TRADISI NYUWANG NGANTEN DI KALANGAN MASYARAKAT DUSUN KECICANG ISLAM DESA BUNGAYA KANGIN KECAMATAN BEBANDEM KABUPATEN KARANGASEM BALI

TRADISI NYUWANG NGANTEN DI KALANGAN MASYARAKAT DUSUN KECICANG ISLAM DESA BUNGAYA KANGIN KECAMATAN BEBANDEM KABUPATEN KARANGASEM BALI

 Haifa Maulika

Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Email: aqu.jelita@gmail.com

 

Abstrak

The research propose about the marriage tradition that develops in the small settlement in Bali. The research was done at the Kecicang hamlet, Bungaya Kangin Village, Bebandem Distric, Karangasem Regency of Bali. The results showed that there are differences in the society in understanding Nyuwang Nganten tradition. The society is divided into two group, that is theological normative group and sociological empiric group.   The theological normative group is the communities group that is emotional in understanding the Nyuwang Nganten tradition to defend it without connect it with the Islamic law, but only focus to custom law, so the tradition that develop at the Islamic Kecicang communities caused by the mythology faith problem of the communities. The sociological empiric group is the communities group that consider the tradition as the important part, because the theory is considered become the treasure to defend and give attraction for the community itself, but by harmonizing the custom and Islamic law.

              Penelitian ini mengemukakan tentang tradisi pernikahan yang berkembang pada suatu perkampungan kecil di Bali. Penelitian ini dilakukan di Dusun Kecicang Islam Desa Bungaya Kangin Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terdapat perbedaan pada masyarakat dalam memahami tradisi Nyuwang Nganten. Masyarakat tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok normatif teologis dan empiris sosiologis. Normatif teologis merupakan kelompok masyarakat yang emosional dalam memahami tradisi Nyuwang Nganten untuk tetap dipertahankan sampai sekarang dengan tidak mengkaitkan dengan hukum Islam, tetapi hanya terfokus pada hukum adat saja, sehingga tradisi yang berkembang pada masyarakat dusun Kecicang Islam disebabkan oleh persoalan keimanan mitologis masyarakat setempat. Empiris sosiologis merupakan kelompok masyarakat yang memandang tradisi ini sebagai bagian yang penting, karena teori ini dianggap menjadi khazanah untuk mempertahankan dan memberikan daya tarik dari komunitas masyarakat itu sendiri, tetapi dengan menyelaraskan hukum adat dan hukum Islam.

Kata kunci : Tradisi, Nyuwang Nganten

                  Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, adat istiadat serta tradisi. Jika dilihat, setiap daerah memiliki kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari’at Islam tidak melarang pelaksanaan kebiasaan (adat) selama hal tersebut tidak melanggar syari’at Islam dan tidak mendekati kemudharatan. Sebuhungan dengan itulah adat dan tradisi yang ada pada setiap daerah semakin berkembang dan dilestarikan selama hal tersebut tidak melanggar hukum Islam, begitu juga dengan adat tentang pernikahan.

                  Salah satu wilayah Negara Indonesia yang kental dengan adat, kebudayaan dan tradisi adalah provinsi Bali. Bali dikenal dengan mayoritas penduduknya yang beragama Hindu. Agama Islam merupakan agama minoritas di Bali. Dengan jumlah minoritas yang sedemikian, masih ditemukan perkampungan muslim di Bali, seperti Kampung Jawa yang terletak di Denpasar, Kampung Kepaon Denpasar, Desa Pegayaman Buleleng, Desa Loloan Jembrana dan Dusun Kecicang Islam Karangasem. Dalam hal ini masyarakat muslim di Bali juga memiliki beberapa tradisi yang berbeda dengan tradisi agama Hindu.

                              Salah satu keunikan tradisi pernikahan bisa dilihat di Dusun Kecicang Islam, Karangasem-Bali. Tradisi pernikahan ini dikenal dengan Tradisi “Nyuwang Nganten”. Pada tradisi ini satu hari sebelum berlangsungnya akad, calon mempelai laki-laki membawa calon mempelai perempuan ke kediamannya pada malam hari. semula pada tradisi ini calon mempelai wanita dijemput oleh calon mempelai pria dengan hanya didampingi oleh seorang kerabat dari mempelai pria. Akan tetapi dengan perkembangan zaman dan banyak terdapat kontroversi antara masyarakat sekitar desa tersebut, tradisi Nyuwang Nganten lebih dikenal dengan menjemput calon mempelai dengan disertai arak-arakan yang meriah. Dalam hal ini pihak keluarga mempelai wanita begitu saja menyerahkan putrinya untuk diinapkan di kediaman mempelai pria dalam keadaan belum ada ikatan pernikahan yang sah. Alasannya adalah supaya kedua calon mempelai menjadi lebih dekat dan lebih mengenal satu sama lain. Adat ini merupakan tradisi turun menurun yang telah berlangsung dan dijalani oleh masyarakat Dusun Kecicang Islam. Jika tradisi ini tidak dilaksanakan maka proses akad untuk keesokan harinya tidak dapat dilaksanakan.[1]

             Banyak masyarakat yang menganggap tradisi merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan, melebihi kewajiban yang diperintahkan Allah SWT. Banyak tokoh agama yang tidak dapat meluruskan pemikiran masyarakat tersebut, karena dalam benaknya tradisi merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Sedikit masyarakat dusun Kecicang yang berfikiran modern, tidak mau melakukan adat dan tradisi tersebut. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor, pertama faktor pendidikan yang tinggi serta calon suami atau istrinya tidak berasal dari desa yang sama. Jadi dengan demikian mayarakat yang demikian itu tidak melangsungkan prosesi pernikannya di dusun Kecicang.

                  Sementara dalam praktek tradisi Nyuwang Nganten terdapat kontradiksi antara masyarakat dusun Kecicang yang tidak setuju dengan berjalannya tradisi Nyuwang Nganten yang menurut beberapa masyarakat tradisi ini tidak sesuai dengan ajaran agama Islam sebagaimana mestinya. Tetapi banyak juga masyarakat desa yang sepakat dengan adanya tradisi Nyuwang Nganten dikarenakan tradisi ini merupakan tradisi turun temurun yang harus dilestarikan sepanjang masa.

                  Jika tradisi itu diperhatikan dengan seksama, maka akan ditemukan bahwa pada dasarnya tradisi Nyuwang Nganten pada masyarakat Dusun Kecicang Islam merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan akad atau pernikahan, karena pada dasarnya inti dari pernikahan terletak pada akad.[2] Adakalanya masyarakat tidak terlalu peduli dengan makna pernikahan dan menganggap segalanya menjadi sah-sah saja. Dalam hal ini adakalanya masyarakat lebih memahami arti pernikahan sebenarnya.

Metode Penelitian

        Penelitian ini menggunakan jenis penelitian empiris yaitu penelitian hukum positif yang tidak tertulis mengenai perilaku (behavior) anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat, dengan kata lain penelitian ini mengungkapkan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat.[3] Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi, yaitu, sebuah pendekatan yang mencoba memahami makna, nilai, persepsi dan juga perimbangan etik di setiap tindakan dan keputusan pada dunia kehidupan manusia.[4]

      Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan atau menggambarkan tentang tradisi Nyuwang Nganten dalam tinjauan hukum Islam. adapun yang menjadi lokasi penelitian adalah dusun Kecicang Islam desa Bungaya Kangin Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem Bali.

Subjek penelitian dalam tulisan ini ialah masyarakat dusun Kecicang Islam yang pernah mempraktikkan tradisi Nyuwang Nganten, kepala dusun Kecicang Islam, tokoh masyarakat, serta tokoh agama dusun Kecicang Islam. Pengambilan informasi akan diambil dari 9 kepala keluarga, 1 orang kepala dusun, 1 tokoh masyarakat, serta 1 tokoh agama, jadi keseluruhan informan ialah 12 0rang.

            Untuk memperoleh data digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: pertama, Data Primer yaitu data langsung dari sumber utama. Dalam hal ini peneliti menggali sumber dengan melakukan penelitian secara langsung terhadap mayarakat Dusun Kecicang Islam Desa Bungaya Kangin Kecamatam Bebandem Kabupaten Kareangasem Provinsi Bali. Kedua, Sumber data sekunder yaitu data-data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh pihak lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, maupun hasil penelitian yang berwujud laporan.[5] Data yang dimaksud adalah data-data yang diperoleh dari kepala Dusun Kecicang Islam.

            Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan berbagai macam metode dan teknik pengumpulan data yang tepat. Tujuannya agar diperoleh data yang obyektif. Adapun teknik pengumpulan data tersebut antara lain: wawancara, observasi dan dokumentasi.

            Setelah berbagai data terkumpul, maka untuk menganalisanya digunakan teknik analisa deskriptif, artinya peneliti berupaya menggambarkan kembali data yang terkumpul mengenai tradisi Nyuwang Nganten di kalangan masyarakat Dusun Kecicang Islam Desa Bungaya Kangin Kecamatan Bebandem Kabupaten Krangasem Provinsi Bali.

            Dalam analisis data, penulis berusaha untuk memecahkan masalah dengan menganalisis data-data yang berhasil dikumpulkan, selanjutnya dikaji dan dianalisis sehingga memperoleh data yang valid. Kemudian peneliti akan melakukan analisis data guna memperkaya informasi melalui analisis komparasi, sepanjang tidak menghilangkan data aslinya. Analisis data dimulai dengan editing, klasifikasi, verifikasi, analisis, dan kesimpulan.

Tradisi Nyuwang Nganten serta Kondisi Objektif Dusun Kecicang Islam

          Kecicang Islam merupakan nama sebuah dusun di Desa Bungaya Kangin. Menurut cerita rakyat nama Kecicang diambil dari sebuah nama bunga liar yang tumbuh subur di sekitar Desa Bungaya Kangin, tepatnya di dusun Kecicang Islam sekarang.[6] Bunga kecicang berwarna putih seperti bunga teratai yang sedang kuncup. Bunga ini berwarna putih bercampur merah muda. Karena bunga ini tumbuh dengan mudah dan terdapat dimana-mana, oleh masyarakat sekitar dimanfaatkan sebagai sayur atau dimasak menjadi lalapan maupun sambal, sehingga masyarakat sekitar menyebutnya sebagai sayur kecicang atau sambal kecicang. Menurut cerita, nama dusun Kecicang diambil dari nama bunga kecicang tersebut. Sedangkan nama Islam di belakangnya ialah untuk membedakan antara Dusun Kecicang Islam dan Dusun Kecicang Bali.dusun Kecicang Islam Berpenduduk mayoritas beragama Islam sedangkan dusun Kecicang Bali mayoritas beragama Hindu.[7]

          Secara administratif dusun Kecicang Islam berada di bawah struktur kelurahan atau Desa Bungaya Kangin. Dusun yang berada di tengah-tengah Desa Bungaya Kangin ini menurut letak geografisnya berapa pada posisi yang berbatasan dengan dusun Abiansoan dari sebelah barat, di sisi sebelah timur berbatasan dengan dusun Kecicang Bali, di sisi sebelah selatan berbatasan dengan dusun Triwangsa dan di sisi sebelah utara berbatasan dengan sungai Karkuk yang sekaligus menjadi batasan wilayah Desa Bungaya Kangin dengan Desa Padang Kerta. Pada Dusun Kecicang Islam jumlah penduduk laki-laki 1670 jiwa, perempuan 1804 jiwa dengan total keseluruhan 3474 jiwa.[8]

          Pada Dusun Kecicang Islam, sebuah masjid berdiri megah di tengah perkampungan Kecicang Islam yang diperkirakan sudah ada sejak akhir abad 17 M – awal abad 18 M. masjid tersebut dinamakan Masjid Baiturrahman. Menurut bapak Rahmat Hidayat bangunan masjid Baiturrahman Kecicang Islam merupakan salah satu khasanah budaya Islam di tengah budaya Hindu yang perlu dipertahankan keasliannya, sehingga dapat dijadikan rujukan untuk menelusuri sejarah perkembangan arsitektur Islam di Bali.[9]

          Dalam tatanan sosial keagamaan, masyarakat dusun Kecicang Islam sangatlah meninggikan seseorang yang sudah menunaikan rukun Islam ke lima yaitu menunaikan ibadah Haji, dalam hal ini sangat terlihat perbedaan antara masyarakat yang telah pergi haji dengan masyarakat yang belum menunaikan ibadah haji, karena dalam hal ini seseorang yang telah pergi haji sangat dihormati dan dimuliakan. Dalam hal ini harus ada perbedaan sikap antara masyarakat yang belum pergi haji dengan masyarakat yang sudah pergi haji. Masyarakat yang belum haji, jika berbicara dengan masyarakat yang sudah haji haruslah dengan menunduk serta mengunakan bahasa halus dengan penuh sopan santun.

          Masyarakat Dusun kecicang Islam lebih condong kepada Nahdlatul Ulama ( NU ), hal ini dapat dilihat dengan diadakannya tahlil jika ada warga yang meninggal dunia. Terdapat adat tersendiri jika ada warga yang meninggal dunia, dalam hal ini masyarakat sekitar mendapatkan undangan untuk melayat selayaknya orang menikah. Jika tidak adanya undangan, masyarakat tidak perlu hadir untuk melayat ke rumah orang yang berduka. Pada saat warga melayat, warga membawa nampan yang berisi beras, gula dan sembako lainnya. Dalam adat ini, keluarga yang berduka harus mengganti isi nampan yang dibawa warga saat melayat dengan makanan yang sudah matang. Isi nampan yang dikembalikan harus sesuai dengan yang diberikan semula. Menurut ibu Hazzar, banyak masyarakat yang meninggalkan adat ini. Tetapi masih ada yang menjalankan sampai sekarang, ditinggalkannya adat ini karena terlalu membebankan pihak yang berduka. Seharusnya pihak yang berduka dibantu dengan masyarakat lainnya dalam hal ekonomi, bukan malah diberatkan. Tidak sedikit yang masih menjalankan adat ini, alasan masyarakat masih menjalankan adat ini ialah untuk tetap melestarikan adat istiadat yang telah ada turun menurun sejak dahulu kala. Adanya perbedaan kepercayaan seperti ini disebabkan kurangnya pemahaman tentang agama Islam sehingga cara berfikir masyarakat hanya didasari dengan apa yang mereka lihat dan mereka dengar.[10]

          Dusun Kecicang Islam Desa Bungaya Kangin Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem merupakan sebuah daerah yang sangat mengutamakan pendidikan. masyarakat dusun Kecicang rela membanting tulang untuk pendidikan anak-anak mereka. Di tengah-tengah dusun tersebut terdapat sekolah dasar (SD), dimana sebagian besar anak-anak penduduk dusun tersebut menyekolahkan anak-anak mereka di sana. Tidak jauh dari dusun tersebut terdapat pula Madrasah Tsanawiyah (MTS) serta Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang tenaga pengajarnya berasal dari dusun Kecicang Islam sendiri.

          Kondisi ekonomi masyarakat Dusun Kecicang Islam Desa Bungaya Kangin Kecamatan bebandem kabupaten Karangasem adalah menengah ke bawah, tetapi ada sebagian masyarakatnya yang berkehidupan mapan. Mayoritas penduduknya adalah pedagang di pasar. Para pedagang di pasar biasanya berangkat berjualan pada pukul 02.00 WITA dan kembali pada siang hari yaitu pada pukul 11.00 WITA.

          Selain bekerja sebagai pedagang, sebagian masyarakat dusun Kecicang Islam ada pula yang bekerja sebagai tenaga pengajar, PNS, serta wiraswasta. Kegigihan mencari nafkah dapat dilihat pada masyarakat-masyarakat yang sudah berumur. Berbeda jika melihat remaja-remaja dusun tersebut, kebanyakan dari mereka hanya mengandalkan pemberian orang tua. Sehingga dapat di katakan tidak ada perkembangan atau peningkatan ekonomi pada dusun kecicang Islam ini.

          Berikut merupakan kronologi tradisi Nyuwang Nganten sebelum pernikahan: sebelum pernikahan tentu saja dilakukan peminangan. Dalam adat atau tradisi Nyuwang Nganten yang terdapat di dusun Kecicang Islam, peminangan dilakukan dengan hantaran meriah dihadiri oleh banyak orang. Tetapi peminangan ini dilakukan tidak hanya sekali. Setelah rombongan dari calon mempelai laki-laki datang, pihak mempelai wanita tidak langsung menerima pinangan pihak calon mempelai laki-laki, tetapi pihak calon mempelai wanita meminta tempo terlebih dahulu untuk menjawab lamaran tersebut. Hal ini dilakukan orang tua mempelai wanita untuk menanyakan kepada putri mereka apakah benar-benar saling mencintai dengan calon mempelai laki-laki tersebut.

          Pada saat peminangan, pihak mempelai laki-laki diwajibkan membawa seserahan seperti : sirih, gambir, pamor, buah pinang dan tembakau. Adat membawa seserahan ini mengikuti tradisi pernikahan Hindu di Bali. Pada ajaran agama Hindu seserahan diatas selain digunakan untuk prosesi pernikahan juga digunakan sebagai sesajen persembahyangan umat Hindu. Sedangkan dalam adat pernikahan Nyuwang Nganten ke lima seserahan seperti sirih, gambir, pamor, buah pinang dan tembakau hanya digunakan sebatas sebagai simbol perkenalan antara masing-masing keluarga mempelai.

          Dalam bahasa Bali sirih berarti base. Bentuk buah base di sini yaitu terdiri dari buah (jambe) dan base (daun sirih) yang akan dipergunakan sebagai perlengkapan dalam prosesi peminangan. Bentuk dari base (daun sirih) yaitu base yang belum “dipikpik” (belum dipisahkan antara daunnya dengan cabangnya), kemudian “diampin” (diikat dengan tali). Dari buah yang masih utuh (bungkulan) dan base yang sudah diikat (ampin) inilah nantinya akan dijalankan atau diberikan kepada keluarga mempelai wanita.

          Kelima seserahan di atas wajib disertakan pada saat peminangan. Jika pihak mempelai laki-laki lupa membawa salah satu dari lima seserahan tersebut maka penghantar dari keluarga mempelai laki-laki tidak diterima kehadirannya oleh keluarga mempelai perempuan. Peminangan tidak akan bisa berjalan karena penghantar dari keluarga mempelai laki-laki dipersilahkan kembali pulang. Adanya seserahan di atas sangat penting untuk keberlanjutan peminangan. Menurut pandangan tokoh agama Dusun Kecicang Islam, kelima seserahan seperti sirih, gambir, pamor, buah pinang dan tembakau memiliki sebuah makna.

          Makna dari seserahan tersebut adalah jika pada saat peminangan, acara yang telah dijalankan tidak berjalan lancar, dan pasti akan menemukan kendala dan kesalahan dalam bicara pada saat meminang. Membawa sirih, pamor, gambir, buah pinang serta tembakau merupakan adat turun temurun yang ada di Dusun Kecicang Islam.[11] Banyak masyarakat Dusun Kecicang Islam yang mempercayai betapa sangat pentingnya seserahan tersebut, jika tidak disertai dengan seserahan yang telah ditentukan maka acara peminangan tidak dapat dilanjutkan dan dijalankan.

          Setelah lamaran pertama, jelang beberapa hari, pihak mempelai laki-laki kembali datang untuk meminang calon mempelai wanita. Pada pinangan kedua ini dari pihak laki-laki akan menerima jawaban dari pihak perempuan. Sebagaimana kutipan acara pinagan dari pihak laki-laki sebagai berikut :

“Tujuan kami datang ke sini adalah untuk meminang putri bapak dalam arti atas kedatangan yang kedua kali ini saya mohon diberikan jawaban pada hari ini juga. Terima kasih.

Setelah itu dijawab oleh pihak mempelai perempuan :

          “Kalau sudah saling cinta ya silahkan dilanjutkan dan saya terima pinangannya”.

Setelah pinangan diterima oleh pihak mempelai wanita, dari pihak laki-laki menjawab “syukur Alhamdulillah”.

          Setelah diterimanya pinangan dari pihak laki-laki oleh pihak perempuan, proses selanjutnya adalah membicarakan langkah ke depan mengenai penentuan waktu akad nikah yang segala sesuatunya ditentukan oleh pihak perempuan. Jika tanggal atau waktu untuk akad sudah ditentukah, pihak perempuan kembali mengundang pihak laki-laki untuk bermusyawarah.

          Tidak hanya pinangan pertama dan pinangan kedua, dalam tradisi ini ada pula pinangan ketiga yang disebut dengan “Nyuwang Nganten”. Peminangan ketiga ini hanya mengambil atau meminta calon mempelai perempuan untuk dibawa ke kediaman calon mempelai laki-laki. Dalam peminangan ini pihak calon mempelai perempuan tidak lagi didampingi oleh sanak saudara, karena sudah diserahkan sepenuhnya kepada pihak calon mempelai laki-laki. Dalam peminangan ini didampingi oleh banyak orang sama seperti peminangan pertama. Dalam proses Nyuwang Nganten ini pihak mempelai laki-laki dan perempuan tidak dijadikan satu dalam sebuah kamar. Akan tetatpi pihak laki-laki masih bisa setiap saat melihat calon istrinya di dalam kamar. Berbincang-bincang di sepanjang malam sebelum melaksanakan akad nikah keesokan harinya. Suasana di kediaman mempelai laki-laki pada saat itu sangat ramai. Pihak mempelai perempuan ditemani oleh sanak saudara mempelai laki-laki.

          Setelah pihak mempelai perempuan dibawa ke kediaman mempelai laki-laki, pihak keluarga mempelai laki-laki kembali ke kediaman pihak mempelai perempuan. Pada saat di kediaman mempelai perempuan, pihak laki-laki kembali membuka pembicaraan. Pembahasan di sini ialah mengenai wali nikah. Pihak mempelai laki-laki meminta kesedian wali nikah dari pihak mempelai wanita untuk proses selanjutnya yaitu akad nikah yang sudah ditentukan waktunya oleh pihak mempelai wanita dan laki-laki. Pada hari itu juga, dibicarakan mengenai pertemuan keluarga, membahas berapa jumlah keluarga dari masing-masing calon mempelai sehingga dalam proses acara tidak ada kekurangan suatu apapun.

          Dalam pemahamannya masyarakat tidak terlalu peduli dengan apa arti dari tradisi yang mereka jalankan selama ini. Kebanyakan masyarakat hanya menjalankan tradisi yang sudah ada dengan tidak mengetahui asal mula tradisi ini. Banyak terdapat perbedaan masyarakat dalam mengkaji arti Nyuwang Nganten, seperti kutipan wawancara kepada masyarakat Dusun Kecicang Islam.

No.

Nama Informan

Hasil Wawancara

Kelompok Masyarakat

1.

Bapak Muriham, Bapak Hasmini, Bapak Mashur, Ibu Sukimah, Bapak Mulyadi

Kelompok masyarakat ini mengatakan bahwa tradisi Nyuwang Nganten merupakan tradisi turun temurun, wajib untuk dilaksanakan untuk kelestarian adat. Dalam hal ini tidak ada alasan untuk tidak membawa seserahan saat melangsungkan tradisi. Karena jika tidak membawa seserahan seperti sirih, gambir, pamor, buah pinang dan tembakau, kepercayaan masyarakat prosesi pernikahan tidak dapat berjalan lancar dan pasti akan menemukan suatu kendala.

Normatif Teologis. Kelompok masyarakat ini merupakan kelompok masyarakat yang memaknai adat sebagai hal yang sakral, dengan tidak melihat sisi keagamaan yang ada. pemikiran hanya terpaku pada hukum adat saja.

2.

Bapak H. Mahayudan, H. Rahmat Hidayat, Ibu Hazzar, Bapak Nahudin

Pada kelompok masyarakat selanjutnya, mengatakan bahwa tradisi Nyuwang Nganten hanyalah tradisi warisan para leluhur yang di lestarikan oleh masyarakat Kecicang. Tidak ada kewajiban dalam melaksanakannya, karena hal ini hanyalah sebagai simbol pelestarian. Tidak pula sebagai kewajiban untuk lancarnya suatu prosesi masyarakat

Empiris Sosiologis. Kelompok ini merupakan kelompok yang memaknai Nyuwang Nganten sebagai adat yang masih dilestarikan di Dusun Kecicang Islam. Tetapi dalam pelaksanaannya tidak disertai dengan kepercayaan yang fanatik bahwa jika ditinggalkan upacara atau prosesi pernikahan tidak berjalan lancar. Kelompok ini menggunakan pola fikir dengan menggabungkan hukum adat dan hukum Islam.

 

          Terdapat perbedaan antara kedua pendapat dari informan. Dalam hal ini terbagi menjadi kelompok. Ada kelompok masyarakat yang emosional dalam memahami tradisi Nyuwang Nganten untuk tetap dipertahankan sampai sekarang. Sehingga tradisi yang berkembang pada masyarakat dusun Kecicang Islam disebabkan oleh persoalan keimanan mitologis masyarakat setempat. Sedangkan pada kelompok kedua merupakan komunitas yang memandang tradisi ini sebagai bagian yang penting, karena teori ini dianggap menjadi khazanah untuk mempertahankan dan memberikan daya tarik dari komunitas masyarakat itu sendiri.

          Tradisi Nyuwang Nganten dilaksanakan untuk menghormati warisan tradisi terdahulu dan untuk meneruskan warisan budaya saja. Tidak ada ketentuan lain didalam pelaksanaannya. Tradisi Nyuwang Nganten dilaksanakan pada malam hari, tepatnya sebelum berlangsungnya akad nikah. Namun, seperti pemahaman kita dalam ajaran agama Islam sehari sebelum berlangsungnya akad nikah tidak ada serangkaian upacara pernikahan atau pelaksanaan apapun kecuali ta’aruf (perkenalan). Ta’aruf dilaksanakan jauh-jauh hari setelah bertemu dan tertarik, kemudian keduanya dianjurkan untuk saling mengenal satu sama lain, mengenal kepribadian, sosial, budaya, pendidikan dan keluarga masing-masing. Ta’aruf dilakukan dengan tetap menjaga martabat sebagai manusia yang dimuliakan Allah. Dengan tidak melakukan perbuatan yang di benci oleh Allah SWT. Seperti yang terdapat dalam firman Allah yaitu dalam Q.S an-Nur 33:

Artinya:

 

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

          Masyarakat Dusun Kecicang sangat taat dengan adat istiadat yang sudah ada dan berjalan pada Dusun tersebut. Tidak menjalankan adat atau tradisi menurut masyarakat Dusun Kecicang Islam adalah sebuah pelecehan. Tindakan ini menurut mereka adalah menganggap ringan suatu adat. Tetapi diantara masyarakat yang sangat taat dengan adat istiadat dan tradisi, terdapat pula masyarakat yang tidak terlalu peduli dengan adat dan tradisi yang ada pada Dusun tersebut. Kebanyakan masyarakat yang tidak mau terlalu taat dengan adat ini adalah masyarakat yang pernah merantau ke kota sehingga sudah terbiasa dengan kehidupan saat di kota yang tidak berbelit. Sehingga saat kembali ke kampung halaman, tidak lagi peduli dengan adat yang sudah ada sejak dahulu kala. Pentingnya adat atau tradisi bagi masyarakat ini menimbulkan sebuah pertanyaan yaitu seberapa fahamkah masyarakat Kecicang Islam dengan tradisi Nyuwang Nganten yang kerap kali masyarakat praktikkan sebelum menjalani akad nikah.

          Menurut tokoh mayarakat dusun Kecicang Islam, Muriham mengatakan bahwa:

“ Tradisi Nyuwang Nganten merupakan tradisi pernikahan yang sudah dijalankan sejak dahulu oleh nenek moyang, yang mana tidak diketahui kapan awal mula munculnya tradisi ini, masyarakat Dusun Kecicang Islam hanya melanjutkan tradisi yang sudah lama ada di kampung. [13]

          Pendapat lain dikemukakan oleh tokoh agama dusun Kecicang Islam H. Mahayudan menyebutkan bahwa:

“ Tradisi pernikahan yang merupakan adat pada kampung ini, dalam ajaran agama Islam memang tidak tercantum harus melakukan tradisi Nyuwang nganten terlebih dahulu sebelum berlangsungnya akad. Tidak ada hal yang sakral dalam tradisi ini, jika tidak dijalankan sebenarnya tidak apa-apa. Akan tetapi karena kita tinggal dalam sebuah kampung atau dusun yang kental dengan adat istiadat, kita harus mengikuti tata cara dan kebiasaan masyarakat dusun Kecicang Islam ini. [14]

          Sedangkan menurut Klian Banjar atau kepala Dusun Hasmini, tradisi Nyuwang Nganten adalah:

“Tradisi turun temurun yang ada di dusun Kecicang Islam ini. Tradisi ini biasanya dilangsungkan pada malam hari dengan cara menjemput mempelai perempuan untuk diajak ke kediaman mempelai laki-laki sebelum akad, setelah itu keluarga mempelai laki-laki meminta izin kepada saya selaku klian banjar atau kepala dusun bahwa telah melakukan tradisi Nyuwang Nganten. ”[15]

          Pendapat lain dikemukakan pula oleh masyarakat dusun Kecicang Islam H. Rahmat Hidayat, yang mengatakan bahwa:

“ sejauh ini saya tidak terlalu bisa menjabarkan mengenai tradisi Nyuwang Nganten, mungkin hal ini bisa lebih dijelaskan dengan tokoh-tokoh yang lebih faham seperti sesepuh yang sudah lebih lama mendiami kampung ini. Saya hanya menjalankan adat atau tradisi yang sudah ada. Karena saya tidak ingin dikatakan menomerduakan adat.”

Sedangkan menurut masyarakat dusun Kecicang Islam lainnya yaitu Hazar, tradisi Nyuwang Nganten adalah:

“ Nyuwang Nganten adalah sebuah proses dari adat pernikahan yang ada di kampung ini. Saya pernah mengalami tradisi ini, singkat kata saat itu saya dijemput pada pinangan terakhir oleh rombongan yang dibawa suami saya. Saat sampai di kediaman suami, saya sudah disediakan kamar. Pada saat itu saya dan suami belom boleh kumpul, tetapi sering kali suami saya menengok saya ke dalam kamar dan mengajak saya berbincang. Sejak kapan adanya adat atau tradisi ini saya tidak tahu, saya hanya melanjutkan adat yang sudah ada di kampung ini.”

          Dalam perspektif lain, Mashur mengatakan:

“Nyuwang Nganten adalah tradisi yang dijalankan oleh masyarakat dusun Kecicang Islam sebelum akad nikah, dengan membawa lima macam seserahan yaitu sirih, pamor, gambir, buah pinang dan tembakau.”[16]       

 

          Beberapa pendapat di atas merupakan pendapat dari tokoh masyarakat, tokoh agama, serta masyarakat dusun kecicang Islam yang pernah melaksanakan tradisi Nyuwang Nganten. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Nyuwang Nganten merupakan serangkaian upacara adat atau tradisi yang dilakukan mempelai laki-laki dan perempuan sebelum dilaksanakannya akad nikah (ijab qabul).

          Terdapat perbedaan dalam setiap masyarakat dalam menanggapi tradisi Nyuwang Nganten. Tidak semua masyarakat memahami arti Nyuwang Nganten sebenarnya. Kebanyakan masyarakat hanya mengikuti dan melanjutkan tradisi yang sudah ada tanpa memahami makna dari prosesi Nyuwang Ngnaten itu sendiri.

          Pada salah satu prosesi tradisi Nyuwang Nganten terdapat pula seserahan saat meminang mempelai perempuan, yaitu dengan membawa lima buah seserahan seperti: sirih, pamor, gambir, buah pinang dan tembakau. Dalam prosesi peminangan kelima seserahan tersebut harus ada, tetapi apakah masyarakat dusun Kecicang Islam faham dengan makna-makna yang terkandung dalam kelima seserahan tersebut. Berikut kutipan wawancara yang penulis lakukan kepada masyarakat dusun Kecicang Islam serta tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat:

          Dalam salah satu wawancaranya, Sukimah mengatakan sebagai berikut:

“ Membawa seserahan sirih, pamor, gambir, buah pinang, dan tembakau itu adalah sebuah kewajiban dalam meminang. Hal ini sudah menjadi adat yang tidak bisa di hilangkan kebiasaannya. Saya sendiri tidak faham makna satu persatu dari kelima seserahan ini, akan tetapi nenek moyang kami sudah melakukannya dahulu kala. Jadi menurut saya dan warga dusun Kecicang Islam jika tidak membawa ke lima seserahan yang disebutkan, proses peminangan dan selanjutnya tidak dapat berjalan lancar. ”[17]

Dalam perspektif lain Mulyadi juga mengatakan sebagai berikut:

“ seserahan sirih, pamor, gambir, buah pinang, dan tembakau itu menurut saya sangat penting. Sekilas cerita, saya sendiri pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan karena lupa membawa salah satu seserahan yang di perintahkan yaitu tembakau. Pada saat meminang, pihak mempelai perempuan marah-marah kepada saya karena seserahan yang diminta tidak lengkap. Sehingga saya dan rombongan keluarga dipersilahkan kembali pulang dan secara langsung tidak diizinkan meminang putri keluarga tersebut. ”[18]

Sementara Nahudin juga mengungkapkan hal yang agak senada sebagai berikut:

“ saat saya menikah dulu, saya juga menggunakan sirih, pamor, gambir, buah pinang dan tembakau sebagai seserahan kepada istri saya. Karena saya tidak mengerti dengan makna yang terkandung dari ke lima seserahan tersebut, saya tidak terlalu memikirkannya. Kebetulan keluarga istri saya tidak fanatik terhadap adat. Saya menyertakan seserahan tersebut semata-mata karena tidak mau menganggap ringan adat istiadat, karena saya tinggal di kampung yang masyarakatnya sangat taat terhadap adat. ”[19]

Tokoh masyarakat dusun Kecicang Islam, Muriham mengatakan hal yang sedikit berbeda, menurut beliau adalah:

“ Memang benar bahwa saat meminang masyarakat dusun Kecicang Islam dianjurkan membawa lima buah seserahan, yaitu sirih, gambir, pamor, buah pinang dan tembakau. Hal ini sudah dilakukan turun temurun oleh nenek moyang kami. Kepercayaan kami bahwa jika tidak membawa seserahan yang dimaksud maka proses acara Nyuwang Nganten akan menemukan suatu kendala. Pernah saya buktikan sendiri, saat itu saya mendapat kepercayaan mewakili sebuah keluarga untuk meminang putri tetangga kami. Saat itu saya sama sekali tidak membawa seserahan, yang terjadi adalah saat proses peminangan saya tidak lancar mengucap kata-kata. Seperti ada sesuatu yang menahan saya untuk tidak lancar berbicara. Hasilnya proses lamaran menjadi kacau. ”[20]

          Pendapat lain diungkapkan oleh tokoh agama dusun Kecicang Islam, H.Mahayudan sebagai berikut:

“ Membawa sirih, gambir, pamor, buah pinang dan tembakau itu hanyalah sebagian dari adat yang sudah sejak lama ada di kampung ini. Sebenarnya jika tidak membawa juga tidak apa-apa, dalam Islam tidak dianjurkan membawa sirih, pamor, gambir, buah pinang dan tembakau saat meminang. Kadang masyarakat kampung terlalu fanatik menanggapi adat, jika hal ini diluruskan butuh waktu lama untuk membuat masyarakat mengerti akan makna pernikahan sebenarnya. Mungkin hal ini terjadi karena adat istiadat sudah sangat melekat pada diri masyarakat kampung Kecicang Islam ini.”[21]

          Beberapa pendapat di atas merupakan pendapat masyarakat dan tokoh agama serta tokoh masyarakat dusun Kecicang Islam tentang makna seserahan sirih, pamor, gambir, buah pinang dan tembakau pada saat meminang. Terdapat perbedaan pendapat antara masyarakat dalam menanggapi makna seserahan tersebut. Terkadang masih banyak masyarakat yang fanatik menanggapi hal semacam ini, sehingga berdampak kepada tertundanya proses pernikahan.

          Maka dalam proses berlangsungnya tradisi Nyuwang Nganten ini terjadi pro kontra antar masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang mengatakan bahwa tradisi ini memperlambat dan mempersulit proses pernikahan. Akan tetapi masih banyak pula masyarakat yang meninggikan tradisi ini, bahkan masyarakat ingin tradisi ini terkenal sampai seluruh Indonesia dan lebih luas lagi sampai manca Negara. Maka dari itu sampai sekarang masyarakat tetap menjalankan tradisi Nyuwang Nganten, demi menghormati warisan nenek moyang terdahulu.

 

Relevansi Tradisi Nyuwang Nganten terhadap hukum Islam

          Pada salah satu wawancaranya, ibu Ulfa mengatakan tradisi Nyuwang Nganten yang dilaksanakan masyarakat Dusun Kecicang adalah suatu hal yang sah saja karena pada prosesnya mempelai laki-laki tidak berda satu kamar dengan mempelai perempuan. Tetapi, menurut ibu Ulfa terdapat kejanggalan dalam prosesi ini, dalam hal ini mempelai perempuan sudah dibawa ke kediaman mempelai laki-laki sebelum adanya ikatan yang sah, hal ini menimbulkan kesan kurangnya rasa penghargaan kepada pihak keluarga perempuan, karena terlihat seperti mempelai perempuan yang meminang laki-laki.

          Tradisi Nyuwang Nganten jika kita kaji dan kita analisis melalui hukum Islam tradisi ini sesungguhnya tidak relevan dan tidak tercatum dalam syarat maupun rukun pernikahan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau kitab-kitab fiqih. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat atau gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[22]

          Sedangkan menurut Wahyu Rohmi S.E tradisi Nyuwang Nganten jika dilihat melalui sudut padang hukum Islam ialah tidak relevan. Menurut beliau tradisi seperti ini sangat mempersulit seseorang yang ingin berumah tangga. Sedangkan agama Islam tidak pernah mempersulit umatnya untuk melakukan ibadah.

          Bapak muriham mengatakan tradisi ini sah-sah saja dan tidak melanggar norma agama, karena dalam menjalankannya disertai izin kepala dusun atau klian banjar. Jadi dalam hal ini dapat dipastikan tidak terjadi sesuatu hal yang melanggar norma-norma agama.

          Terdapat banyak pendapat masyarakat dalam hal menanggapi relevansi tradisi Nyuwang Nganten dengan hukum Islam. Penulis tidak bisa begitu saja menyimpulkan benar atau salah. Setiap masyarakat berhak mengeluarkan pendapat serta menjalankan kepercayaan sesuai hati nuraninya. Adat istiadat tidak disalahkan dalam ajaran agama Islam. Dalam ilmu Fiqh, adat istiadat sidebut dengan ‘Urf. Tidak adanya larangan dalam adat, karena pada masa Rasulullah SAW adat istiadat sudah sangat akrab dengan masyarakat dan dikenal sampai saat ini.

          Melestarikan adat istiadat merupakan hal yang mulia, karena hal ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan. Kebudayaan seperti tradisi Nyuwang Nganten sangat jarang kita dengar, maka dari itu masyarakat dusun Kecicang Islam semaksimal mungkin terus menjalankan adat isiadat warisan nenek moyang untuk tetap ada sampai saat ini, selama hal tersebut tidak keluar dari norma atau ajaran agama Islam.

          Itulah beberapa kepercayaan yang masih melekat pada masyarakat dusun Kecicang Islam. Mereka lebih takut kepada hukum adat yang berkembang sampai saat ini, dimana pemahaman tentang syari’at agama masih awam. Butuh waktu yang cukup lama untuk dapat memberikan pembelajaran syari’at agama, karena masyarakat dusun Kecicang Islam sangat mempercayai adat yang merupakan peningalan budaya Hindu sehingga adat agama Hindu lah yang melekat pada masyarakat tersebut dan masih berkembang sampai saat ini.

Kesimpulan dan Saran

a. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dipaparkan secara komprehensif pada bahasan sebelumnya, dengan mengacu atas rumusan masalah penelitian, maka selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan sebagai hasil akhir dari penelitian yakni sebagai berikut:

          Yang pertama, Salah satu prosesi pernikahan dalam tradisi Nyuwang Nganten ini adalah mengenai peminangan yang dilakukan sebanyak tiga kali. Dalam peminangan tersebut, terdapat syarat-syarat yang diajukan oleh pihak mempelai perempuan untuk kelancaran prosesi pernikahan. Syarat-syarat tersebut adalah membawa seserahan sesajen seperti sirih, buah pinang, gambir, pamor dan tembakau.

               Yang kedua, Terdapat perbedaan pada masyarakat dalam memahami tradisi Nyuwang Nganten. Masyarakat tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok normatif teologis dan empiris sosiologis. Normatif teologis merupakan kelompok masyarakat yang emosional dalam memahami tradisi Nyuwang Nganten untuk tetap dipertahankan sampai sekarang dengan tidak mengkaitkan dengan hukum Islam, tetapi hanya terfokus pada hukum adat saja, sehingga tradisi yang berkembang pada masyarakat dusun Kecicang Islam disebabkan oleh persoalan keimanan mitologis masyarakat setempat. Empiris sosiologis merupakan kelompok masyarakat yang memandang tradisi ini sebagai bagian yang penting, karena teori ini dianggap menjadi khazanah untuk mempertahankan dan memberikan daya tarik dari komunitas masyarakat itu sendiri, tetapi dengan menyelaraskan hukum adat dan hukum Islam.

               Yang ketiga, Tradisi Nyuwang Nganten jika dikaji dan dianalisis melalui hukum Islam, tradisi ini tidak relevan dan tidak tercatum dalam syarat maupun rukun pernikahan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau kitab-kitab fiqih. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

          Saran

          Saran yang ingin penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah:

               Pertama, Dalam prosesi pernikahan adakalanya masyarakat tidak terlalu fanatik dalam menanggapi syarat yang diatur oleh adat karena dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Hukum Islam pernikahan sudah sah. Untuk terciptanya hal tersebut diperlukan kerjasama antara tokoh agama dan tokoh adat untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Dusun Kecicang Islam tentang syarat-syarat pernikahan berdasarkan Hukum Islam.

               Kedua, Hendaknya kepada masyarakat Dusun Kecicang Islam ketika melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk lebih mempertimbangkan dua hukum yaitu hukum adat dan hukum Islam. Sehingga keduanya bisa saling melengkapi dengan tidak adanya penyimpangan adat maupun hukum Islam.

 

Daftar Pustaka

Sumber dari Literatur

Al- Qur’an al-Karim.

Amandemen UU Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006, UU Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam, Media Centre.

Data Monografi Desa Bungaya Kangin Tahun 2013.

Fakultas Syari’ah. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Malang: Fakultas Syariah, 2011.

Meleong, Lexy j, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: PT Rosda Karya, 2006.

Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo, 2003.

Sumber dari Wawancara

Mayunah, wawancara, ( Karangasem Bali, 20 0ktober 2012).

Mahayudan, wawancara, ( Karangasem Bali, 4 Januari dan 7 Juli 2013).

Hasmini, wawancara, ( Karangasem Bali, 7 Juli 2013).

Sukimah, wawancara, ( Karangasem Bali, 4 Januari dan 7 Juli 2013).

Muriham, wawancara, ( Karangasem Bali, 6-8 Juli 2013)

Masyhur, wawancara, ( Karangasem Bali, 7 Juli 2013 )

Mulyadi, wawancara, ( Karangasem Bali, 7 Juli 2013 )

Nahudin, wawancara, ( Karangasem Bali, 7 Juli 2013 )

Hazzar, wawancara, ( Karangasem Bali, 7 Juli 2013 )

Rahmat Hidayat, wawancara, ( Karangasem Bali, 7 Juli 2013)

 



[1] Mahayudan, wawancara (Karangasem, 4 Januari 2013)

[2] Mayunah, wawancara ( karangasem, 20 Oktober 2012 )

[3] Fakultas Syari’ah. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. (Malang:Fakultas Syariah), 26.

[4] Lexy J Meleong, Metode Penelitian Kualitatif edisi revisi (Bandung: PT Rosda Karya, 2006), 15

[5] Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Raja Grafindo, 2003) ,12

[6]Data Monografi desa Bungaya Kangin tahun 2013. Hal 9

[7]Hasmini, wawancara (Karangasem, 7 Juli 2013)

[8]Data Monografi. Hal 10

[9]Rahmat Hidayat, wawancara (Karangasem, 7 Juli 2013)

[10]Hazar, wawancara (Karangasem, 7 Juli 2013)

[11]Mahayudan, wawancara (Karangasem, 8 Juli 2013)

[12]QS. An-Nur (33) : 22

[13]Muriham, wawancara ( Karangasem, 8 Juli 2013 )

[14]Mahayudan, wawancara ( Karangasem, 8 Juli 2013 )

[15]Hasmini, wawancara ( Karangasem, 8 Juli 2013 )

[16]Mashur, wawancara ( Denpasar, 13 Juli 2013 )

[17]Sukimah, wawancara ( Karangasem, 7 Juli 2013 )

[18]Mulyadi, wawancara ( Karangasem, 7 Juli 2013 )

[19]Nahudin, wawancara ( Karangasem, 7 Juli 2013 )

[20]Muriham, wawancara ( Karangasem, 8 Juli 2013 )

[21]Mahayudan, wawancara ( Karangasem, 8 Juli 2013 )

[22]Amandemen UU Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006, UU Peradilan AgamaNomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam (Media Centre),120

© BAK Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *