercapai suatu kemaslahatan bersama. Pihak BMT UGT Sidogiri Klampis harus meningkatkan pelayanan pembiayaan mudharabah dan tetap mengimplentasikan prinsip-prinsip syariah terhadap segala bentuk transaksinya.

 

Daftar Pustaka

Burton Simatupang, Richard, 2003, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cet II; Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Alamsyah, Klausula Eksemsi Dalam Kontrak Baku Syariah.

Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum:Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty.

Soimin, Soedharyo, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. VII; Jakarta, Sinar Grafika.

Darus Badrulzaman, Mariam, 2005,  Aneka Hukum Bisnis, Cet. II; Bandung, PT Alumni, 2005.

Remy Sjahdeini, Sutan, 2009,  Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Cet. I; Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Khairandy, Ridwan, 2004, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Cet. II; Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

kadir Muhammad, Abdul, 1982, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni.

Sudarsono, Heri, 2008,  Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Cet. I, Ed. 4; Yogyakarta: Ekonisia.

Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cet. I; Bandung: Tim Alumni.

Arikunto, Suharsimi , 1998,  Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.

Bugin, Burhan, 2001,  Metodelogi Penelitian: Format-Format Kuantitatif Dan kualitatif, cet. ke-1 Surabaya: Airlangga University Press.

Hamidi, 2005, Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian, cet. ke-3, Malang: UMM Press.

J. Meleong,  Lexy, 2006, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sudjana,  Nana dan Kusuma,  Ahwal,  2000, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi, Bandung: Sinar Baru Algasindo.

Kamil, H. Ahmad, 2012, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana.

Khairandy,  Ridwan , 2011, Jurnal Hukum, Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak.

Djuwaini, Dimayauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Quthb, Sayyid, 2002, Tafsir Al-Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an Jili 3, pej: As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press.

Suryana, Made, dkk, 2009, Jurnal, Perlindungan Konsumen Ditinjau Dari Perjanjian Baku.

Soenandar, Teryana, 2001, Tinjuan atas Beberapa Aspek Hukum Dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan CISG, dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001.



[1] Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Cet II; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), 27.

[2] Alamsyah, Klausula Eksemsi Dalam Kontrak Baku Syariah, hal 1

[3] Sudikno Mertokusumo,  Mengenal Hukum:Suatu Pengantar, (Yogyakarta Liberty, 2003), 7.

[4] Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Cet. VII; Jakarta, Sinar Grafika, 2007), 328.

[5] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Cet. II; Bandung, PT Alumni, 2005), 18.

[6] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), 55.

[7] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Cet. I, Ed. 4; Yogyakarta: Ekonisia, 2008), 103.

[8] Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000), 89.

[9] Wahid ruslan, wawancara (Klampis, 8 Agustus 2012)

[10] yudhi, Wawancara, (Klampis, 13 Agustus 2012)

[11] Ra wahid, wawancara, (Klampis 8 Agustus 2012)

[12] Wasiah, Wawancara, (Klampis, 23 Agustus 2012)

[13] Bermuamalah ialah seperti berjual-beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

[14] Dimayauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 58.

[15] Ra wahid, wawancara, (Klampis 8 Agustus 2012)

[16] Mariam Darus Badrlzaman, 46.

[17] Made Suryana, Hj. Rina Suwasti, GaneÇ Swara ,Perlindungan Konsumen Ditinjau Dari Perjanjian Baku, Vol. 3 No.2 September 2009, 23.

[18] Ridwan Khairandy, Op. Cit, 47.

 

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI BAITUL MAL WAT TAMWIL (BMT) USAHA GABUNGAN TERPADU (UGT) SIDOGIRI KEC. KLAMPIS BANGKALAN

 

Irwanto

 

Fakultas Syariah

UIN Malang Malik Ibrahin Malang

Email: irwan_radiq@yahoo.com

 

Asbtrak

Kontrak atau perjanjian merupakan intrumen penting dalam kehidupan manusia untuk mengawal segala kegiatan bisnisnya tak terkecuali dalam pembiayaan mudharabah. Seiring dengan perkembangan bisnis semakin meningkat sehingga menuntut pihak lembaga keuangan syariah (BMT UGT Sidogiri Klampis) menggunaan model kontrak yang simple, efisien, dan mampu menampung kepentingan para pelaku bisnis melalui kontrak baku (standard contract). Adanya kontrak baku ini seolah-olah bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena dalam kontrak baku ini dibuat secara sepihak.

