Agama dan Problem Kekerasan Terhadap Perempuan

Agama dan Problem Kekerasan Terhadap Perempuan[1]

Oleh: Umi Sumbulah[2]

Pengertian kekerasan terhadap perempuan

Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari fenomena ketidakadilan gender. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan, merupakan akibat dari steteotype, marjinalisasi dan subordinasi terhadapnya. Ketika terjadi kekerasan terhadap perempuan, orang dengan mudah mengatakan karena perempuan lemah, pantas menerimanya atau sebutan-sebutan lain yang justru tidak memberikan penguatan dan membuat hati dan psikis perempuan korban kekerasan merasa terlindungi.

Banyak sekali definisi tentang kekerasan terhadap perempuan, di antaranya adalah yang diberikan oleh Heise (1994), bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan kekerasan verbal atau fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang diarahkan kepada seorang perempuan, baik anak-anak atau telah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik, penghinaan dan perampasan kebebasan sehingga melanggengkan subordinasi perempuan”. Definisi ini belum menampilkan analisis gender. Kendati menyinggung perempuan sebagai korban kekerasan, tetapi definisi ini   lebih terfokus pada kekerasan fisik, sementara kekerasan psikis, ekonomi, seksual dan sebagainya yang justru banyak menimpa perempuan banyak sekali terjadi.

Soetandyo (2000), mendefisikan kekerasan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah/ dilemahkan), yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik maupun non-fisik dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.

Definisi di atas,  mengandung aspek ketidakdadilan gender, yakni posisi kuat (yang biasanya dilekatkan kepada laki-laki) menjadi alat melakukan kekerasan terhadap pihak yang berposisi lemah (yang biasanya dilekatkan kepada perempuan).

Pengertian lebih lengkap tentang kekerasan terhadap perempuan, termuat dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusa kekerasan terhadap perempuan di Naerobi  tahun 1985, bahwa yang dimaksud kekerasan terhadap perempuan adalah:…..”segala tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang—wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi”.

Dokumen Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP),  menggunakan definisi kerja berikut: “kekerasan terhadap perempuan  adalah setiap tindakan  yang melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan dan pengabaian terhadap hak asasi perempuan atas dasar gender. Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian dan penderitaan pada perempuan di sepanjang hidupnya baik secara fisik, seksual atau psikis, termasuk ancaman perbuatan tersebut, paksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan

Kekerasan terhadap perempuan karena ketidakadilan gender, bisa saja terjadi di dunia publik maupun domestik, yang bentuknya bermacam-macam, yakni:

a. Perkosaan

Perkosaan terjadi karena keterpaksaan yang pada umumnya korban merasa malu, takut, keterpaksaan ekonomi, kultural maupun struktural dan tidak ada pilihan lain. Hal ini bisa terjadi di wiyah domestik maupun publik.

b. Pemukulan

Pemukulan dan serangan fisik yang terjadi karena perempuan dianggap

lemah. Termasuk dalam kategori ini adalah penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse)

c. Genital multilation

Yakni penyiksaan yang menarah pada organ alat kelamin seperti penyunatan perempuan (dorsumsisi/sirkumsisi) dengan tujuan agar perilaku seksual perempuan terkontrol.

d. Prostitusi

Pemerintah dan aparat penegak hukum seringkali  menggunakan standart ganda dalam menyikapi prostitusi ini. Di satu sisi para pekerja seks ditangkap tetapi di sisi lain harus membayar pajak dan lokalisasipun dibuka dimana-mana.

e. Pornografi

Pornografi merupakan bentuk kekerasan psikis, yakni pelecehan  seksual terhadap perempuan di mana tubuh perempuan dieksploitasi dan djadikan sebagai obyek demi keuntungan  seseorang, sekelompok orang atau bahkan institusi.

f. Sterilisasdi alat kontrasepsi (KB)

Alat kontrasepsi tidak semuanya memilki karakteristik yang cocok bagi semua perempuan meningat perbedaan kondisi fisik dan kesehatannya.Tetapi perbedaan kondisi seperti ini tidak pernah diertimabagkan oleh pemerintah,a sal memenuhi target pengontrolan jumlah penduduk.

g.Pelecehan seksual

Pelecehan seksual merupakan  bentuk kekerasan  yang paling umum dilakukan masyarakat,  misalnya lelucon jorok, membuat malu dengan ungkapan kotorl, mengintogras peremuan  agar menceritakan kehidupan seksual  pribadinya, minta imbalan seksual untuk memberikan pekerjaan kepada prempuan dan sebagainya.

 

Sebab-sebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan

Perempuan yang secara umum memiliki fisik yang lebih lemah dibandingkan laki-laki, juga mengakibatkan  pelabelan (stereotyping) bahwa perempuan juga lemah dalam segala hal. Hal ini, seringkali dimanfaatkan laki-laki untuk mendiskriminasikan perempuan atau meminggirkan perempuan, sehingga tidak melibatkan perempuan dalam peran-peran strategis. Akibat dari labelling ini pula, seringkali laki-laki memanfatkan kekuatannya untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan, baik secara fisik, psikis maupun seksual.

Kekuasaan yang memiliki legitimasi hukum, juga sering menjadi sarana untuk melakukan kekerasan terhadap bawahannya. Hakikat kekuasaan sesungguhnya adalah kewajiban  untuk mengatur, betanggung jawab dan melindungi bawahannya. Namun, seringkali yang terjadi adalah bahwa dengan sarana kekuasaan yang legitimate, penguasa melakukan kekerasan yang jusru tidak melindungi warga atau bawahannya.Dalam konteks ini misalnya, negara terhadap rakyat, suami terhadap istri dan anak-anak dan sebagainya.

Sistem ekonomi kapitalis, juga menjadi sebab terjadinya kekerasanterhadap perempuan. Dengan prinsip ekonomi mengeluarkan modal sedikit mungkin untuk mencapai keuntungan sebanyak-banyaknya, maka perempuan seringkali menjadi alternatif utama yang bisa dikorbankan. Oleh karena itu, tenaga yang diperas dengan upah murah adaslah tenaga perempuan. Fenomena upah buruh perempuan yang tidak sebanding dengan laki-laki, merupakan bentuk kekerasan karena sistem ekonomi yang dikembangkan.

Budaya patriarkhi, yakni budaya yang berpusat ada laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki, menjadi penyebab dan kontribusi terbesar bagi terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dari budaya ini pula, lahir banyak sistem dan kebijkan yang tidak mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan. Oleh karena itu, kekerasan terjadi di hampir semua lini kehidupan. Untuk itu, RAN-PKTP yang telah disusun, juga dilakukan melalui pendekatan-pendekatan bidang strategis, sesuai dengan wilayah yang di situ banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan. Bidang-bidang strategis dimaksud adalah negara dan militer, hukum dan perundang-undangan, kesehatan, sosial-budaya, ketenagakerjaan, pendidikan dan media.

Kekerasan Dalam Rumah tangga (KDRT): Antara Mitos dan Fakta

Di samping bentuk kekerasan yang terjadi di dunia publik,  kekerasan yang banyak diderita perempuan adalah kekerasan domestik (domestic violence). Kekerasan di wilayah in, merupakan kekerasan yang fenomenanya seperti gunung es. Kekerasanyang diketahui, dilakporkan dan kemudian ditanagnai sesungguhnya merupakan sebagian kecil dari fenomena kekerasan yang terjadi sesungguhnya, al ini bisa dilhat pada semakin meningaktnya kekerasan terhadap perempuan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif dari waktu ke waktu.

Meningkatnya kesadaran perempuan terhadap fenomena ketidakdilan yang berbasis gender ini, yang dikukuhkan dengan Undang-undang Kekerasan dalam rumah Tangga (KDRT) yang baru disahkan tahun 2004 yang lalu,   membuat perempuan merasa memiliki kekuatan hukum ketika harus melaporkan kekerasan yang dideritanya.

Kekerasan terhadap peremuan tidak memandang  dari kelas, agama, ras, etnis, bahkan cara berpakaiannya. Kekerasan bisa saja terjadi secara multidimensionl. Terdapat beberapa mitos tentang kekerasan yang dialami perempuan, yang tenyata sangat berbeda dengan fakta yang terjadi. Hal ini bisa dilihat dalam tabel berikut :

No.

Mitos

Fakta

1.

Kekerasan hanya terjadi pada kelas ekonomi rendah

kekerasan terjadi pada kelas eonomi manapun (rendah, menengah dan atas)

2.

kekerasan hanya terjadi pada pasangan yang tidak dikehendaki

kekerasan banyak terjadi pada pasangan yang saling mencintai

3.

kekerasan terjadi pada perempuan yang tidak berpakaian santun

Banyak perempuan berjilbab yang menjadi korban kekerasan

4.

Kekerasan dilakukan oleh orang laki-laki/suami yang kelainan

kekerasan dilakukan oleh laki-laki/suami yang normal

5.

Kekerasan dilakukan oleh suami/laki-laki berperangi kasar

kekerasan dilakukan o;leh laki-laki/suami yang ampak santun pada semua oarng

6.

Kekerasan dilakukan oleh laki-laki/suami yang tidak taat beragama

kekerasan dilakukan oleh suami yang taat beragama/bahkan menjadi tokoh agama

7.

Kekerasan dilakukan oleh lakilaki karena lepas kontrol

kekerasan dilakukan olek laki-laki dengan penuh kesadaran

8.

Kekerasan dilakukan oleh laki-laki pemabuk

kekerasan dilakukan oleh suami yan bukan pemabuk

9.

 

kekerasan dilakukan karena istrri berbuat salah

kekerasan dilakukan suami kepada istri dengan standart nilai suami

 

Perempuan menyandang ketidakadilan gender, karena dianggap  sebagai mahluk yang lemah dan emosional. Stereotiping semacam ini  membuat perempuan  potensial dan rentan mengalami kekerasan. Pakaian, di satu sisi memang menjadikan perempuan terhindar dari  kekerasan seksual. Namun di sisi lain  kekerasan terhadap perempuan  tidak hanya terjadi  karena pakaian  perempuan yang kurang sopan. Pakaian yang kurang sopan, seringkali menunjukkan aspek sensualitas perempuan, yang bisa membuat lak-laki berniat jahat terhadapnya. Namun, pada banyak kasus, ternyata perempuan yang secara fisik tidak menampakkan sensualtas-pun ternyata juga menjadi korban kekerasan. Peristiwa 27 Juli 1997 lalu, menyisakan goresan kepedihan dan nista bagi  perempuan yang menjadi korban kekerasan dan keberingasan laki-laki, mulai perempuan yang  berusia anak-anak, remaja, dewasa, orangtua dan bahkan nenek-nenek. Kasus yang terungkap (Jawa Pos, 21-9-2002) juga menunjukkan bahwa perempuan  yang berpakaian dan berperilaku sopan-pun (memakai jilbab) justru menjadi  korban kekerasan dengan modus operandi secara halus, baik melalui minuman, obat maupun jampi-jampi (Jawa Pos, 21s.d 23 September 2002).

Menengok jauhnya kesenjangan antara mitos dan fakta tentang kekerasan, penulis berkesimpulan bahwa  banyak faktor yan justru  di luar diri perempuan yang mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Bisa jadi  pola relasi kultural yang menganggap  laki-laki lebih dominan  daripada perempuan. Hal ini seringkali terjadi  pada kasus  kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Karena laki-laki menganggap dirinya  penguasa, maka ia dapat meperlakukan  isterinya sesuka hatinya.

E.  Agama dan Kekerasan terhadap Perempuan: Perspektif  Islam

Islam tidak mentolerir kekerasan terjadi, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an yang jika hanya dipahami secara tekstual, memberikan pembenaran terhadap tindak kekerasan, di antaranya dalam QS. 4: 34. Karena suami adalah pemimpin (qawwamun) maka ditafsirkan bahwa ia berhak secara mutlak menguasai isterinya dengan memperlakukannya sewenang-wenang, dengan dalih mendidik. Ketika seorang istri nusyuz maka seorang suami bisa melakukan 3 hal : memberikan nasehat, memisahkan tempat tidur istri dan memukulnya. Istilah ”memukul” (idhribuhunna), seringkali dimaknai bahwa al-Qur’an membolehkan suami melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya. Padahal, ayat tersebut bisa dimaknai lain, yakni dengan memperhatikan substansi memukul, yakni menghukum istri agar tidak mengulangi nusyuz-nya. Dengan demikian, m,enghukum istri agar tidak mengulangi nusyuz-nya, berarti tidak harus dengan memukul, tetapi dengan cara-cara lain, misalnya dengan tidak menyapa, melakukan pendekatan, memberi teguran ”keras” dan terapi-terapi psikologis lain yang mampu menggugah kesadaran istri untuk melakukan introspeksi.

Adapun hadits yang sering dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan (isteri) antara lain diriwayatkan Ibnu Majah:

 

Hadits tentang pengandaian sujud seorang isteri pada suami tersebut menjadi simbolisasi besarnya hak suami pada diri sang isteri. Isteri harus menghamba dan mentaati apapun yang diperintahkan suami. Bahkan, digambarkan betapa mutlaknya ketaatan isteri terhadap suaminya, ia harus mau melayani kebutuhan seksual suaminya,  sekalipun di punggung onta. Begitupun dengan hadits riwayat at-Turmudzi dan Ibnu Majah yang menyatakan bahwa perempuan adalah ”tawanan” bagi laki-laki. Istilah ”tawanan” jelas metafor bagi ”keterpasungan” perempuan.

Lebih radikal lagi, an-Nawawi dalam Uqud al-Lujain menukil hadits yang diriwayatkan Hakim, bahwa Rasulullah bersabda,”di antara hak isteri adalah andaikan di antara dua hidung suami keluar darah atau nanah lalu isteri menjilatinya, ia belum memenuhi hak suaminya”. Sungguh hadits ini menggambarkan penghambaan yang sangat tidak manusiawi. Hadits yang ternyata menurut ad-Zahabi (FK3,2001) berkualitas  dhaif tersebut, serta hadis-hadis lain yang bernuansa ”mendiskreditkan” perempuan, terkesan ”ditonjolkan” dalam kitab yang menjadi konsumen banyak pesantren di tanah air.

Jika dipahami secara bijak, sebenarnya pernikahan adalah sebuah ikatan mitsaq ghalidza yang dilandasi dengan mu’asyarah bi alma’ruf yang mengandaikan leburnya hirarki antara tuan dan hambanya. Dengan demikian secara prinsipal hadits pengandaian sujud pada suami tersebut bertentangan dengan ajaran moral yang substansial dari al-Quran. Dan jika kita cermati, hadits itu hadir karena ada sahabat yang menyembah Nabi, yang kemudian dilarang oleh beliau.

Hadits lain yang sering dijadikan legitimasi terhadap keabsahan praktik pemaksaan, penindasan, dan bahkan tindak kekerasan adalaha hadits riwayat alBukhari :

 

Hadits tersebut sering diartikan sebagai ketaatan mutlak seorang isteri kepada suaminya. Apapun dan bagaimanapun kondisinya, isteri harus melayanai suami kapanpun ia mau. Karena jika tidak mau melayani suaminya, ia akan mendapat laknat malaikat hingga fajar tiba.

Seharusnya teks hadits tersebut dipahami secara mataforis. Pertama, bahwa  laknat malaikat itu diperlakukan bagi perempuan yang menolak tanpa alasan yang dapat dibenarkan syari’at ketika diajak ”tidur” suami, sementara ia dalam kedaan longgar. Kedua, term ”la’nat” tidak harus dimaknai sebagai siksa akhirat yang akan menyebabkan perempuan masuk neraka, tetapi harus lebih dipahami sebagai sebuah suasana yang disharmonis antara suami dan isteri. Bagaimana mungkin, ketika dalam sebuah kamar ada dua orang yang tidak saling menyapa? Tentunya yang terjadi adalah adanya perasaan sumpeg, tertekan, tidak nyaman dan sebagainya. Inilah sesungguhnya yang dimaksud la’nat dalam konteks hadis al-Bukhari di atas. Ketiga, terma ”da’a” dan ”abat” dalam konteks hadits tersebut dimaknai bahwa seorang suami dengan baik-baik (da’a) mengajak istrinya berhubungan seksual, namun dengan angkuh (abat) sang isteri menolaknya tanpa alasana yang dapat dibenarkan syara,’ maka ia pantas menerima laknat malaikat. Ini berarti bahwa jika seorang suami memaksa isterinya (tidak dengan cara yang baik) untuk melakukan hubungan seksual, maka sang isteri berhak menolaknya.

Pemaknaan hadits dengan berupaya ”saling mengerti” hak dan kewajiban pasangan suami isteri, senada dengan al-Quran 3: 124 bahwa laki-laki dan perempuan yang melakukan kebajikan akan masuk surga. Hadits Nabi dari riwayat Ibnu Majah di bawah ini, semakin memperkuat adanya perintah bahwa seorang suami harus memberikan kelembutan, kasih sayang dan perhatiannya kepada istri dan keluarganya, yakni:

 

Nabi menganjurkan memperlakukan perempuan dengan baik, juga melarang berkata jelek atau kotor apalagi memukul, sebagaimana hadits Nabi Riwayat Abi Dawud dan ad-Darimi:

 

 

Dari sedikit gambaran tersebut di atas, kita dapat melihat bahwa persoalan diskriminasi gender dan kekerasan terhadap perempuan berpangkal pada problema metodologi penafsiran terhadap teks-teks agama dan kemandegan dalam melakukan analisis dalam kondisi yang berubah secara kritis. Oleh sebab itu diperlukan suatu pendekatan baru untuk merumuskan pandangan Islam atas masalah perempuan yang selama ini masih berada pada posisi rentan terhadap kekerasan. Pendekatan tersebut dilakukan dengan mengembangkan pemikiran keagamaan dalam persoalan ini, dengan mendudukkan teks-teks agama yang normatif sosiologis pada maknanya yang relatif  ketika ia berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sosial yang mengingkari pesan fundamental agama.

Lebih jauh dari itu, hal yang penting untuk kita lakukan adalah meningkatkan kualitas  diri perempuan, yang notabene sebagai generasi penerus bangsa baik dalam dunia domestika (keluarga), maupun di ranah publik ketika ia  menjadi pengajar, pemimpin organisasi, peneliti, pejabat pemerintahan, dan sebagainya. Peningkatan kualitas perempuan menjadi penting untuk dilakukan. Peningkatan SDM perempuan dimaksud tidak saja pada kualitas fisik, tetapi juga pada kualitas psikisnya, yang meliputi asah  bakat, kalbu, kecerdasan serta mampu berfikir logis, bertindak inovatif dan kreatif, etika pergaulan yang prima, solidaritas sosial yang tinggi kemandirian dan disiplin tinggi dan sebagainya. Intinya, adalah bagaimana agar perempuan dan laki-laki secara bersama-sama bisa menumbuhkan tiga potensi yang dimiliki anak, yakni al-quwwah al-jasmniyyah (human frame :potensi jasmani); al-quwwat al-aqliyah (human intellect :potensi intelegensia) dan al-quwwat al-nafsiyah (human essence: potensi jiwa)(Syeikhul Hadi Permono: 2001).

Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai mahluk Tuhan yang bermartabat,  memiliki multi predikat, yakni sebagai mahluk terbaik dan termulia,  pemegang amanah, bertanggung jawab,  memiliki  hak pilih bebas, menyandang kelemahan, menyandang peran ganda serta menyimpan fitrah ber-Tuhan. Untuk merealisasikan predikatnya di atas, Tuhan  menyediakan sarana yang diperuntukkan manusia, dalam rangka mengemban tugas dan amanah sebagai khalifah, yang memiliki kewajiban untuk memakmurkan bumi dan mensejahterakan hidup. Dengan demikian, ia memiliki tanggung jawab terhadap segala pilihan jalan hidup (gelap-terang). Di sinilah jiwa manusia diuji, apakah ia mampu mendominasikan potensi konstruktif (taqwa), dengan mengedepankan cinta dan kasih sayang, atau sebaliknya mendominasikan potensi destruktifnya (fujur), yang mengantarkannya ke jalan kehidupan yang penuh la’nat, dengan melakukan kekerasan terhadap sesamanya.

Mengakhiri tulisan ini, patut direnungkan fatwa bijak Sayyidina Ali ibn Abi Thalib,” Tidak memuliakan perempuan kecuali orang-orang yang mulia, dan tidak menghinakan perempuan kecuali orang-orang yang hina”. Dengan demikian, siapapun yang melakukan kekerasan, maka ia menghinakan dirinya sendiri, pantas dihina oleh sesamanya, serta menjadi hina di hadapan Yang Maha Kuasa.

Wa allah a’lam bi al-shawab

 

 

 


[1] Makalah ini pernah disajikan penulis dalam sejumlah seminar dan diskusi tentang gender dan Islam

[2] Penulis kini adalah dosen Pascasarjana dan Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *