Problematika Studi Sanad Hadis
Studi hadis, sekalipun menduduki dasar kedua setelah al-Qur’an, belum mendapatkan perhatian yang sama besarnya dengan studi al-Qur’an. Padahal sebagai dasar dalam menetapkan hukum (istinbath al-hukm), hadis mendapatkan tantangan keabsahan lebih besar dibandingkan al-Qur’an, yang salah satunya karena pembukuannya secara formal baru dilakukan jauh setelah Rasulullah meninggal.[1] Bahkan, usaha pembukuan hadis lebih cenderung bersifat reaktif terhadap pemalsuan hadis[2] dibandingkan kepentingan ilmiahnya.
Hal tersebut dapat dilihat dari metode pembukuan hadis yang bersifat selektif terhadap hadis yang berkembang dan kemudian dikategorikan menjadi hadis sahih — yakni hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi (periwayat) yang adil, tsiqah (dapat dipercaya) dan dlabith (kuat hafalannya), terlepas dari kejanggalan (syudzudz) dan tidak ditemukan adanya cacat (‘illat),[3] atau hadis hasan — yakni hadis yang diriwayatkan para rawi yang adil tapi kurang dlabith (kurang hafalan)nya, terhindar dari syudzudz dan tidak mempunyai ‘illat,[4] atau dikategorikan sebagai hadis dla’if — yakni hadis yang tidak memenuhi kategori hadis shahih dan hasan.[5]
[1]Menurut mayoritas ulama, penulisan Hadis dilakukan pada paruh kedua abad ke-2 Hijriyah yang dilakukan oleh al-Malik bin Juraij di Makkah, Anas bin Malik di Madinah, al-Awza’iy di Syria, Sa’id bin Abi ‘Urwah di Bashrah, Ma’mar di Yaman dan Sufyan al-Tsawriy di Kufah. Mengenai hal ini baca misalnya Jala al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthiy, Tarikh al-Khulafa’ (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1952), h. 261; Abu Muhammad ‘Abd al-Rahman bin Abi Hatim al-Raziy, al-Jarh wa al-Ta’dil (t.t.: Dar al-Turas al-‘Arabiy, 1952), h. 184.
[2]Ahmad Amin mengatakan bahwa praktik pemalsuan Hadis sudah ada sejak masa Rasulullah. Namun, hal ini tampaknya kurang didukung oleh fakta historis dan kekuatan logika. Oleh karenanya, kita cenderung sepakat dengan mayoritas ulama yang berpendapat bahwa pemalsuan Hadis dimulai sejak masa ‘Aliy bin Abi Thalib. Baca Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, 1975), h. 210-211; Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 13; M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 92-95; Mushthafa al-Shiba’iy, “al-Sunnah: Makanatuha fi al-tasyri’ al-Islamiy”, diterjemahkan oleh Dja’far Abd. Muhith, Hadis sSebagai Sumber Hukum (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), h. 118.
[3]Mengenai kategori ini baca misalnya dalam Abu ‘Umar ‘Utsman bin ‘Abd al-Rahman al-Shalah, ‘Ulum al-Hadis (Madinah: al-Maktabah al-Islamiyah, 1972), h. 10; Taqy al-Din bin Daqiq al-‘Id, al-Iqtirah fi Bayan al-Isthilah wa Ma Udlif ila Dzalik min Ahadis al-Maudlu’ah min al-Shahih (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 5.
[4]Mengenai hal ini lihat misalnya Shubhiy al-Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalhuh (Bairut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988), h. 156; Nur al-Din ‘Itr, “Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis”, diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul, ‘Ulumul Hadis, Jilid II (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h. 27.
[5]Baca al-Imam Abi ‘Abdillahg Badr al-Din Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah, al-Manhal al-Rawiy fi Mukhtashar ‘Ulum al-Hadis al-Nabawiy (Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), h. 47.
[6]Mengenai beberapa definisi Hadis baca dalam Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy, Qawa’id al- Tahdits min Funun Mushthalah al-Hadis (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1979), h. 75; Subhiy al-Shalih, op. Cit., h. 107.
[7]Mengenai beberapa retorika pengantar dan tingkatannya menurut ulama Hadis baca misalnya al- Hadis al-Nabawiy: Mushthalahuh, Balaghatuh, ‘Ulumuh, Kutubuh (t.t.: al-Maktabah al-Islamiy, 1972), h. 149- 152.
[8]Diantara kriteria periwayat yang dapat diterima ialah harus Islam, baligh, berakal sehat, tidak fasik, tidak tercela tingkah lakunya, dapat menghafal seluruh Hadis yang diriwayatkannya, dan mampu menyampaikan Hadis yang dihafalnya dengan baik. Selanjutnya baca al-Khathib al-Baghdadiy, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Haidarabad: Dar al-Ma’rifah, t.th.), h. 54; al-Harawiy, Jawahir al-Ushul fi ‘Ilm al-Hadis al- Rasul (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1373 H.), h. 55-68.
[9]Mengenai perbedaan periwayat dan syahid Hadis baca Muhammad bin Muhammad al-Ghazaliy, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (t.d.), h. 187-188.
[10]Untuk mengetahui apakah periwayat dicacat atau dipuji oleh ulama yang lain, seorang peneliti harus menguasai ‘ilm al-jarah wa al-ta’dil, yakni ilmu yang membahas keadaan para periwayat Hadis, baik mengenai cacat maupun kebersihannya dari cacat dengan menggunakan lafal-lafal tertentu (seperti menggunakan kata tsabitun, hafidhun, dlabithun, hujjatun untuk pujian, atau menggunakan lafal dzahibul Hadis dan dla’iful Hadis untuk menunjukkan cacat). Baca misalnya Abu ‘Abdillag al-Hakim al-Naysaburiy, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis (Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.th.), h. 52.
[11]Komentar mengenai beberapa kitab al-Jarah wa al-Ta’dil dalam ditemukan dalam Mahmud al- Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid (Cet. I; Mesir: al-Mathba’ah al-‘Arabiy, 1978), h. 176-203.
[12]Mengenai kaidah ini dan cara penggunaannya dalam skala prioritas baca Ahmad Muhammad Syakir, al-Ba’its al-Hatsits: Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadis li al-Hafidh Ibn Katsir (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 89.
[13]Yang dimaksudkan dengan “kegelapan sejarah” Islam di sini ialah: (1) Sistim penulisan sejarah Islam pada masa awal perkembangan ilmu sejarah Islam tidak jelas sebab ditulis dengan menggunakan sistem riwayah yang sama dengan cara periwayatan Hadis, sementara beberapa riwayah yang disampaikan banyak kontrakdiktif satu dengan lainnya; (2) Terjadinya perang saudara dalam perang Jamal, antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Thalhah dan Aisyah, dan perang Shiffin yang terjadi antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah, pada tanggal 10 Shaffar 37 H. atau bertepatan dengan tanggal 28 Juni 657 M. Mengenai contoh kegelapan sistim penulisan sejarah dan tentang sejarah pecahnya perang saudara ini baca misalnya Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Jilid VII (Mesir: al-Sa’adah, t.th.), h. 232 dst.; al-Thabariy, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Jilid IV (Mesir al-Istiqamah, m1939), h. 33; Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, Vol. III (Bairut: Dar al-Fikr, 1979), h. 191 dst.
[14]Mengenai hal ini baca Fatima Mernissi, “Women and Islam; al-Qur’an Historical and Theological Enquiry”, diterjemahkan oleh Yaziar Radianti dengan judul, Wanita di Dalam Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka, 1991), h. 62 dst; Tanggapan terhadap kajian historis Fatima Mernissi ini lihat Hidayat Nur Wahid, “Kajian atas Kajian DR. Fatima Mernissi tentang “Hadis Misogini” (Hadis yang isinya Membenci Perempuan)”, dalam Mansour Fakih (et.al.), Membincang Feminisme dalam Diskursus Gender Perspektif Islam (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 3-35.