Penelitian ini bertujuan untuk  mengetahui tentang pandangan pihak BMT UGT Sidogiri Kec. Klampis Bangkalan dan nasabahnya tentang asas kebebasan berkontrak dalam melakukan perjanjian pembiayaan mudharabah dan untuk mengetahui tentang penerapan asas kebebasan berkontrak dalam melakukan perjanjian pembiayaan mudharabah di BMT  UGT Sidogiri Kec. Klampis Bangkalan. Dengan harapan dari penelitian ini dapat memperluas khasanah keilmuan dan dapat menjadi bahan atau refrensi dalam menyikapi permasalahan penerapan asas kebebasan berkontrak

Penelitian ini, menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang dapat diklasifikasikan pada jenis penelitian field reseach (penelitian lapangan). Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan observasi, dokumentasi dan wawancara bebas terpimpin. Dimana lokasi penelitian dilakukan di BMT UGT Sidogiri Klampis Kab. Bangkalan. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder serta data tersier. Kemudian untuk mengetahui tafsiran dari data yang diperoleh dengan menggunakan tehnik pengolahan Editing, Classifaying, Analisis Data dan Concluding (kesimpulan).

Hasil penelitian ini adalah, pertama dari segi pengetahuan dalam memahami seluk-beluk perjanjian antara nasabah dengan pihak BMT terdapat perbedaan yang signifikan. Kendati demikian, pihak BMT UGT Sidogiri Klampis telah memberikan penjelasan pada nasabah mengenai kontrak atau perjanjian pembiayaan mudharabah. Kedua kontrak atau perjanjian pembiayaan mudharabah yang sudah ditentukan secara sepihak oleh pihak BMT UGT Sidogiri Klampis tidak bisa dikatagorikan sebagai kontrak baku. Hal tersebut dikarenakan pihak BMT masih memberikan kebebasan pada nasabah untuk negosiasi terhadap opsi yang ditawarkan. Sehingga perjanjian terjanjian tersebut tetap mengadung asas kebebasan berkontrak yang sama-sama mencapai kesepakatan selah melakukan tawar-menawar atau negosiasi.

A.    Latar Belakang Masalah

Salah satu kegiatan penting yang senantiasa dilakukan dalam dunia bisnis (usaha) adalah membuat beraneka ragam perjanjian (kontrak). Untuk itulah, di dalam menjalankan bisnis betapa pentingnya kontrak yang harus dibuat sebelum bisnis itu sendiri berjalan dikemudian hari.[1] Eksistensi perjanjian atau kontrak bernilai urgen bagi kehidupan manusia karena dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan manusia yang tidak mampu dipenuhi sendiri tanpa bantuan orang lain. Aturan main dalam pemenuhan kebutuhan dengan melibatkan orang lain haruslah jelas dan dewasa ini perlu dituangkan dalam suatu kontrak yang dapat melindungi kepentingan masing-masing pihak. Sehingga dapatlah dipahami apabila kontrak dikatakan sebagai sarana sosial dalam peradaban manusia untuk mendukung kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.[2] Hal itu sesuai dengan pendapat Apeldoorn yang menyatakan bahwa perjanjian adalah salah satu faktor yang membantu pembentukan hukum.[3]

 Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian atau persetujuan diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.[4] Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa perjanjian yang terdapat dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata tidak lengkap, dan terlalu luas. Hal itu disebabkan karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.[5] Padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.

 Adanya asas kebebasan berkontrak yang memperbolehkan  kedua pihak bebas menentukan apa yang boleh dan tidak boleh di dalam menentukan isi perjanjian asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Artinya kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Ada sejumlah pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUHPerdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUHPerdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar sehingga menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat perjanjian tidak sama kuat kedudukannya atau tidak mempunyai barganing position yang sama.[6]

Melihat kian luas dan beragamnya pola bisnis berbasis perekonomian syariah, maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam akad atau kontrak di Lembaga Keuangan Syari’ah khususnya Baitul Maal Wat Tanwil (BMT) menjadi penting diupayakan implementasinya. Dalam penerapan pola hubungan akad inilah sudah seharusnya tidak terdapat penyimpangan-penyimpangan dari kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak karena masing-masing menyadari akan pertanggungjawaban dari akad tersebut. Tetapi dalam koridor masyarakat yang kurang sadar hukum, tidak dapat dihindari munculnya perilaku saling mengeksploitasi satu sama lain. Sehingga kuantitas dan kompleksitas perkara terutama perkara-perkara bisnis akan sangat tinggi dan beragam.

Secara definitif Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah yaitu, baitul maal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non-profit, seperti, zakat, infaq, dan shadaqah. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dana dan penyaluran dana komersial. Usaha-usaha tersebut tidak bisa dipisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syari’ah. sehingga, keberadaan BMT diharapkan mampu mengatasi masalah ini lewat kebutuhan-kebutuhan masyarakat.[7]

BMT sebagai salah satu lembaga keuangan syari’ah non bank yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan produktifitas masyarakat dengan menawarkan berbagai macam produk pembiayaan dengan prinsip bagi hasil baik secara mudharabah maupun musyarakah kepada masyarakat. Namun dalam penelitian  ini, peniliti hanya memfokuskan pada pembiayaan mudharabah sebagai bentuk perjanjian kerjasama Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) UGT Sidogiri Kec Klampis Bangkalan dengan Nasabahnya.

Umumnya model perjanjian pembiayaan yang dipakai oleh pihak Baitul Maal Wa Tanwil (BMT) dewasa ini adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya. Artinya, perjanjian di dalam transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainya untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainya untuk melakukan negosiasi syarat-syarat yang disodorkan.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dan Penelitian ini juga menggunakan liberary research (literatur), yang diorientasikan untuk mengungkap dan mendiskripsi kanpenerapan Asas-Asas Kebebasan Berkontrakdalam Perjanjian Pembiayaan mudharabah  di Baitul Mal WatTmwil (BMT) Usaha Gabungan Terpadu (UGT) Sidogiri Kec. Klampis Kabupaten Bangkalan.

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan kualitatif mengantarkan peneliti mendapatkan data yang akurat dan otentik dengan cara peneliti bertemu dan berhadapan langsung dengan subjek penelitian/informan untuk wawancara dan berdialog dengan subjek penelitian. Sedangkan sumber Data penelitian ini dikatagorikan menjadi tiga bagian, diantaranya; Data primer, data sekunder dan data tersier. Adapun beberapa instrument yang digunakan sebagai perangkat dalam pengumpulan data, diantaranya: Observasi, dokumentasi dan wawancara.

 

Tehnik Pengolahan Data

Pengolahan data adalah tahapan-tahapan peneliti mengolah dan mendiskripsikan dengan tujuan memudahkan dalam memahami pokok masalah yang diteliti. Adapun langkah-langkah tersebut diantaranya dengan cara Editing, classifaying (pengelompokan) dan langkah terakhir adalah concluding yaitu pengambilan kesimpulan dari data-data yang telahdi olah untuk mendapatkan suatu jawaban.[8] Pada tahap ini membuat kesimpulan-kesimpulan/menarik poin-poin penting yang kemudian menghasilkan gambaran secararingkas, jelas dan mudah dipahami tentang pandangan pihak BMT dan Nasabah BMT UGT Sidogiri Kec. Kelampis di Bangkalan.

 

Hasil dan Pembahasan

 

Pandangan pihak BMT UGT Sidogiri Kec Klampis dan nasabahnya tentang Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Melakukan Perjanjian Pembiayaan Mudharabah.

 

Melihat kian luas dan beragamnya pola bisnis berbasis perekonomian syariah, maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam akad atau kontrak di Lembaga Keuangan Syari’ah khususnya BMT menjadi penting untuk diimplementasikan. Dalam hal implementasi, para pelaku dan pengguna ekonomi syariah harus menjalankan kegiatannya berdasarkan syariah. Pola hubungan yang didasarkan pada keinginan untuk menegakkan sistem syariah diyakini sebagai pola hubungan yang kokoh antara BMT dan nasabah. Pola hubungan antara pihak yang terlibat dalam Lembaga Keuangan Syariah tersebut ditentukan dengan hubungan akad.

Menurut pihak BMT bahwa dalam melaksanakan pembiayaan mudharabah para pihak diikat dalam suatu kontrak atau perjanjian yang sebelumnya sudah disepakati oleh kedua belah pihak serta ditandatangani sehingga dari kontrak ini bisa berfungsi sebagai bukti hukum. Kesepakatan kedua belah pihak dalam perjanjian itu yang lazim disebut kesepakatan, bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan.[9]

Pada dasarnya bagi masyarakat awam, perjanjian atau kontrak merupakan “pekerjaan tambahan” yang kadangkala dapat menjebak mereka pada tuntutan hukum. Hal ini dapat dipahami, karena umumnya masyarakat Klampis belum banyak yang memiliki pengetahuan ilmu hukum yang cukup. Namun, jika keadaan memaksa masyarakat untuk berhubungan dengan lembaga keungan baik mikro ataupun makro maka mau tidak mau menuntut masyarakat untuk mengetahui seluk-beluk mengenai persoalaan kontrak agar terhindar dari persoalan hukum yang tidak diinginkan.

Seperti yang disampaikan oleh salah satu nasabah bahwa perjanjian hanya dipahami secara bahasa yaitu janji yang harus ditepati. Janji bagi masyarakat awam mempunyai kekuatan melebihi kekuatan perjanjian yang dibuat secara tertulis. Sebab itulah, asas kebebasan berkontak tidak dipahami secara mendalam oleh nasabah.[10]

Dengan adanya informasi tersebut di atas, sudah seharusnya pihak BMT memberikan penjelasan mengenai seluk-beluk mengenai perjanjian. Hal ini seiring dengan keberadaan BMT yang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas usaha mikro, kecil menengah. BMT sebagai lembaga keuangan yang lahir dari sistem ekonomi harus berdasarkan pada tiga prinsip fundamental ajaran Islam, yaitu pertama, tauhid (keesaan Tuhan), prinsip ini sangat esensial karena dalam prinsip ini mengajarkan kepada manusia agar dalam hubungan kemanusiaanya (horizontal) sama pentingnya seperti hubungannya dengan Allah (vertikal). Artinya melakukan aktivitas ekonominya didasarkan pada keadilan sosial yang bersumber pada Al-Qur’an. Kedua khilafah (perwakilan), Untuk mendukung tugas kekhalifahan tersebut manusia dibekali dengan berbagai kemampuan dan potensi spirituak disamping disediakan sumber material yang memungkinkan pelaksanaan misi itu dapat tercapai secara efektif. Ketiga ‘adalah (keadilan), prinsip ini merupakan salah satu prinsip yang penting dalam mekanisme perekonomian Islam. Bersikap adil dalam ekonomi tidak hanya didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasul tetapi juga didasarkan pada pertimbangan hukum alam. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt surah Al-Maa’idah (5) ayat 8.

$pkš‰r¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?t㠞wr& (#qä9ω÷ès? 4 (#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

 

Berbicara tentang penjelasan dan pengarahan yang diberikan oleh pihak BMT UGT Sidogiri kepada nasabah dalam melakukan perjanjian atau pembiayaan Mudharabah, hanyalah gambaran umum. Dengan kata lain, pihak BMT tidak memberikan pehaman yang detail atau terperinci mengenai seluk-beluk perjanjian dengan alasan efisiensi dan efektifitas waktu yang diberikan terhadap nasabah. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Manager BMT UGT Sidogiri mengenai pembuatan penjelasan perjanjian kepada nasabah.

Dari jawaban yang diberikan oleh pihak BMT UGT Sidogiri mengindikasikan kelemahan atas syarat sahnya perjanjian yang ada dalam pasal 1320 KUH Perdata. Sehingga dari pasal tersebut dikhawatirkan ada unsur eksploitasi kepentingan pihak BMT pada nasabahnya.

Kendati demikian Pihak BMT sudah memberikan penjelasan secara umum mengenai perjanjian pada pihak nasabah. Namun nasabah hanya menganggap hal demikian hanya formalitas yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pembiayaan dari BMT.

Pembuatan perjanjian yang seringkali dipakai oleh lembaga keungan syari’ah dewasa ini, termasuk juga BMT UGT Sidogiri adalah dengan cara penerbitan standar kontrak. Hal ini dilakukan dalam upaya pelayanan praktis, cepat, efisien dan efektif. Disisi lain, masyarakat atau nasabah BMT yang ingin melakukan pembiayaan mudharabah tidak bisa berbuat lain kecuali menerima model kontrak standar tersebut, karena memang pada dasarnya nasabah BMT UGT Sidogiri Klampis tidak memiliki pengetahuan ilmu hukum selain masalah-masalah kepraktisan di atas, sebagaimana perjanjian dalam bentuk perjanjian baku atau standar kontrak.[11]

Kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku ini dilatar belakangi oleh keadaan, tuntutan serta perkembangan dewasa ini, terlebih dalam dunia bisnis yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek transaksi ataupun  perjanjian. Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan yang sekaligus menjadi permasalahan dalam pembahasan ini apakah perjanjian baku tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian khusus kaitannya serta hubungan dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, atau dengan kata lain apakah perjanjian baku (standard contract) bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.

Menurut nasabah, wasiah, ketika melakukan pembiayaan Mudharabah di BMT UGT Sidogiri, mereka sudah disodorkan dengan kontrak yang telah dibuat oleh pihak BMT. Bagi nasabah hal demikian tidak lagi persoalkan karena pada umumnya kemampuan meraka dalam memahami bentuk dan asas dari sebuah perjanjian tidak konprehensip. Hal ini dijelaskan oleh salah satu nasabah BMT UGT Sidogiri berkaitan dengan kontrak sudah ditentukan terlebih dahulu (kontrak baku).[12]

Dari informasi di atas dapat diketahui bahwa secara umum pandangan pihak BMT dan nasabah terhadap penerapan kebebasan berkontrak terdapat beberapa perbedaan dalam memahami asas kebebasan berkontrak. Pertama pihak BMT selaku lembaga keuangan syariah (LKS) non-bank menganggap bahwa perjanjian itu sangat penting untuk mengikat nasabah dan serta sebagai pedoman kerjasama nasabah dalam melakukan pembiayaan mudharabah. Sedangkan asas kebebasan berkontrak dipahami sebagai bentuk atau asas dari perjanjian dalam memberikan kebebasan pada nasabah atas opsi yang ditawarkan oleh pihak BMT, walaupun kontrak yang dilakukan oleh pihak BMT UGT Sidogiri dengan nasabahnya sudah terlebih dahulu dibuat secara sepihak oleh pihak BMT. Kendati demikian, jika pihak nasabah tidak sepakat dengan opsi yang ditawarkan BMT, nasabah boleh tidak melakukan pembiayaan mudharabah di BMT UGT Sidogiri Klampis.

Mudharabah sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi yang mempertemukan antara kedua pihak yang berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Sehingga dalam aplikasinya pembiayaan Mudharabah mempunyai beberapa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum untuk berjalannya kegiatan Mudharabah serta dalam rangka mengikat jalinan kerjasama tersebut dalam kerangka hukum.

Hal tersebut berarti bahwa untuk mengikat jalinan kerjasama antar satu dengan yang lain kontrak atau perjanjian merupakan unsur paling mendasar dalam melakukan pembiayaan Mudharabah di BMT UGT Sidogiri Klampis. Sebagaimana firman Allah SWT, dalam surat Al-Baqarah ayat 282 bahwa:

 

$yg•ƒr¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3u‹ø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAô‰yèø9$$Î/ 4

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[13]tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar….”. (Q.S Al-Baqarah (2) ayat 282).

 

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa dalam bermua’malah sangat diperlukan bukti-bukti tertulis agar meminimalisasi terhadap permasalahan yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak baik dari pihak BMT UGT Sidogiri Klampis dan Nasabahnya.

Berbicara asas kebebasan berkontrak tidak dapat dilepaskan dengan subtansi “sepakat” para pihak yang membuat perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3) suatu hal tertentu, 4) suatu sebab yang halal. Dari kemapat syarat tersebut syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif. Sedangkan syarat ketiga dan keempat syarat objektif, karena mengenai objek dari perjanjian.

 Kata sepakat mengadakan perjanjian yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak tersebut sah secara hukum maka harus memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam pasal 1321 sampai dengan pasal 1328 KUHPerdata.

Kata “ sepakat” dikatakan sah dimata hukum apabila tidak ada unsur kekhilafan, paksaaan dan penipuan. Yang dimaksud dengan kekhilafan adalah kondisi yang terjadi tanpa adanya salah satu atau masing-masing pihak untuk membuat lawan berjanji menerima atau menyepakati klausula-klausula yang ditawarkan. Artinya, kekhilafan ini murni didasarkan pada adanya ketidaktahuan akan cacat tersebut.

Paksaan dalam pasal 1324 adalah suatu perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapaat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya rencana dengan suatu kegiatan yang terang dan nyata. Sedangkan penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak melakukan tipu-musliahat. Dengan demikian, dalam penipuan ada sutu usaha tertentu yang dilakukan sehingga menimbulkan suatu kondisi pihak lawan mau menyepakati apa yang ditawarkan.

Terpenuhinya syarat perjanjian mengakibatkan bagi para pihak untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Di mana Prestasi itu meliputi perbuatan-perbuatan: Menyerahkan sesuatu, misalnya membagi hasil keuntungan pengelolaan usaha dari pembiayaan Mudharabah. Melakukan sesuatu, misalnya menjalankan dan mengelola usaha Mudharabah dengan baik. Tidak melakukan sesuatu, misalnya mengakhiri dan memutuskan kontrak tanpa ada kesepakatan dari kedua belah pihak.

Pada hakikatnya syarat sah perjanjian ini, berhubungan dengan subtansi akad atau perjanjian karena subtansi akad atau perjanjian merupakan pilar terbangunnya sebuah akad yang tujuan pokok yang ingi dicapai dengan adanya akad yang dilakukan dan berpengaruh terhadap implikasi tertentu. Subtansi akad akan berbeda untuk masing-masing akad yang berbeda.[14] Misalnya untuk jual beli, subtansi akadnya adalah pindahnya kepemilikan barang kepada pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. Begitu juga dengan pembiayaan Mudharabah, dimana pihak pertama menyerahkan modalnya kepada yang lain untuk pengelolaan usaha dengan pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.

Kata kontrak atau perjanjian di masyarakat pedesaan khususnya daerah Klampis tidak begitu dikenal, kalau perjanjian atau janji mungkin, sebab perjanjian sering dilakukan dengan tidak tertulis atau lisan. Bukti konkritnya, ketika mereka melakukan perbuatan hukum, misalnya jual beli tanah, gadai tanah, sewa rumah, dan sebagainya tidak membutuhkan kontrak. Cukup dengan lisan, maka perikatan lahir di antara mereka. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki rasa saling percaya yang sangat kuat.

Berbeda halnya dengan kondisi dewasa ini, khususnya di perkotaan yang kegiatan manusia semakin kompleks, di mana setiap tindakan didahului dengan kontrak. Tuntutan kehidupan yang memaksa manusia agar dapat bertahan hidup dengan melakukan segala cara, meskipun dengan cara menipu. Kondisi ini kemudian memunculkan asumsi dan anggapan yang universal bahwa manusia sekarang banyak yang tidak amanah, sehingga nilai kepercayaan kini telah sirna.

Sementara itu ketidakpahaman nasabah BMT UGT Sidogiri Klampis dalam memahami seluk-beluk perjanjian pembiayaan Mudharabah tidak menghalangi syarat sahnya perjanjian. Akibatnya perjanjian itu tetap sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Hal itu disebabkan KUHPerdata hanya mengkatagorikan nasabah yang paham mengenai seluk-beluk perjanjian pada seseorang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 1) orang-orang yang belum dewasa, 2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, 3) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu (pasal 1330 KUHPerdata). Dari keterangan seolah-olah terjadi ketidak seimbangan antara pihak yang sudah berpengalaman dalam urusan kontrak (pihak BMT) dengan pihak yang sama sekali tidak mengerti dalam urusan kontrak (nasabah). Sehingga tidak heran jika terjadi perselisihan yang kadangkala berujung pada proses pengadilan.

Kejujuran dan kebenaran adalah satu nilai etika yang mendasar dalam Islam. Allah Swt, berbicara benar dan memerintahkan semua muslim untuk jujur dalam segala urusan dan perkataan. Seperti firman Allah Swt, dalam surah Al-Ahzab (33) ayat 70.

$pkš‰r¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qä9qè%ur Zwöqs% #Y‰ƒÏ‰y™ ÇÐÉÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar”.

 

Nilai kebenaran ini memberikan pengaruh pada pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melalukan pemalsuan. Oleh karena itu, pada saat pihak lemabaga keuangan syari’ah secara umum dan khususnya BMT UGT Sidogiri Klampis dalam menghadapi nasabah yang tidak mengerti tentang perjanjian harus diberikan pemahaman yang jelas agar tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman atau terjadi multi tafsir di antara para pihak tentang apa yang telah mereka sepakati di kemudian hari.

 

Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam malakukan Perjanjian Pembiayaan Mudharabah di BMT UGT Sidogiri  Kec Klampis.  

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan suatu pemahaman bahwa setiap orang dapat melakukan suatu kontrak dengan siapapun dan untuk hal apapun. Namun, dalam prakteknya pembuatan perjanjian sudah disediakan terlebih dahulu dalam bentuk draf (kontrak standar) oleh pihak BMT atau lembaga keuangan syari’ah lainnya. Implementasi kontrak standar biasa digunakan dimana banyak diterapkan dalam dunia bisnis (BMT) dan perdagangan dimaksudkan untuk mempermudah operasi bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos bisnis.

Di BMT UGT Sidogiri Klampis sendiri tidak ada pedoman atau aturan secara khusus dalam pembuatan kontrak pembiayaan Mudharabah. Kontrak hanya dibuat berdasarkan ketentuan prinsip-prinsip umum perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Adapun isi atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian disesuaikan dengan kepentingan para pihak asalkan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada. Hal ini dilakukan untuk mempermudah nasabah yang tidak mengerti tentang perjanjian dan atau yang terpenting ada tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan perjanjian tersebut.[15]

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan adaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselihan. Memang, untuk beberapa tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidak hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan sayat untuk adanya perjanjian itu (pasal 38 KUHD).

Dengan demikian, mencermati dari beberapa informasi di atas bahwa pembuatan kontrak pembiayaan Mudharabah dilakukan dengan cara yang sederhana. Hal tersebut dilakukan karena tidak ada pedoman secara khusus dalam pembuatan kontrak pembiayaan Mudharabah asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Selain juga dalam pembuatan kontrak pembiayaan Mudharabah lebih efisien dan efektif serta demi tercapainya kemaslahatan bersama dalam membangun sebuah kemitraan antara BMT UGT Sidogiri Klampis dengan nasabahnya.

Keberadaan kontrak dalam kehidupan manusia sangatlah penting, karena dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan manusia yang tidak mampu dipenuhi sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam pemenuhan kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial yang melibatkan orang lain dalam segala kebutuhannya khususnya dalam urusan bisnis diperlukan suatu aturan hukum yang jelas dan konkrit yaitu kontrak. Hal itu dilakukan untuk menghindari itu semua, maka kontrak memiliki peran yang urgen  dan sentral untuk mengawal segala kegiatan manusia. Dengan adanya kontrak, maka akan memberikan jaminan antara para pihak sebab setiap klausula kontrak dilindungi oleh hukum.

Seiring dengan perkembangan dunia bisnis yang semakin meningkat ternyata juga diikuti dengan tuntutan penggunaan model kontrak yang simple, efisien, dan mampu menampung kepentingan para pelaku bisnis melalui kontrak baku (standard contract). Dengan kontrak baku ini, pelaku bisnis terutama produsen dan kreditur telah menyiapkan klausula-klausula baku yang dituangkan dalam suatu kontrak tertentu. Pihak konsumen atau debitur tinggal membaca isi kontrak baku tersebut dengan pilihan take it or leave it sehingga kesempatan untuk bernegosiasi sebagai proses awal memperoleh kata sepakat sangat kecil bahkan terabaikan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian.

Menurut Mariam Darus Badruzaman, istilah standard contrac sama halnya perjanjian baku yang berarti sebagai patokan, ukuran dan acuan. Oleh karenanya jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.[16]

Melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk mengadakan “real bargaining” dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian baku ini, sehingga tidak memenuhi elemen- elemen yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata.

Untuk menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak, maka sebelum perjanjian dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak. Dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditentukan azas umum, yang merupakan pedoman, serta batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat dan pada akhirnya menjadi mengikat dan berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya.

Dalam melihat relevansi antara asas kebebasan berkontrak dengan kontrak baku, maka terdapat dua paham bahwa apakah perjanjian baku tersbut melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak. Paham pertama, walaupun secara teoritis juridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak. Disampin itu perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-undang swasta. Paham kedua, bahwa menurut pendapat Sluijter perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (jictie van wi! en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut. Dilain pihak Asser Rutten mengatakan bahwa “Setiap orang  menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditanda tanganinya”. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya”.

Maksud dari pernyataan di atas bahwa “dimana seseorang telah menandatangani perjanjian, maka pengadilan wajib untuk melaksanakan ketentuan yang disepakati para pihak dan bersifat mengikat secara mutlak”. apapun yang dikemukakan Stein, Asser sebagai alasan untuk menerima perjanjian baku, motivasinya tidak lain dari menunjukkan bahwa hukum berfungsi untuk melayani kebutuhan masyarakat dan bukan sebaliknya..[17]

Berkaitan dengan hal ini, dimana dalam proses pembuatan perjanjian pembiayan Mudharabah di BMT UGT Sidogiri Klampis sudah terlebih dahulu ditetapkan oleh pihak BMT dengan alasan efisiensi dan efektitas waktu pelayan terhadap nasabah. Namun, jika dicermati lebih mendalam atas proses yang terjadi sebelum penandatanganan akad pembiayaan Mudharabah antara pihak BMT dan nasabahnya, pihak BMT masih memberikan kebebasan kepada nasabahnya untuk melakukan negosisiasi atau tawar menawar mengenai opsi yang ditawarkan dalam kontrak. Artinya jika pihak BMT ataupun pihak nasabah tidak setuju terhadap opsi tersebut, maka tidak akan terjadi penandatangan akad pembiayaan Mudharabah.

Islam mengkategorisasikan transaksi antara transaksi yang diperbolehkan dan legal (hallal), dan transaksi yang dilarang dan illegal (haram). Kekhawatiran terhadap riba dan uncertainty (gharar), dapat dikategorikan sebagai transaksi yang harus dibatalkan.[18] Oleh karena itu, kebebasan berkontrak dalam sistem hukum Islam dilaksanakan antara dua jalur. Pertama, perbuatan kontrak sebagaimana difirmankan Allah melalui kebiasaan Nabi Muhammad. Kedua, prinsip larangan terhadap riba dan uncertainty.

 

 

 

 

 

 

Kesimpulan

Dari paparan yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya bahwa penelitian yang dilakukan di BMT UGT Sidogiri Klampis tentang Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Pembiayaan Mudharabah di BMT UGT Sidogiri Klampis, maka peneliti menyimpulkan, sebagaimana berikut:

1.      Pada khususnya masyarakat Klampis tidak begitu paham mengenai seluk-beluk perjanjian, sebab perjanjian sering dilakukan dengan tidak tertulis atau lisan. Berbeda halnya dengan pihak BMT sendiri, pejanjian merupakan suatu elemen penting ketika nasabah ingin melakukan pembiayaan mudharah. Artinya, dari segi pengetahuan dalam memahami seluk-beluk perjanjian antara nasabah dengan pihak BMT terdapat perbedaan yang signifikan. Kendati demikian, pihak BMT UGT Sidogiri Klampis telah memberikan penjelasan pada nasabah mengenai kontrak atau perjanjian pembiayaan mudharabah. Walaupun, pada kenyataannya pengetahuan tentang perjanjian atau kontrak antara kedua pihak berbeda, pihak nasabah mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap BMT Sidogiri Klampis karena lembaga tersebut berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan pihak BMT sendiri selalu memberikan pelayanan yang terbaik pada nasabah dengan tanpa mengabaikan peraturan yang ada.

2.      Kontrak atau perjanjian pembiayaan mudharabah yang sudah ditentukan secara sepihak oleh pihak BMT UGT Sidogiri Klampis tidak bisa dikatagorikan sebagai kontrak baku melainkan dinamakan kontrak komersial. Hal tersebut dikarenakan pihak BMT masih memberikan kebebasan pada nasabah untuk negosiasi terhadap opsi yang ditawarkan. Sehingga perjanjian terjanjian tersebut tetap mengadung asas kebebasan berkontrak yang sama-sama mencapai kesepakatan selah melakukan tawar-menawar atau negosiasi.

Saran

Alangkah lebih baiknya, pihak BMT-UGT Sidogiri Klampis tidak hanya mensosialisasikan berkaitan dengan produk layanan yang ada di BMT. Tetapi, pihak BMT juga memberikan pelatihan terhadap nasabah dalam memahami seluk-beluk perjanjian demi tercapai suatu kemaslahatan bersama. Pihak BMT UGT Sidogiri Klampis harus meningkatkan pelayanan pembiayaan mudharabah dan tetap mengimplentasikan prinsip-prinsip syariah terhadap segala bentuk transaksinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Burton Simatupang, Richard, 2003, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cet II; Jakarta: PT. Rineka Cipta.

 

Alamsyah, Klausula Eksemsi Dalam Kontrak Baku Syariah.

 

Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum:Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty.

 

Soimin, Soedharyo, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. VII; Jakarta, Sinar Grafika.

 

Darus Badrulzaman, Mariam, 2005,  Aneka Hukum Bisnis, Cet. II; Bandung, PT Alumni, 2005.

 

Remy Sjahdeini, Sutan, 2009,  Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Cet. I; Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

 

Khairandy, Ridwan, 2004, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Cet. II; Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

kadir Muhammad, Abdul, 1982, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni.

 

Sudarsono, Heri, 2008,  Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Cet. I, Ed. 4; Yogyakarta: Ekonisia.

 

Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cet. I; Bandung: Tim Alumni.

 

Arikunto, Suharsimi , 1998,  Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.

 

Bugin, Burhan, 2001,  Metodelogi Penelitian: Format-Format Kuantitatif Dan kualitatif, cet. ke-1 Surabaya: Airlangga University Press.

 

Hamidi, 2005, Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian, cet. ke-3, Malang: UMM Press.

 

J. Meleong,  Lexy, 2006, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

 

Sudjana,  Nana dan Kusuma,  Ahwal,  2000, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi, Bandung: Sinar Baru Algasindo.

 

Kamil, H. Ahmad, 2012, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana.

Khairandy,  Ridwan , 2011, Jurnal Hukum, Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak.

 

Djuwaini, Dimayauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Quthb, Sayyid, 2002, Tafsir Al-Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an Jili 3, pej: As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press.

 

Suryana, Made, dkk, 2009, Jurnal, Perlindungan Konsumen Ditinjau Dari Perjanjian Baku.

 

Soenandar, Teryana, 2001, Tinjuan atas Beberapa Aspek Hukum Dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan CISG, dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001.

 

 

 



[1] Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Cet II; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), 27.

[2] Alamsyah, Klausula Eksemsi Dalam Kontrak Baku Syariah, hal 1

[3] Sudikno Mertokusumo,  Mengenal Hukum:Suatu Pengantar, (Yogyakarta Liberty, 2003), 7.

[4] Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Cet. VII; Jakarta, Sinar Grafika, 2007), 328.

[5] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Cet. II; Bandung, PT Alumni, 2005), 18.

[6] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), 55.

[7] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Cet. I, Ed. 4; Yogyakarta: Ekonisia, 2008), 103.

[8] Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000), 89.

[9] Wahid ruslan, wawancara (Klampis, 8 Agustus 2012)

[10] yudhi, Wawancara, (Klampis, 13 Agustus 2012)

[11] Ra wahid, wawancara, (Klampis 8 Agustus 2012)

[12] Wasiah, Wawancara, (Klampis, 23 Agustus 2012)

[13] Bermuamalah ialah seperti berjual-beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

[14] Dimayauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 58.

[15] Ra wahid, wawancara, (Klampis 8 Agustus 2012)

[16] Mariam Darus Badrlzaman, 46.

[17] Made Suryana, Hj. Rina Suwasti, GaneÇ Swara ,Perlindungan Konsumen Ditinjau Dari Perjanjian Baku, Vol. 3 No.2 September 2009, 23.

[18] Ridwan Khairandy, Op. Cit, 47.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *